Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Upaya Indonesia untuk Energi Terbarukan

Yose Rizal Damuri Ketua Departemen Ekonomi CSIS Indonesia
07/1/2021 02:55
Upaya Indonesia untuk Energi Terbarukan
(Dok.CSIS)

PRESIDEN Joko Widodo telah menjadikan energi terbarukan dan kelestarian lingkungan sebagai ciri khas dari kebijakan sektor energinya. Ambisi tersebut dijabarkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan pemerintah menargetkan  23% bauran energi primer berasal dari energi terbarukan (ET) pada 2025, dan 31% pada 2050.

 

 

 

 

 

 

 

Hal ini sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk mempromosikan energi bersih, dan juga diamanatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Khususnya, pada poin 7, untuk memastikan akses energi yang terjangkau dan berkelanjutan.

Namun, target tersebut tampaknya sulit dicapai mengingat saat ini kontribusi ET dalam bauran energi nasional masih berada di kisaran 10%. Contohnya, di sektor kelistrikan yang menyumbang 40% konsumsi energi di Indonesia, kurang dari 15% kapasitas listrik berasal dari sumber energi terbarukan, dengan sebagian besar bersumber dari tenaga air (8,5%) dan panas bumi (3%).

Penggunaan energi terbarukan di sektor lain bahkan lebih terbatas. Di bidang transportasi, bahan bakar meliputi lebih dari 99% sumber energi meskipun penggunaan biofuel semakin meningkat. Sektor industri juga masih memperoleh sebagian besar energinya dari batu bara dan bahan bakar meskipun rumah tangga telah mengubah konsumsi energinya menjadi gas yang lebih bersih selama lebih dari satu dekade.

Menurut Dewan Energi Nasional, ET berpotensi menghasilkan listrik 440 GW jika dapat dimanfaatkan secara optimal. Angka tersebut, tiga kali lebih tinggi daripada perkiraan kebutuhan listrik pada 2030. Perekonomian akan membutuhkan lebih banyak energi, untuk mendukung pertumbuhannya yang pesat, dan ET memiliki potensi yang besar untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun, terdapat beberapa hambatan bagi negara untuk mencapai targetnya dan memanfaatkan ET.

Hambatan pertama ialah kurangnya investasi. Sebagian besar energi terbarukan dapat dimanfaatkan melalui tenaga listrik sehingga diperlukan investasi pembangkit listrik terbarukan untuk meningkatkan ET. Untuk mencapai target 2025, dibutuhkan investasi minimal sebesar US$72,5 miliar. Namun, investasi Indonesia di ET masih lesu, dengan investasi yang hanya mencapai US$1,17 juta dari investasi yang ditargetkan sebesar US$1,8 juta tahun lalu.

Kabar baiknya, pangsa sektor swasta atas investasi dalam pembangkit listrik terbarukan semakin meningkat. Independent power producers (IPP) menyumbang 40% dari kapasitas pembangkit listrik terbarukan yang sudah terpasang, jauh lebih tinggi daripada pangsa IPP pada umumnya (24%).

Kurangnya investasi dapat dikaitkan dengan beberapa aspek. Salah satu hal yang penting ialah struktur sektor ketenagalistrikan Indonesia. Sektor itu merupakan pasar monopoli yang diatur secara ketat, didominasi badan usaha milik negara (BUMN), PT PLN, yang memonopoli distribusi dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen.

IPP hanya dapat menjual listrik mereka ke PLN berdasarkan harga tertentu yang ditentukan PLN dan pemerintah, dalam regulasi feed-in-tariff (FIT). Struktur pasar serta relatif rendahnya harga yang diperoleh IPP telah menghambat investasi yang lebih besar di ET mengingat belanja modal untuk jenis energi ini relatif tinggi.

Di sisi lain, investasi dari PLN tidak banyak meningkat, dengan mereka masih bergantung pada bahan bakar fosil. Meskipun target penggunaan ET yang ambisius, pembangkit listrik tenaga batu bara baru milik PLN tetap dalam pengembangan, dengan kapasitas pertumbuhan sebesar 6,7% setiap tahun selama lima tahun terakhir.

 

Pemahaman

Persoalan lainnya datang dari kesadaran masyarakat dan pelaku ekonomi. Pemahaman tentang energi terbarukan dan bersih masih rendah dan pasar ET belum terbentuk di tingkat konsumen. Prioritas tetap berada pada energi dengan biaya rendah dan menjadikan aspek keberlanjutan hanya sebagai pelengkap.

Selain itu, subsidi energi miliaran dolar untuk bahan bakar dan listrik telah menyebabkan distorsi pada pasar tenaga listrik. Sekalipun pasar energi ET ditetapkan di tingkat konsumen, terdapat sedikit insentif bagi rumah tangga dan sektor industri untuk beralih ke listrik terbarukan kecuali pemerintah memberikan lebih banyak subsidi, yang akan semakin mendistorsi pasar.

Masalah lainnya datang dari kerangka kebijakan dan peraturan. Meskipun target tersebut tampaknya mendorong penggunaan energi terbarukan, kebijakan itu juga memberikan porsi minimum 30% pada 2025 dan 25% pada 2050 untuk batu bara, dan bagian minimum sebesar 22% dan 24% untuk gas alam, yang menunjukkan masa depan arah kebijakan masih akan memberikan ruang bagi penggunaan bahan bakar fosil. Banyak pula regulasi sektoral dan spesifik yang menghambat pengembangan energi terbarukan, termasuk tata ruang dan regulasi.

Untuk mencapai target pemanfaatan energi terbarukan, pemerintah perlu memberikan dukungan yang intensif, tidak hanya dalam bentuk arahan dan rencana, tetapi juga harus dituangkan dalam kebijakan dan peraturan, serta dukungan sumber daya yang nyata.

Sebagai salah satu negara G-20, Indonesia harus menepati janjinya untuk 'mendukung dalam mengatasi tantangan lingkungan yang mendesak, seperti perubahan iklim...' dan untuk 'mengakui pentingnya dan ambisi untuk mengurangi emisi'. Ini bahkan menjadi semakin penting dalam konteks peran Indonesia sebagai pemimpin Troika pada G-20, bersama Italia dan Arab Saudi, serta peran Indonesia sebagai Presiden G-20 pada 2022. Pada kesimpulannya, mempromosikan energi terbarukan ialah titik awal yang penting untuk memerangi masalah perubahan iklim dan lingkungan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya