Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Literasi Kebencanaan Alam untuk Pelajar

Erwin Prastyo, Guru di MTs Darul Ishlah Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jateng, Fasilitator Program PINTAR Tanoto Foundation
02/3/2021 15:05
Literasi Kebencanaan Alam untuk Pelajar
Erwin Prastyo(Dok pribadi)

BELUM juga surut tensi situasi akibat pandemi covid-19 di Indonesia, kita harus menghadapi realita datangnya bencana alam yang silih berganti. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merilis kaleidoskop bencana, tercatat sebanyak 2.925 kejadian bencana sepanjang 2020. Selanjutnya selama Januari 2021 saja sudah terjadi 263 kasus. 

Bila dikaji lagi, banjir menjadi bencana yang paling sering terjadi, diikuti longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan gempa bumi. Bencana tersebut termasuk kelompok bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang berkaitan dengan iklim dan cuaca yang ekstrem. 

Rentetan bencana yang terjadi sejatinya akibat faktor letak geografis Indonesia yang berada di jalur ring of fire. Data United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara paling rawan terhadap bencana. Namun ironisnya, fakta ini tidak didukung dengan literasi kebencanaan warganya yang memadai. Data yang dirilis Word’s Most Literate Nation (2006) menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang diservei. Hal ini pun semakin menjauhkan panggang dari api dalam mewujudkan masyarakat tangguh bencana.

Pelajar menjadi salah satu kelompok terdampak bencana yang cukup besar dengan persentase mencapai 31%. Harus diakui bahwa praktik pendidikan mitigasi untuk menanamkan literasi bencana di sekolah saat ini masih rendah. Hal ini tidak lepas dari beberapa faktor seperti kurikulum pembelajaran yang masih dikotomis (materi pembelajaran dan kebencanaan); terbatasnya buku referensi bermuatan kebencanaan; hingga rendahnya kapasitas guru dalam mendesain pembelajaran bermakna dan menyenangkan (meaningful and joyful learning).

Persoalan serius

Menurut uraian di atas persoalan bencana dan pendidikan mitigasi di negeri ini masih jadi persoalan serius. Hal ini sepatutnya menjadi bahan refleksi untuk membangun dan membudayakan pembelajaran mitigasi (literasi kebencanaan) serta pengurangan risiko bencana (PRB) di masa mendatang.

Pendidikan memiliki peran vital dalam melahirkan generasi muda yang reflektif dan solutif. Pembelajaran sains menjadi amunisi yang sangat potensial dalam menumbuhkan literasi kebencanaan seperti sikap siaga bencana bagi pelajar. Upaya menumbuhkan literasi bencana bencana juga memang idealnya dimulai sejak usia sekolah. Seperti di Jepang yang sejak dini sudah mengupayakan pengurangan risiko bencana dengan mengajarkan sikap sadar bencana pada anak-anak.

Salah satu upaya menumbuhkan literasi bencana adalah dengan mengajak murid melakukan berbagai eksplorasi dengan eksperimen. Hal ini dapat diwujudkan dengan pembelajaran menggunakan pendekatan MIKiR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi) yang dikembangkan Tanoto Foundation. Melalui perancangan skenario pembelajaran dan lembar kerja (LK) berpendekatan MIKiR yang baik oleh guru, diharapkan bisa menjadi guider setiap langkah pembelajaran.    

Aplikasi pembelajaran literasi bencana dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat ini bisa dimulai dalam menyikapi bencana banjir. Murid diberikan proyek sederhana pembuatan model saluran air. Dengan MIKiR langkah yang dilakukan; pertama, pada unsur Mengalami (M), mula-mula murid diajak untuk mengamati fenomena banjir yang terjadi di lingkungan sekitar. Langkah ini juga dapat dilakukan dengan menonton video maupun membaca artikel ringan tentang banjir. Selanjutnya guru mengarahkan murid agar dapat merumuskan dua pertanyaan; bagaimana banjir dapat terjadi? Bagaimana upaya pencegahan banjir?

Langkah berikutnya murid merangkai dan melakukan eksperimen dengan menggunakan bahan sederhana seperti botol bekas air mineral ukuran 1,5 liter, air, sampah kertas, dan sampah plastik. Alat yang digunakan juga cukup sederhana antara lain ember, gunting, selang, dan lakban. Murid membandingkan kondisi saluran air yang dibuat tanpa sampah yang menghambat dan dibandingkan dengan saat ada sampah yang menghambat.

Kedua, pada tahap Interaksi (I) murid melakukan interaksi dengan teman maupun guru. Tanya jawab dengan guru maupun diskusi bersama teman sekelompok melalui WhatsApp Group (WAG). Ketiga, pada tahap Komunikasi (Ki), murid menyusun laporan percobaan secara tertulis. Data yang dituliskan dalam laporan merupakan data yang diperoleh dari hasil ekperimen. Laporan selanjutnya dikumpulkan kepada guru dengan mengirimkan foto laporan melalui pesan gambar WhatsApp

Yang terakhir, pada tahap Refleksi (R), murid melakukan refleksi dengan menjawab beberapa pertanyaan yang memuat perasaan murid setelah pembelajaran sains; hal yang belum dipahami; hal yang sudah dipahami; dan yang ingin dipelajari murid lebih lanjut. 

Murid juga sangat perlu diberikan pemahaman bahwa bencana hidrometeorologi terjadi juga akibat buruknya sistem tata kelola lingkungan, deforestasi, dan degradasi lahan. Mereka didorong memahami pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan alam dan melakukan upaya sederhana. Misalnya saja, setiap murid dianjurkan menanam satu batang pohon dan merawatnya hingga dia lulus, bersama-sama membuat lubang biopori untuk resapan air, menjaga kelestarian sungai di sekitar sekolah/tempat tinggal, dan sebagainya.

Pembelajaran sains yang mengintegrasikan literasi kebencanaan akan lebih baik bila mengakomodir pengembangan aspek pengetahuan (knowledge), aspek sikap (attitude), dan aspek keterampilan (skill) secara terpadu. Kurikulum 2013 yang saat ini dijalankan sudah menjadi langkah awal yang baik untuk pengembangan pendidikan mitigasi dalam pembelajaran, namun perlu disadari bahwa hal ini mutlak diperlukan inovasi dan kreativitas tanpa batas dari para guru.    

Selain itu keluarga juga memiliki peran tak kalah pentingnya dalam menyediakan informasi tentang bencana alam. Orang tua dapat membaca buku cerita bencana alam, menonton bersama film tentang bencana, dan membangun dialog positif bersama anak selama di rumah. Dengan langkah-langkah tersebut, harapannya dapat membentuk kesadaran terhadap bencana yang mumpuni, fatalitas angka korban dan dampak kerusakan bencana yang melibatkan pelajar dapat ditekan sekecil mungkin. Semoga. 


Erwin Prastyo, Peserta Peningkatan Skill Menulis bagi Tenaga Pengajar Se-Indonesia



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik