Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Hukum Mati Aparat Penegak Hukum Terlibat Narkotika

Siprianus Edi Hardum, Advokat dan Mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta
21/7/2021 21:35
Hukum Mati Aparat Penegak Hukum Terlibat Narkotika
Siprianus Edi Hardum,(Dok pribadi)

HAMPIR setiap hari masyarakat Indonesia disuguhi berita tentang tindak pidana narkotika. Tidak terkecuali di saat pandemi covid-19 ini. Di tengah kesedihan dan ketakutan karena begitu banyak saudara dan teman yang meninggal karena covid-19, kita juga digempur berita kasus narkotika. Sungguh prihatin dan menjengkelkan.

Subjek yang terlibat bukan hanya masyarakat biasa, tetapi orang terkenal, kaya, serta ada juga aparat penegak hukum. Dua kasus narkotika yang paling baru yakni; pertama, Kepala Rumah Tahanan Kelas I Depok, Jawa Barat, Anton. Ia ditangkap polisi di salah satu kamar kos di daerah Slipi, Jakarta Barat, pada Jumat (25/6). 

Pada Minggu (18/7), Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Barat AKB Ronaldo Maradona menyampaikan barang bukti yang diamankan dari Anton, yaitu satu paket sabu seberat 0,52 gram, satu buah alat hisap narkotika jenis sabu berupa cangklong dan bong bekas sisa pakai, empat butir obat aprazolam dan satu unit ponsel. Anton mendapatkan barang haram itu dari M, narapidana di rumah tahanan yang dipimpin Anton. Kedua, Kamis (8/7), Polres Jakarta Pusat menangkap selebritas Nia Ramadhani dan suaminya, Ardi Bakrie, di rumah mereka di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Polisi menyita sabu sebesar 0,8 gram. 

Entah sudah berapa banyak oknum aparat penegak hukum dan pejabat negara yang ditangkap polisi karena terlibat tindak pidana narkotika. Seperti Komandan Kodim (Dandim) 1408 BS/1408 Makassar, ditangkap aparat gabungan TNI ketika sedang pesta narkoba di Hotel D'Maleo Jalan Pelita Raya, Makassar, Sulawesi Selatan, pada 6 April 2016. Kemudian Bupati Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Ahmad Wazir Noviadi Mawardi ditangkap polisi di rumahnya di Sumatera Selatan, pada 13 Maret 2016 karena mengonsumi narkoba jenis sabu. Selanjutnya, Selasa (16/2), Polda Jabar menangkap Kapolsek Astana Anyar, Jabar, Kompol Yuni Purwanti bersama 12 anggotanya karena mengonsumsi sabu. Dari mereka polisi menyita sabu seberat tujuh gram. 

Pada 12 Mei 2021, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menyampaikan kepada wartawan, Polres Metro Jakarta Pusat menggagalkan peredaran narkotika jenis sabu yang diduga berasal dari jaringan internasional Timur Tengah atau Afrika (Nigeria) dengan barang bukti seberat 310 kilogram. Narkotika sabu tersebut dibawa dari wilayah Aceh menuju Jakarta dengan menggunakan angkutan darat. Sejumlah kasus tindak pidana narkoba yang sudah disebutkan di atas ibarat gunung es, karena masih banyak yang luar biasa serta kualitas kejahatannya. 

Makin meningkat

Peredaran narkoba di Indonesia menjadi tantangan yang serius. Bukan hanya membebani negara, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 3,5 juta orang pada 2017. Sekitar 1,4 juta di antaranya adalah pengguna biasa dan hampir 1 (satu) juta orang telah menjadi pecandu narkoba.

Bahkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkapkan hasil survei penyalahgunaan narkoba 2019 oleh BNN bersama LIPI menunjukkan angka prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia mencapai 1,80% atau sekitar 3.419.188 jiwa. Sehingga, dapat dikatakan terdapat 180 dari tiap 10.000 penduduk Indonesia berumur 15 hingga 64 tahun terpapar memakai narkoba. (Republika.co.id 28/6)
 
Sementara data Mabes Polri menyebutkan, kasus narkoba sejak 2016 trennya mengalami peningkatan. Pada 2016 kasus narkoba yang diungkap sebanyak 47.767 kasus dan 2017 meningkat menjadi 50.474 kasus, dan di 2018 ada 22.595 kasus. Potensinya akan terus bertambah lantaran jumlah tersangka yang masih berjalan kasusnya di 2018 tercatat sebanyak 28.755 kasus.

Terkait dengan kejahatan narkoba di Indonesia ternyata banyak kasus yang melibatkan warga negara asing (WNA). Pada 2016 sebanyak 133 orang, kemudian 2017 sebanyak 136 orang dan untuk 2018 sementara berjumlah 60 orang. WNA yang terlibat hampir merata dari berbagai negara di berbagai benua, namun yang terbanyak berasal dari negara-negara di kawasan Asia.

Data BNN 2016 menyebutkan setiap dua jam terdapat dua pecandu narkoba di Indonesia yang meninggal dunia, atau setiap harinya ada 41 pecandu meninggal dunia. Sehingga untuk setiap tahunnya 51 ribu orang Indonesia meninggal sia-sia karena narkoba. Dalam kurun waktu 30 tahun anggka pengguna narkoba meningkat 1,9% dari jumlah penduduk Indonesia. 

Sementara data BNN 2015, prevalensi penyalahguna narkoba yakni orang baru mencoba memakai sebanyak 1,6 juta jiwa, orang yang teratur memakai narkoba sebanyak 1,4 juta jiwa dan pecandu narkoba sebanyak 943 ribu jiwa. Berdasarkan jenis kelamin; laki-laki sebanyak 74,5% dan perempuan 25,49%. Berdasarkan pekerjaan; tidak bekerja sebanyak 22,34%, pelajar dan mahasiswa 27,32%, pekerja swasta, instansi pemerintah, wiraswasta sebanyak 50,34%. Menurut BNN, total kerugian akibat penyalahguna narkoba 2015 sebesar Rp63,1 triliun, terdiri dari kerugian pribadi sebesar Rp56,1 triliun dan kerugian sosial Rp6,9 triliun.

Mengapa begitu banyak? 

Pertama, awalnya ingin mencoba akhirnya ketagihan dan jadi pecandu. Banyak pemakai narkoba bahkan pecandu narkoba di Indonesia, mengaku bahkan memberi testimoni awalnya mereka hanya ingin mencoba mengonsumsi narkoba, dan tidak ingin menjadi pecandu. Narkoba punya zat adiktif yang bisa membuat orang jadi pecandu. 

Kedua, konsumsi narkotika sebagai kebutuhan. Bagi orang yang sudah menjadi pecandu akan sulit melepaskan barang haram tersebut dari hidupnya. Bahkan tidak ada uang pun, dia akan berjuang keras bahkan melakukan tindak kriminal akan dilakukan agar bisa membeli barang haram tersebut. Banyak sekali keluarga memberikan testimoni tentang hal ini. 

Ketiga, tindak pidana narkotika sebagai kejahatan transnasional atau lintas negara. Sebagai kejahatan lintas negara, agak sulit bagi aparat penegak di suatu negara untuk mendeteksi serta mencegahnya. Banyak proses transaksi dilakukan dengan alat komunikasi yang canggih termasuk media-media sosial.

Keempat, bisnis yang sangat menguntungkan. Perdagangan narkoba merupakan lahan bisnis yang sangat menjanjikan keuntungan besar. Indonesia merupakan lahan subur untuk pengedar, karena banyak pemakai di Indonesia baik pemula, maupun rutin memakai serta sudah menjadi pecandu. Ada demand (permintaan) maka supply (ketersediaan) pun ada, atau sebaliknya. Dari bisnis narkoba di Indonesia, para pengedar atau bandar narkoba memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jika di Malaysia sabu dibandrol dengan nilai Rp450 juta per kg, harga sabu yang sama di Indonesia bisa mencapai Rp1,2 miliar per kg. (Ahmad Rifai, 2014:5).

Menurut data BNN, omzet peredaran narkoba dalam satu tahun di Indonesia diperkirakan mencapai nilai Rp20 triliun. Itulah sebabnya Indonesia dikatakan sebagai surga bagi pengedar dan bandar internasional. Secara global, pada umumnya kegiatan perdagangan narkoba dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan, seperti antara lain Yakuza di Jepang, Triad di Tiongkok, mafia Sisilia di Italia, dan beberapa kartel narkoba di Eropa, Asia, Australia maupun di Amerika Latin (Nicaso dan Lamothe, 2003:67). Organisasi kejahatan tersebut dapat mendulang keuntungan finansial yang sangat fantasis dari kegiatan perdagangan narkoba. 

Kelima, aparat penegak hukum ikut terlibat dalam kasus narkoba. Aparat penegak hukum ini bermain mulai dari tingkat penyidikan di tingkat polisi (polsek, polres, polda bahkan Mabes Polri), sampai di tingkat penuntutan (jaksa) dan tingkat hakim sampai sektor hilir yakni petugas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Yang luar biasa adalah menyangkut terpidana Hillary K Chimize, yang semula divonis mati di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, namun dianulir dengan hukuman penjara selama 12 tahun setelah ada peninjauan kembali (PK) perkaranya diterima Mahkamah Agung (MA). 
 
Hillary ditangkap di Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan barang bukti 5,8 kg heroin pada 2003 dan dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim PN Jakarta Utara dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta serta majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung. Namun majelis Peninjauan Kembali (PK) yang terdiri dari Imron Anwari, Timur Manurung dan Suwardi menganulir hukuman mati tersebut.
 
Keenam, lembaga pemasyarakatan (LP) yang kotor. Hal lain yang membuat maraknya peredaran narkoba di Indonesia karena lembaga pemasyarakatan bukan sebagai tempat napi narkoba bertobat tetapi justru menjadi bertambah jahat. Bukan cerita baru ketika petugas LP atau sipir justru menjadikan narapidana pengedar narkoba di dalam LP sebagai 'ATM' atau sumber uang. Lihat saja ketika Bareskrim Polri membongkar pabrik sabu di dalam LP Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, pada 5 Agustus 2013, yang melibatkan terpidana Freddy Budiman. 

Budi Waseso (Abimanyu, 2017:187), ketika masih menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), mengatakan ada sejumlah kendala pemberantasan narkoba di Indonesia. Pertama, zat atau bahan untuk pembuatan narkoba dan psikotropika dihasilkan melalui home industry. Model seperti ini sebagian berada di Tiongkok, kemudian beredar dan dijual di pasar bebas. Pemerintah Tiongkok mengakui ada jaringan pengedar yang menjadikan Indonesia sebagai target peredaran narkoba.
 
Kedua, banyaknya pintu masuk ke Indonesia. Jalan-jalan tikus banyak. Ketiga, biaya operasional penyelidikan yang besar dan sampai saat ini belum tercukupi. Alokasi dana untuk BNN 2016 sebesar Rp1,41 triliun terlalu kecil. Keempat, jumlah personel BNN tidak mencukupi dalam memberantas narkoba yang pada 2016 berjumlah 4.600 orang. Idealnya untuk negara seluas Indonesia, BNN membutuhkan 74 ribu personel.
    
Kelima, persenjataan dan peralatan BNN kurang dan kalah dengan yang dimiliki oleh jaringan narkoba. Kapal-kapal patroli di sekitar perairan yang rawan dimasuki penyelundup narkoba tidak hanya harus canggih, tetapi jumlahnya perlu ditambah. Keenam, keterlibatan oknum aparat penegak hukum di lapangan justru menghambat pemberantasan peredaran narkoba. 

Solusi

Kejahatan narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) selain terorisme dan korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa, penulis mengusulkan; pertama, UU 35/2009 tentang Narkotika perlu direvisi, yakni hukuman untuk pelaku tindak pidana narkoba minimal 10 tahun kendati hanya sebagai pemakai dan barang buktinya kecil atau sedikit, dan hukuman maksimal adalah hukuman mati. Selain itu, khusus aparat penegak hukum yang terlibat seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat harus dihukum mati terlepas besar kecil barang bukti yang disita.
 
Kedua, pemerintah dan DPR harus membentuk lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkoba ini. Beri saja namanya Komisi Pemberantasan Narkoba (KPN). Lembaga ini dipimpin lima orang (seperti KPK) dan diseleksi melalui panitia seleksi, dilakukan fit and proper test oleh Komisi III DPR. Dasar pembentukan lembaga ini harus melalui UU tersendiri. Tidak seperti sekarang ini, BNN diatur dalam UU No.35/2009 tentang Narkotika. 

Karena KPN merupakan lembaga independen, maka sumber daya manusianya harus independen juga. Bisa diambil dari anggota Polri dan seperti penyidik dan jaksa namun ketika bergabung dalam lembaga ini harus lepas dari lembaga Polri dan Kejaksaan. Ketiga,  pemerintah dan DPR harus membentuk pengadilan khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana narkoba. Bisa diberi nama pengadilan tindak pidana narkoba yang berada di semua kota provinsi Indonesia. Hakim-hakim direkrut untuk pengadilan ini harus khusus. Bisa juga direkut hakim adhoc, seperti hakim untuk pengadilan tindak pidana korupsi atau pengadilan adhoc pajak. Keempat, lembaga pemasyarakatan khusus narkoba.

Selanjutnya, LP untuk menahan narapidana narkoba harus berpenjagaan sangat ketat (maximum security). Para petugas penjaga LP khusus narkoba ini terdiri dari orang-orang khusus yang berani menolak suap. Fungsi penjara sebagaimana dikatakan Michel Foucault (Simor R, 2012:29) adalah bukan sekadar perangkat perampasan kebebasan tahanan dan napi tapi merupakan perangkat penghukuman yang memiliki fungsi korektif.  

Oleh karena itu, Foucault menekankan kehidupan penjara melalui hadirnya power (kekuatan dan kekuasaan) yang menekankan seseorang menjaga penjahat atau tidak. Power yang dikatakan Foucault adalah ketegasan dan integritas petugas lapas. Petugas harus alergi menerima sogokan dari tahanan dan napi. 

Sementara pakar ilmu hukum pidana dan kriminologi, Jacob Elfinus Sahetapy (Sahetapy, 2009:IX), mengatakan moral suatu bangsa dan masa depan mental serta integritas suatu bangsa ikut dibina oleh para sarjana hukum baik secara eksplisit maupun secara implisit. Para politisi dan birokrat bisa saja korup, asal para penegak hukum, khususnya hakim, jasa, polisi dan advokat memiliki moral dan integritas yang tinggi maka negara akan selamat. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya