Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PANDEMI covid-19 sampai sekarang terus berdampak tak enak buat industri kreatif. Dibandingkan sektor lain, sektor inilah yang paling terpukul.
Mereka tak berdaya karena para pelaku industri kreatif, terutama dunia hiburan atau pertunjukan seperti seni budaya membutuhkan 'konsumen' (penonton) dalam jumlah besar. Sementara di masa pandemi, kerumunan untuk sementara ini 'diharamkan'. Merekalah yang selama ini paling berharap dan terus mengajukan pertanyaan, “Kapankah pandemi berakhir?”
Sampai saat ini, bioskop juga masih tutup karena belum diizinkan memutar film dan mengundang penonton. Grup-grup musik (anak-anak band) juga belum leluasa berpentas di area publik seperti mal, apalagi gedung pertunjukan.
Tempo hari saya sempat membaca keluhan anak-anak muda yang keberlangsungan hidupnya dari musik dan 'ngamen' di arena publik. “Kami coba nekat manggung, tapi malah tekor, sebab mal sepi. Padahal untuk ke sini, kami mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengangkut peralatan musik dan sound system.” Begitu keluhan mereka.
Lalu, selama pandemi ini, mereka melakukan kegiatan apa? Sebagian besar tidak melakukan kegiatan apa-apa. Padahal jumlah mereka sangat banyak. Terus terang saya agak terkejut ketika Harry Koko Santoso, penyelenggara pertunjukan musik Indonesia, menyebut bahwa di Indonesia ada 300.000-an grup musik yang sebelum pandemi mengandalkan hidupnya dari panggung satu ke panggung yang lain. Panggung yang dimaksud antara lain adalah hajatan pernikahan.
Sebelum pandemi, katanya saat berbicara dalam Forum Diskusi Denpasar 12 yang secara virtual digelar dari rumah dinas Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, setiap tahun sedikitnya ada 3 juta kegiatan event musik. Bayangkan berapa juta orang yang kini kehilangan pekerjaan.
Kenyataan itu, menurut Koko, membuktikan bahwa para pekerja seni, tidak punya posisi tawar yang kuat. Padahal seharusnya posisi mereka pararel dengan industri musik dan industri digital.
Tapi, apa mau dikata. Industri musik sendiri kini berjalan di tempat. Para pemusik yang pernah berjaya, di masa tuanya sengsara. Setelah meninggal dunia tidak punya apa-apa. Mereka tampil kembali kalau ada acara amal seperti malam dana.
Selain itu, situasi dan kondisi juga tidak mendukung dunia kreatif (musik). Bayangkan Indonesia punya banyak kota. Paling tidak ibukota provinsi. Namun, kota yang punya gedung pertunjukan yang representatif untuk konser musik hanya Jakarta.
Dihadapkan pada situasi seperti itu, jangan heran jika artis musik kita tidak punya daya saing layaknya artis kaliber dunia. “Sampai saat ini tidak ada artis Indonesia yang punya nilai jual 100.000 dolar AS. Ini PR besar buat kita,” tambah Koko lagi
Lho, bukankah dalam masa pandemi seperti saat ini, artis-artis kita bisa memanfaatkan platform digital yang juga bagian dari industri kreatif? Benar. Tapi, platform digital yang kini ada bukan produk lokal, melainkan milik asing. Akhirnya yang dapat untung besar ya pemilik platform, bukan artis-artis kita.
Para artis kesenian tradisional lebih terpukul lagi. Artis tarling Diana Sastra dalam Forum Diskusi Denpasar 12 yang bertajuk Merumuskan Jalan Industri Kreatif Pasca Pandemi mengungkapkan pendapatannya menurun drastis sejak covid-19 datang. Semua seniman menjerit karena mereka tak punya lagi panggung.
Lazimnya kalau ada hajatan, sekali manggung, Diana membawa kru sedikitnya 70 orang. Namun, sejak pandemi, jika pun diundang tampil manggung di hajatan seperti pernikahan, ia paling banter hanya membawa 10 orang. Solusi untuk sementara ini Diana hanya menggelar acara secara live streaming di YouTube.
Kesetiaan Diana untuk melestarikan budaya tradisional layak kita apresiasi dan dukung. Pasalnya upaya melestarikan kesenian tradisonal juga tidak gampang seperti yang dialami tim pelestari kesenian budaya kuda lumping yang tampil di Medan. Sebagaimana diberitakan, gerombolan anggota ormas pemonopoli 'kebenaran', belum lama ini membubarkan pertunjukan kuda lumping tersebut lantaran dianggap musyrik.
Negara harus hadir
Dilatarbelakangi kenyataan-kenyataan itu, saya bisa pahami kalau para pembicara dalam forum diskusi tersebut mengharapkan negara harus hadir dan memberikan solusi agar di masa pandemi seperti saat ini industri kreatif, khususnya sektor seni dan budaya bisa tetap eksis, “Dan menjadi tuan di rumah sendiri,” kata Niluh Djelantik, entrepreneur industri kreatif (fashion).
Sayang memang, seperti diungkapkan wartawan senior Saur Hutabarat, negara sepertinya masih gamang dalam mengurus budaya. Buktinya, berkali-kali Direktorat Jenderal Budaya berpindah payung/atap (kementerian). Ini membuktikan negara tidak punya konsep bagaimana mengembangkan budaya.
Jakarta memang punya Dewan Kesenian. Tetapi lembaga ini punya eksistensi dan berwibawa ketika Jakarta dipimpin gubernur (waktu itu) Ali Sadikin. Setelah itu, keberadaan Dewan Kesenian Jakarta antara ada dan tiada.
Kehilangan Roh dan raga
Saya sependapat dengan Saur bahwa seni yang di dalamnya ada tuntutan kreativitas tanpa panggung sama saja kehilangan roh sekaligus raga. Sungguh aneh jika Indonesia yang memiliki 34 provinsi, hanya ada satu provinsi yang punya gedung pertunjukan.
Sekadar contoh, Ambon dikenal sebagai kota musik. Namun, faktanya menurut pianis Ananda Sukarlan, kota ini tidak punya gedung konser. Tidak punya sekolah musik. Aneh, bukan? Tapi, itulah faktanya.
Mengacu kepada apa yang dikatakan Saur, industri film saat ini juga tidak punya roh dan raga sebab bioskop masih tutup. Namun, menurut mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, industri perfilman sekarang ini sebenarnya tidak ada masalah. Artinya, kalau mau, insan perfilman bisa saja membuat film. Tapi, setelah itu puncak kreativitas mereka mengalami kemacetan di bioskop yang sampai sekarang belum diizinkan oleh pemerintah untuk dibuka.
Padahal, menurut Wishnutama, nonton film ke bioskop lebih aman daripada makan di restoran. Jika makan di restoran, kita mau tidak mau harus membuka masker, sedangkan di bioskop, masker tetap dipakai. Duduk teratur menghadap ke muka. Di dalam gedung, penonton juga tidak saling berbicara.
Menonton event seperti konser musik sebenarnya juga aman. Sayang memang, pemerintah belum memberikan kesempatan industri kreatif untuk eksis kembali manggung. Entah sampai kapan.
Dunia digital sebenarnya juga memberikan harapan baru bagi pelaku dan kreator-kreator lokal. Namun, lagi-lagi kita kalah cepat. Ekonomi digital yang bertaburan di Indonesia, sebagian besar bukan milik kita. Menurut Wishnutama, sektor ini, 80% dikuasai asing. Indonesia hanya punya 20%, dan yang 20% ini jadi rebutan, termasuk industri kreatif media massa.
Apa yang kita lakukan selama ini hanya memperkaya orang lain. Saya sempat kaget. Menurut Wishnutama, selama pandemi, pertumbuhan pengguna platform Zoom ternyata naik tak tanggung-tanggung, 28.000 persen!
Terus terang, saya tidak tahu, kapan kita bisa menjadi pemain dan menapaki jalan industri kreatif yang merindukan panggung di masa atau pasca pandemi. Ada baiknya kehadiran Presiden Jokowi dalam pernikahan Atta Halilintar-Aurel tempo hari (dihadiri banyak orang), dijadikan benchmark atau sinyal bahwa industri kreatif, khususnya dunia hiburan sudah boleh manggung di masa pandemi. Tentunya dengan tanda bintang alias syarat dan ketentuan berlaku. Semoga.
Studi terbaru mengungkapkan vaksinasi anak mengalami stagnasi dan kemunduran dalam dua dekade terakhir.
Diary, merek perawatan kulit (skin care) asal Bekasi, sukses menembus pasar Vietnam dan Jepang berkat inovasi produk, strategi digital, dan semangat pantang menyerah.
Produksi masker ini. bersamaan dengan produk lain seperti kopi, keripik udang dan coklat lokal membawa Worcas mendapatkan perhatian pasar domestik internasional.
Tahun 2020, sepasang peneliti India mengklaim lockdown global selama pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan suhu permukaan bulan.
Jumlah wisman yang datang langsung ke Bali pada Januari-November 2023 sebanyak 5.782.260 kunjungan, sementara pada periode yang sama tahun 2019 sebanyak 5.722.807 kunjungan.
KETUA Satgas Covid-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan mengungkapkan bahwa human metapneumovirus atau HMPV tidak berpotensi menjadi pandemi seperti yang terjadi pada covid-19.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved