Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Merdeka dari Pelanggaran HAM Berat

Munafrizal Manan Wakil Ketua Komnas HAM RI
22/8/2020 03:00
Merdeka dari Pelanggaran HAM Berat
(Dok. Pribadi)

PERINGATAN kemerdekaan ke-75 RI merupakan momentum meneguhkan kembali spirit kemanusiaan.

Elan vital perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ialah spirit kemanusiaan. Pengalaman di cengkeram kolonialisme asing telah membangkitkan kesadaran pentingnya nilai kemanusiaan dan kulminasinya ialah revolusi kemerdekaan.

Para pendiri negara RI kemudian mematrikan spirit kemanusiaan itu ke dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945 sarat dengan diksi, frasa, maksim, dan filosofi kemanusiaan.

Sebagai dokumen fundamental yang tidak dapat diubah, spirit kemanusiaan dalam Pembukaan UUD 1945 akan selalu inheren dengan eksistensi NKRI. Dalam leksikon HAM, tujuan spirit kemanusiaan itu ialah penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Spirit kemanusiaan ini semestinya tidak redup, sebaliknya harus terus berkilau seiring bertambahnya usia RI. Namun, justru itulah tantangan yang dihadapi sekarang. Pada aras normatif, spirit kemanusiaan itu sekadar aksesori pelengkap bernegara.

Ia hanya menjadi kata dan kalimat mati yang tertera dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.

Ia pun hanya sebagai etalase diplomasi internasional, berbangga dan berpuas diri menjadi anggota Dewan HAM PBB dan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Pada aras empirik, tidak semua legislasi, kebijakan, keputusan, dan vonis dalam praktik bernegara mencerminkan spirit kemanusiaan. Ini ditambahi pula oleh tingkah sebagian masyarakat yang turut berkontribusi tak mengindahkan nilai kemanusiaan dalam relasi sosialnya.


Cukup jelas

Pascakemerdekaan RI, sejumlah peristiwa tragis yang merenggut nyawa terjadi, baik dalam bentuk vertikal (dilakukan aparatus negara) maupun horizontal (dilakukan unsur masyarakat). Peristiwa ini disebut sebagai pelanggaran HAM.

Peristiwa itu ada yang sudah terlupakan dan ada pula yang hanya menjadi catatan sejarah.

Ada pula peristiwa yang sudah dinyatakan sebagai dugaan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI. Saat ini, ada 12 berkas hasil penyelidikan projustisia dugaan pelanggaran HAM berat yang belum jelas tindak lanjut proses pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.

Kendati penyelesaiannya pernah dijanjikan saat kampanye pemilihan presiden, adegan berulang bolakbalik pengembalian berkas kasus oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM justru mempertontonkan ketidakpastian penyelesaiannya.

Perdebatan teknis hukum yang multiintepretatif memacetkan proses penyelesaian projustisia kasus-kasus tersebut. Kemacetan itu terutama bersumber dari kontradiksi makna ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti permulaan yang lengkap’.

Dengan lingkup wewenang dan instrumen wewenang penyelidikan yang terbatas, sulit bagi Komnas HAM menyuguhkan bukti permulaan yang lengkap, sebagaimana cenderung dikehendaki penyidik melalui serentetan petunjuk yang disampaikannya atas hasil penyelidikan Komnas HAM.

Komnas HAM dikondisikan agar menyampaikan hasil penyelidikan yang 100% siap pakai oleh penyidik. Sesungguhnya merupakan pekerjaan penyidik untuk mendapatkan bukti permulaan yang lengkap itu guna membuat terang tindak pelanggaran HAM yang berat dan untuk menemukan tersangkanya.

Lingkup wewenang penyelidik, penyidik, penuntut, dan hakim dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM sudah cukup jelas. Sebagai lembaga yang melakukan penyelidikan, fokus penyelidikan Komnas HAM ialah mencari dan menemukan suatu peristiwa, yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.

Dengan lingkup wewenang dan juga instrumen wewenang yang terbatas, penyelidikan oleh Komnas HAM hanya untuk memastikan apakah peristiwa yang disebut sebagai pelanggaran HAM berat nyata adanya.

Ketika telah diketahui siapa korbannya, kapan terjadinya, di mana terjadinya, siapa saksinya, apa buktinya, dan terpenuhi unsurnya, sungguh tidak tepat berkata bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM merupakan ilusi.

Hasil penyelidikan itu berbasis pada temuan fakta-fakta. Selanjutnya ialah wewenang Jaksa Agung sebagai penyidik berdasarkan hasil penyidikannya untuk meneliti dan menyimpulkan apakah hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM itu dapat diproses lebih lanjut atau dihentikan.

Hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM yang berat merupakan dokumen hukum projustisia. Sepanjang UU 26/2000 masih berlaku, status dokumen hukum itu akan tetap hidup dan wajib ditindaklanjuti berdasarkan lingkup wewenang penegak hukum yang diatur dalam UU a quo.

Tanpa bertitik tolak dari hasil penyelidikan Komnas HAM itu, langkah penyelesaian apa pun yang hendak ditempuh niscaya tidak akan berujung pada penyelesaian akhir. Itu karena status lebih lanjut atas hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM itu hanya dapat disimpulkan melalui kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum, yaitu dalam bentuk peningkatan statusnya ke tingkat penyidikan dan penuntutan hingga pelimpahan perkara ke pengadilan HAM. Atau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan apabila disimpulkan dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup.


Sesuai koridor

Yang dinantikan sekarang ialah keberanian mengambil langkah penyelesaian sesuai koridor yang tersedia dalam UU 26/2000. Mungkin saja hasil akhirnya tidak akan memuaskan semua pihak. Namun, akan jauh lebih beradab daripada terus-menerus menelantarkan perasaan kemanusiaan dan keadilan para korban dan keluarganya.

Tanpa ada tindak lanjut proses penyelesaian atas kasus-kasus itu, akan muncul persepsi dan insinuasi tengah berlangsung pemberian impunitas melalui pintu belakang serta membiarkannya menjadi beban sejarah dari generasi ke generasi.

Padahal, doktrin hukum HAM internasional menolak keras impunitas. Itulah mengapa pernah berlaku prinsip nonretroaktif dalam pelanggaran HAM yang berat yang dikualifi kasi sebagai kejahatan sangat serius. Selain itu, berlaku juga penerapan prinsip yurisdiksi universal yang memungkinkan suatu negara memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di negara lain. Misalnya, pada 2019 pengadilan Belgia mengadili bekas pejabat Rwanda atas dakwaan melakukan genosida di negaranya pada 1994.

Pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal kedaluwarsa sebagaimana berlaku dalam pidana umum. Artinya, sampai kapan pun kasus-kasus itu akan tetap menuntut pertanggungjawaban sampai ada penyelesaiannya.

Prinsip nonkedaluwarsa ini telah ditegaskan dalam Pasal 46 UU 26/2000.

Pembentukan UU 26/2000 dimaksudkan agar Indonesia menyelesaikan sendiri kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan kedaulatan yurisdiksi hukum nasionalnya, tidak berdasarkan mekanisme internasional. Pengalaman Indonesia menunjukkan, dimensi internasional mampu memengaruhi atensi domestik terhadap penegakan HAM.

Pembentukan lembaga Komnas HAM pada 1993, secara langsung atau tidak langsung, dipicu peristiwa Santa Cruz di Timor Timur pada 1991 yang menjadi sorotan internasional. Pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada 2001 juga sebagai respons atas Resolusi 1264 Dewan Keamanan PBB yang mendesak Indonesia mengadili pelaku tindak kekerasan pascajajak pendapat di Timor Timur pada 1999.

Kita harus mencegah muncul penilaian dunia internasional bahwa Indonesia tidak mampu dan tidak mau menyelesaikan sendiri kasuskasus pelanggaran HAM yang berat.

Untuk itu, hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat harus segera diselesaikan. Bangsa ini jangan hilang keberanian menegakkan spirit kemanusiaan warisan perjuangan kemerdekaan agar merdeka dari pelanggaran HAM yang berat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya