Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
GERAKAN perempuan politik bersama masyarakat sipil telah mencanangkan komitmen pencapaian target 30% perempuan di parlemen pada 2024. Salah satu kendala yang mencuat dalam setiap proses pencalegan ialah sulitnya melakukan rekrutmen perempuan caleg.
Menolak afirmasi
Pada pembahasan UU Pemilu Tahun 2017, gerakan perempuan politik dan masyarakat sipil telah mendorong agar klausul penempatan perempuan caleg pada nomor urut 1 di minimal 30% daerah pemilihan menjadi norma undang-undang. Namun, sejumlah partai politik menolak dengan alasan kesulitan mencari kader perempuan yang ‘layak’ ditempatkan pada posisi nomor satu sebagai posisi prestisius dan memiliki peluang menang lebih besar.
Meski kemenangan caleg ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, penelitian Puskapol UI menunjukkan posisi nomor satu memiliki tingkat keterpilihan di atas 60%. Jadi, sangat wajar jika dalam perspektif parpol, nomor satu merupakan posisi spesial untuk caleg spesial.
Yang dimaksud ialah caleg yang memiliki peluang paling besar untuk menang dalam kompetisi. Siapakah dia? (yaitu) caleg yang memiliki
modal sosial (popularitas) dan modal finansial tinggi yang ukurannya ialah survei. Jadi, dianggap wajar jika parpol menempatkan caleg dari kalangan selebritas, mantan kepala daerah, atau mereka yang memiliki jaringan kekerabatan dengan penguasa.
Jika demikian, parpol akan tetap setengah hati menempatkan kader perempuan tanpa embel-embel popularitas dan isi tas pada nomor urut satu. Apakah kita akan terus berhadapan dengan logika parpol yang menolak afirmasi karena sulit mencari kader perempuan potensial?
Jika parpol mau bekerja lebih serius dan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin partai akan surplus dan melimpah kader perempuan
potensial. Kuncinya ialah proses kaderisasi perempuan politik yang harus dilakukan jauh-jauh hari.
Tidak bisa tiba masa pendaftaran, baru parpol bergerak mencari perempuan untuk dimasukkan ke daftar caleg. Bukankah regulasi pemilu menyebutkan parpol sebagai peserta pemilu yang memiliki kewenangan menyusun daftar calon dengan menempatkan minimal 30%
perempuan caleg?
Oleh karena itu, parpol memiliki peran penting, yaitu mencari dan mempersiapkan kader perempuannya mengisi kursi legislatif. Partai politik dituntut memiliki proses rekrutmen dan kaderisasi yang baik dengan tahapan terstruktur agar tidak kalang kabut saat pendaftaran caleg.
Menurut Surbakti (1992), rekrutmen dan kaderisasi politik ini mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Realitasnya, banyak parpol yang belum mampu menjalankan proses rekrutmen dan kaderisasi perempuan politik seperti yang diharapkan.
Ada beberapa alasan mengapa parpol kurang memperhatikan proses rekrutmen dan kaderisasi yang baik. Pertama, kekerabatan dalam politik. Parpol sebagai sarana kaderisasi kepemimpinan elite kini banyak dikuasai oligarki. Seorang kader sulit menembus jajaran elite partai jika ia tidak memiliki jaringan kekerabatan atau menjadi bagian dari penguasa meskipun telah membangun dedikasi yang tinggi dan lama. Kedua, mahar politik dalam setiap proses perolehan jabatan atau kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan
dukungan jadi bupati, gubernur, atau caleg spesial, harus ada transaksi finansial.
Ketiga, kecenderungan menjadikan popularitas seseorang sebagai short cut atau tol merekrut kader. Keempat, masih kuatnya pandangan
tentang politic sexism--menonjolkan appearance dan fisik perempuan. Perempuan bisa masuk dalam jajaran elite karena memiliki penampilan menarik.
Proses kaderisasi
Kita tahu dan meyakini bahwa rekrutmen dan kaderisasi parpol merupakan proses mentransformasikan believe, value, dan narasi atau platform politik pada setiap kadernya. Karena itu, terjadi internalisasi dalam pola pikir, pola sikap, dan perilakunya. Partai yang baik ialah partai yang memiliki kader atau pendukung dengan karakter yang mencerminkan nilai, citra, dan tagline-nya. Jika partai mencitrakan diri sebagai partai bersih dan peduli, tentu karakter itu pula yang harus muncul pada kadernya.
Jadi, kaderisasi merupakan proses yang harus dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif. Ibarat bertani, untuk mendapatkan panen berkualitas, tentu harus diikuti dengan memilih, menanam, dan mengolah bibit dengan cara-cara yang berkualitas juga.
Sebagai penutup, saya mengutip pendapat Betty Friedan, seorang aktivis perempuan internasional, yang mengatakan personal is political; sesuatu yang personal bersifat politis. Artinya, keterwakilan perempuan bukan sekadar afirmasi dan angka, melainkan bagaimana meletakkan perempuan sebagai subjek pembangunan dan menjadikan kebutuhannya diartikulasikan dalam kebijakan politik.
Tentu saja, lebih efektif jika perempuan yang menyuarakan karena ia yang memiliki penghayatan dan pengalaman terkait kebutuhan tersebut. Jadi, bagaimana mungkin parpol tidak menyiapkan kader perempuannya untuk duduk di legislatif melalui proses rekrutmen dan kaderisasi?
HAPPY Girlfriend Day (gf day) diperingati pada tiap 1 Agustus. Hari tersebut menjadi perayaan pasangan romantis. Namun, bukan saja untuk mereka yang memiliki pasangan,
KEBERPIHAKAN terhadap korban dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kerap melibatkan perempuan harus dikedepankan.
SETIAP tanggal 1 Agustus, media sosial dipenuhi ucapan penuh kasih bertuliskan Happy Girlfriend Day. Peringatan ini sejatinya ialah bentuk apresiasi bagi para perempuan hebat di hidup.
Filosofi ini bukan sekadar filantropi, melainkan keyakinan bahwa keberagaman adalah sumber inovasi dan efisiensi.
Kanker payudara umumnya dialami perempuan berusia paruh baya. Namun, seiring berkembangnya waktu, banyak kasus kanker payudara terjadi pada usia muda.
REVISI Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tampaknya kembali akan menjadi panggung teknokratis: membahas angka-angka, tanpa wajah para pelakunya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved