Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Jaket itu, Setangkai Api Harapan di Tengah Nestapa

Inosensius Sutam || Rohaniwan Katolik dan dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores-NTT
10/4/2021 11:00
Jaket itu, Setangkai Api Harapan  di Tengah Nestapa
Istimewa(Dok. Pribadi)

     NUSA Tenggara Timur (NTT) tengah berpayung duka, berselimut nestapa. Di tengah wabah covid-19 yang melanda dunia, siklon Seroja, sang tamu tak diundang menerjang-menghantamnya, pada 4-7 April 2021, dan berlanjut setelahnya, dengan intensitas yang berkurang. Semua ditunggangbalikkan. Tanpa ampun. Siklon bersama hujan dan banjir sahabatnya, seperti pendekar mabuk yang menyerang tanpa pandang bulu.

    Tanpa secuilpun belaskasihan. Semua disapu rata. Manusia, rumah, gedung, hewan, tumbuhan, jalan, fasilitas umum. Mati, hancur, roboh, rusak, hilang. Semuanya dirampok. Kemudian kosong.  Sunyi dan senyap. Di sini, kita tidak tahu siapa menangisi siapa dan apa. Tapi, untuk apa?  Payung duka dan selimut nestapa ini, semakin lebar menghimpit jiwa, ketika beberapa tokoh kebanggaan NTT harus pamit dari hidup ini pada saat yang sama, Daniel Dhakidae, sang intelektual handal, Umbu Landu Paranggi, sang sastrawan hebat, dan Kamelus Deno, mantan bupati Kabupaten Manggarai, administrator  pemerintahan yang mumpuni.

   Di tengah badai hidup seperti ini, walaupun dengan berat hati, kita bisa  mengamini plesetan untuk provinsi ini, Nasib Tak Tentu (NTT). Atau plesetan baru ini, Nestapa Tak Terpadamkan (NTT). Kasihan memang daerah ini, sudah miskin, terbelakang, tertimpa bencana pula. Untuk diketahui juga, bahwa bencana ini, berada pada puncak pesta Paskah yang dirayakan sebagian besar umat di provinsi ini.

   Kita masih ingat, pesta Paskah ini, diawali dengan teror bom di Katedral Makassar. Awal yang mencekam itu, diakhiri dengan bencana alam dahsyat ini. Ini hantu kehidupan. Tapi pesta Paskah juga menghantar kita untuk memaknai satu plesetan yang memberi harapan untuk wilayah ini, Nanti Tuhan Tolong (NTT). Ini plesetan, tapi dalam iman bisa sungguh terjadi.

    Pesta Paskah, memang menjadi narasi hidup dari pertolongan Tuhan. Tuhan yang mengalahkan maut, dan bangkit dari kematian, pasti menolong. Dan pertolongan Tuhan Tak (pernah) Terlambat (NTT). Dia datang bersama gada pemadam nestapa. Ia hidupkan cahaya penghalau gelap. Ia alirkan air penghalau dahaga, dan pembersih lumpur bencana.

     Gada pertolongan Tuhan itu, ada pada tangan sesama anak bangsa yang terketuk pintu hatinya. Bencana melanda, bantuan mengalir. Tanda kasih yang selalu terpatri dalam hati sanubari setiap insan yang membagi hidupnya, bagi saudara-saudaranya yang lagi sengsara. Setiap tangan berbuat, setiap kaki bergerak, supaya yang terhimpit mendapat jalan keluar.

    Mulai memulihkan lagi kehidupan. Walaupun, terlalu dini untuk bisa sepenuhnya melupakan goresan pedih di hati, luka pahit buah kecelakaan bencana. Tetapi, sekurang-kurangnya mereka tahu, mereka tak sendirian. Ada kaki yang mendekat dengan tangan terulur, membuka selubung kesedihan. Untuk melanjutkan lagi ziarah hidup di dunia fana ini.

    Salah satu kaki, yang bergerak mendekati dan menginjak tanah Flobamora yang lagi sesak napas ini adalah Jokowi, Presiden yang dicintai seantero negeri. Berbadan kurus, tapi berjiwa tegar dan kekar. Ia dari bawah, dari rakyat, dan turun lagi ke bawah. Ia berada di pusat tapi mau memeluk yang di pinggir.

     Di Kabupaten Lembata dan Flores Timur, pada tanggal 9 April 2021, Jokowi meninjau lokasi terkena dampak bencana. Di Desa Amakaka, Kecamatan Ili Ape, Kabupaten Lembata, beliau membuka jaket merahnya, dan dipakaikannya  pada Fransiskus Ade Uran. Di Desa Nele Lamadike, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, jaket coklatnya dikenakannya pada Jakson Boleng. Kedua pemuda ini adalah warga terkena dampak bencana. Aksi tersebut, disambut histeris dan sorak-riang oleh warga.

     Sekejap, sukacita hadir di tengah dukacita. Sungguh sebuah gestikulasi yang tepat waktu, tempat, dan tepat orang. Foto dan videonya viral di jagat maya. Viral, karena ini adalah pesan simbolis yang menusuk nurani setiap insan. Ini sebuah modal sosial dan simbolis dalam pikiran Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis. Membuka jaket, adalah dia yang mau membuka diri untuk orang lain. Memberikan jaket, adalah dia yang membagikan hidupnya bagi yang lapar dan haus. 

    Memakaikan jaket pada yang lain, adalah dia yang ingin menantang hidup mereka yang lagi susah dan terhimpit. Ia menjadi saudara, bagi mereka yang sedang layu esa hidupnya. Ini persis pesan Paskah yang hidup. Jaket merah dan coklat Jokowi itu, telah menjadi setangkai api pemadam kegelapan Nestapa Tak Terpadamkan (NTT), untuk provinsi di ujung selatan NKRI ini. Jaket itu, menjadi jembatan kasih antara yang pusat dan pinggir, antara yang tinggi dan rendah, antara yang besar dan kecil.

     Ia menjadi benang harapan, yang menjahit kembali solidaritas bangsa, setelah robek oleh bom bunuh diri dan bencana alam. Jaket itu, telah menjadi pemantik penyala lilin kehidupan di tengah rahim gelap putus asa akibat teror dan bencana. Lilin inipun, menjadi pembuka tabir keindahan alam, dan keunikan budaya NTT yang menyebabkannya menjadi destinasi wisata yang menjanjikan.

    Bencana selalu menyulut derita, dan nestapa. Tetapi, serentak juga merenda rahim kasih yang melahirkan kekuatan baru, untuk melipat payung duka dan selimut nestapa. Di tengah derita ada sahabat, di ujung nestapa ada cinta. Terima kasih Presiden Jokowi, yang selalu terdepan untuk menjadi payung harapan, dan selimut kasih bagi tegak dan abadinya rumah NKRI tercinta ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya