Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Belajar dari Pandemi Covid-19: Transformasi Sistem Pangan

Paulina Gandhes D. K.
23/6/2021 21:48
Belajar dari Pandemi Covid-19: Transformasi Sistem Pangan
Paulina Gandhes D. K. - Mahasiswa Magister Teknologi Pangan – IPB University.(Dok Paulina Gandhes D. K. )

Pandemi Covid-19 telah berlangsung hampir 16 bulan, namun masih samar ujungnya. Berbagai kebijakan dan program yang dicanangkan pemerintah  belum mampu membendung gelombang pandemi.

Dengan peningkatan kasus aktif luar biasa beberapa pekan terakhir, tercatat setidaknya 2 juta kasus dengan 55 ribu kasus kematian, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-18 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia.

Pandemi yang tidak kunjung usai menekan masyarakat dunia dalam berbagai aspek. Selain mengganggu kehidupan dan sistem kesehatan, berbagai macam kebijakan penanggulangan pandemi, seperti penutupan perbatasan, lockdown, serta penghentian sementara perdagangan dunia dan kegiatan ekspor impor menghambat perekonomian serta ketahanan pangan dan gizi dunia.

Akibat pandemi, Food and Agriculture Organization (FAO) mengestimasi tambahan 83 – 132 juta manusia akan kekurangan nutrisi pada tahun 2023.

Di dalam negeri, berbagai situasi serta kebijakan yang berkembang selama pandemi turut mengakibatkan penurunan tingkat perekonomian, pendapatan per kapita, serta tingkat konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2020. Salah satu contoh yakni pembatasan mobilitas dan angkutan barang.

Walaupun distribusi bahan pokok diprioritaskan, kebijakan tersebut telah meningkatkan kenaikan biaya transportasi dan distribusi yang mempengaruhi kenaikan harga bahan pangan pokok selama pandemi.

Situasi pandemi turut mengantar posisi Indonesia turun 3 peringkat menjadi peringkat ke-65 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan Pangan Global tahun 2020, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di akhir tahun 2020 terkait strategi kebijakan penanganan dampak pandemi COVID-19 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, sekitar 64 persen rumah tangga di Indonesia sudah masuk ke kategori food secure. Sisanya berketahanan pangannya belum baik. Banyak program yang implementasinya tidak tepat sasaran memperlambat pemulihan situasi nasional, termasuk ketersediaan dan ketahanan pangan.

Pandemi telah membuka mata dan pikiran akan ketidaksiapan sistem pangan dunia, termasuk Indonesia, menghadapi situasi krisis. Lebih dalam dari ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, serta pemanfaatan pangan, sistem pangan pada tiap skala cakupan: global, regional, nasional, dan lokal sangat kompleks.

Untuk membentuk sistem pangan berkelanjutan, sistem pangan harus memberi dampak positif terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara simultan. Banyak faktor internal maupun eksternal yang menjadi pemicu perubahan pada sistem pangan yang ada, seperti perkembangan populasi, urbanisasi, perubahan konsumsi, situasi konflik, kondisi kesehatan, hingga perubahan iklim. Dinamika perubahan masing-masing faktor pendorong berisiko tinggi terhadap sistem pangan, yang mana dapat menimbulkan ketidakpastian serta kebingungan dan mengancam resiliensi sistem, seperti kini terbukti di masa pandemi.

Misi Sustainable Development Goals
Menuju terwujudnya misi Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030, terutama tujuan ke-2 untuk mengatasi kelaparan, maka sudah semestinya sistem pangan yang berkelanjutan harus cepat dikaji kembali. Sistem pangan akan terus berkembang dan bertransformasi.

Transformasi sistem pangan yang berkelanjutan perlu dikaji secara holistik dan sistemik, mengintegrasikan peran dari semua pihak, institusi, dan organisasi terkait.

Tidak hanya fokus pada peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, namun juga mengintegrasikan relasi, peran, dan dampak sistem lainnya, seperti sistem kesehatan, ekologi dan iklim, sains, sosial, ekonomi, serta pemerintahan.

Sistem pangan yang berkelanjutan juga harus mampu untuk menjamin serta memberdayakan kelompok yang rentan dan marjinal, hingga memastikan keberlanjutan sistem pangan hadir di setiap rantai pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi.

Lebih lanjut, pembentukan sistem pangan berkelanjutan tidak semata hanya demi target terwujudnya SDGs, namun supaya bisa resilien dan bertahan hingga waktu lama. Maka, berkaca dari pandemi Covid-19, perlu juga diantisipasi terjadinya perubahan sistem karena peristiwa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.

Pandemi Covid 19 memberikan pengaruh negatif terhadap ketahanan pangan dan stabilitas rantai pangan di banyak negara berkembang, terutama bagi negara dengan pasokan bahan pokok yang banyak bergantung dari impor. Beberapa negara berkembang lebih cepat dan mampu mengatasi masalah inflasi serta ketahanan pangan kerena cenderung mengandalkan pasokan pangan lokal.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah membuat program Metode 4 Cara Bertindak untuk mencapai ketahanan pangan, salah satunya diversifikasi pangan lokal. Namun, hingga saat ini, belum terlihat adanya dampak cukup signifikan dari pengembangan diversifikasi pangan lokal Indonesia, terutama dalam masa krisis.

Diversifikasi pangan berarti tidak hanya berfokus pada ketersediaan komoditas tertentu yang banyak dikonsumsi, misalnya beras, namun juga melakukan perubahan mendasar untuk menghadirkan berbagai pangan lain yang memperkaya sistem pangan. Karena sistem pangan yang kompleks, pemanfaatan pangan lokal perlu dilakukan secara serius dan sistemik.

Pemasok, industri manufaktur, pemerintah, serta konsumen perlu dilibatkan. Sistem dan kebijakan perlu dibangun, khususnya oleh pemerintah, guna menyokong penggunaan bahan lokal tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga, namun juga untuk penggunaan skala industri.

Pangan lokal olahan
Selain itu, akses masyarakat terhadap pangan lokal olahan juga perlu dipermudah, misalnya dengan memfasilitasi produksi olahan pangan lokal di daerah, hingga memaksimalkan promosi untuk membuat olahan pangan lokal lebih dikenal dan diterima.

Pangan lokal hendaknya tidak hanya dipandang sebagai bahan pangan alternatif saja, melainkan bagian dari kultur dan nilai masyarakat. Kultur serta nilai masyarakat lainnya, selain makanan, juga perlu diangkat dan dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. Seringkali, kearifan lokal semacam ini justru dapat membantu sistem pangan beradaptasi dan bertahan di masa sulit.

Definisi, mekanisme, serta konsep sistem pangan berkelanjutan yang tepat bagi Indonesia perlu disusun kembali. Grup saintis untuk United Nation Food Systems Summit mengembangkan lima Action Tracks untuk menjadi 'rel' bagi penyusunan atau pengembangan sistem pangan.

Lima Action Tracks itu diantaranya terdapat jaminan atas akses pangan yang aman dan bernutrisi untuk semua, perubahan menuju pola konsumsi yang berkelanjutan, terus mempromosikan program dan kebijakan yang memberi dampak positif bagi alam, distribusi penghasilan dan kehidupan yang adil, serta membangun resiliensi terhadap aneka tekanan dan kejadian tiba-tiba yang mengancam keberlanjutan sistem pangan.

Bukan hal yang mudah untuk melakukan studi menyeluruh, namun nyatanya, sistem pangan yang resilien dan kokoh sangat diperlukan untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi di masa mendatang, khususnya dalam waktu dekat, untuk mencapai tujuan-tujuan besar dan ambisius SDGs 2030.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya