Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Melawan Pandemi Provokasi

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
29/7/2021 05:00
Melawan Pandemi Provokasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

HARIAN Media Indonesia pada Selasa (27/7) menurunkan editorial Tolak Provokasi. Hal itu untuk menyikapi bahwa di tengah pandemi covid-19 masih ada segelintir kelompok mencoba melakukan provokasi untuk berdemonstrasi terhadap pemerintah. Intensi untuk menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah lewat penggalangan massa, sengaja diembuskan pihak tak bertanggung jawab. Mereka mencoba 'mengail di air keruh' untuk menciptakan konflik dan kekisruhan. Ini tentu saja bukan cara beradab di tengah riak krisis dan perkabungan kemanusiaan bangsa.

Di masa pandemi seperti ini, konsolidasi kepentingan semua aktor dan elemen masyarakat ialah keniscayaan substansial demi memenangi perang melawan pandemi. Di satu sisi, partisipasi kritik publik untuk perbaikan dan determinasi kebijakan penanganan pandemi sangat dibutuhkan negara. Masukan berbagai pihak (masyarakat umum/sipil, profesi, ekspertis, maupun kelompok politisi) diperlukan untuk memperkuat kognisi dan insting kekuasaan dalam menyusun dan mengeksekusi kebijakan antipandemi yang berkualitas. Animo tersebut tentu dilandasi spirit menyelamatkan kemanusiaan dan ketertiban bermasyarakat dari jebakan anomitas sosial.

Namun, di sisi lain, kritik bisa menjadi alat kebencian sekelompok orang, terlebih jika dimasuki virus pemecah belah dan kepengecutan. Orang seakan terjebak dalam ambiguitas kritik antara mencintai, mendukung, dan menghasut serta menjatuhkan. Dari kacamata demokrasi, politik kekuasaan memang mengandung sejumlah kerentanan. Seperti konsolidasi politik birokrasi yang korup dengan memanfaatkan diskresi kewenangan di masa darurat atau moral hazard mencari keuntungan di situasi sulit (seperti menimbun alat kesehatan, obat covid-19, oksigen, dll). Hal tersebut harus diingatkan dan diluruskan lewat kontrol aktif publik sebagai antidot demokrasi terhadap upaya yang merusak peradaban bangsa.

 

 

Melukai persatuan

Karenanya, kritik memang harus diarahkan untuk membereskan keadaan secara konstruktif, bukan ditujukan dengan martil sentimen dan kebencian karena di situlah peluang munculnya penyebaran informasi palsu, hasutan, atau provokasi. Di antara hoaks tersebut, motif politik menjadi salah satu pendorong munculnya kegaduhan di kalangan masyarakat. Dari 2.360 artikel hoaks pada 2020 yang diterbitkan Mafindo (2020), misalnya, sebagian besar bertema politik (40,8%), kemudian diikuti kesehatan (24,1%), dan tema beragam lainnya.

Isu-isu yang terkait dengan aktor politik (seperti Jokowi, Ma’ruf Amin, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dll) menjadi lahan empuk politik adu domba dari lawan-lawan politik. Ditambah lagi gerilya maut buzzer di media sosial yang suka sekali memakan remah-remah wacana dari mulut politisi sentrum demi segepok rupiah.

Harus diakui, bertebarannya sampah hoaks pandemi dan derivasinya yang meracuni ruang publik dengan segala pelipatgandaan efeknya, belakangan ini menunjukkan ada eskalasi emosionalitas sosial-politis yang sengaja distimulasi pihak tak bertanggung jawab untuk melukai persatuan. Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat ada 1.060 hoaks covid-19 pada periode Januari 2020 sampai Juli 2021. Sebagian besar isinya membahayakan masyarakat dan mengganggu efektivitas penanganan pandemi oleh pemerintah, termasuk hoaks rumah sakit meng-covid-kan pasien. Ada juga diisukan pasien meninggal karena keracunan interaksi obat yang disebarkan dr Lois.

Video aksi demo rusuh dan bakar-bakaran di Jl Gadjah Mada, Jakarta Pusat, yang beredar di tengah informasi palsu rencana aksi Jokowi End Game yang memicu kepanikan publik. Atau hoaks aksi perlawanan mahasiswa pada 5 Juli yang diinisiasi BEM UI yang berefek pada stigmatisasi gerakan kampus, memperlihatkan gelombang arus kepicikan yang mengapitalisasi kemarahan sekaligus kecemasan publik bagi lahirnya tindakan destruktif.

Benar ucapan Bung Karno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri." Termasuk melawan sikap oportunis dalam memahami demokrasi dan menginternalisasi politik akal sehat. Setelah demokrasi dipahami sebagai tidak sekadar pesta elektoral pemilu (Huntington, 1991:9), kini kita ada dalam era demokrasi modern yang mensyaratkan adanya kesempatan (opportunity) bagi semua pihak sesuai prinsip demokrasi substantif.

Sayangnya, kebebasan dan kesempatan setara tersebut kerap diselewengkan demi tujuan politik tentatif. Sikap oposisi dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks, saling menghumiliasi (menghina) ketimbang menjadi arena deliberasi politik yang genial, yakni gagasan, perdebatan, bahkan sinisme diarahkan untuk merangsang kesadaran dan perbaikan konstruktif. Musim pandemi provokasi yang menyesatkan harus dilawan. Sikap menang sendiri, kecurigaan, bahkan arogansi (intelektual) yang selalu mendahului kontemplasi dan rasionalitas harus dikubur karena akan mempersulit kita, khususnya politisi masuk dalam--meminjam Sigmun Freud--atmosfer politik katarsis (pembersihan emosi, prasangka). Sebuah kebutuhan mendesak untuk menghimpun peran dan potensi bersama melawan pandemi.

 

 

Mendukung nakhoda

Membangun penghakiman total dan brutal kepada pemerintah dalam kemelut saat ini bukanlah hal bijak. Tak ada negara yang benevolen dan sukses melawan pandemi. Tajamnya angka kematian mondial akibat covid-19 telah memaksa negara melonggarkan ikatan prinsip demokrasi. Kevin Casas-Zamora, Sekjen IDEA (2020), mengatakan pandemi telah memicu otoritarianisme di dunia, termasuk pembatasan mobilitas, kebebasan berkespresi, berkumpul. Bahkan, di banyak negara berpotensi terjadi pereduksian demokrasi secara masif akibat hak-hak sipil yang dilimitasi.

Pada bagian lain, reproduksi antarkelas sosial-ekonomi yang memengaruhi human capital dan antara desa-kota pun terjadi akibat perebutan ruang eksistensi untuk bertahan dalam masa krisis (Seah, 2020). Di sini, liabilitas dan kecakapan negara (pemerintah) (craftsmanship) memang menjadi variabel penting dalam menyangga keseimbangan prioritas yang cenderung 'labil', antara menyelamatkan nyawa manusia dan menyiapkan sekoci darurat untuk kontinuitas ekonomi dan hidup masyarakat, termasuk menghargai menerima kritik secara elegan.

Namun, situasi tersebut juga memerlukan pemahaman, kedewasaan, dan kearifan publik supaya senantiasa masyarakat tidak jatuh dalam kecurigaan, saling menyalahkan sehingga rasionalitas dan kesabaran publik menjadi fondasi keutuhan sosial. Energi sosial kemanusiaan akan lebih produktif dan katarsis jika disalurkan untuk membantu rakyat (kecil) yang terdampak langsung covid-19 baik secara kesehatan maupun ekonomi.

Sedahsyat apa pun ombak pandemi menerpa, rakyat bangsa ini ada di satu kapal bersama; Indonesia. Semua kemewahan energi, potensi, dan optimisme dari seluruh elemen bangsa, termasuk elite ekonomi, politik diarahkan untuk mendukung determinasi nakhoda (pemerintah) menyelamatkan kapal ini dari amukan (gelombang) pandemi. Kehangatan dan keakraban warga negara dalam konteks saling menumbuhkan rasa percaya, optimisme, dan sepenanggungan bersama di masa sulit ialah kompas sejati yang membawa (kapal) bangsa ini berlabuh di dermaga kemenangan atas pandemi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya