Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PERDEBATAN RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memicu magnitude perbedaan pandangan dari berbagai kalangan, seraya mengingatkan kita pada perdebatan PPKI dalam perumusan UUD 1945. Perbedaan pandangan dalam negara demokrasi merupakan keharusan, karena demokrasi dengan pandangan monolitik dalam bentuk apapun adalah penistaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Secara konstitusional, Pancasila ditetapkan bersamaan dengan UUD 1945 oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, karena, narasi Pancasila terkandung dalam alinea ke empat UUD 1945, yang merupakan bagian dari batang tubuh dan penjelasan, (saat ini UUD 1945 tidak mengenal penjelasan). Dalam alinea ke empat UUD 1945 itu Pancasila dirumuskan dalam sila-sila (lima sila).
Pancasila sebagai Grundnorm (norma dasar) merupakan pencerminan jiwa rakyat (Volksgeist), berkedudukan lebih tinggi daripada batang tubuh UUD. Letaknya sebagai tolok ukur untuk menilai batang tubuh, karena keberadaannya harus dinyatakan/diyakini sudah ada sebelum konstitusi.
Dengan demikian kedudukan Pancasila berada di atas norma peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dapat dilihat dari kedudukannya yang berada di dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, yang menjadi sandaran dalam pembentukan norma (pasal-pasal) dalam UUD 1945. Pancasila bukanlah sebuah norma. Melainkan, sebagai falsafah bangsa yang menjadi sandaran negara dalam merumuskan norma-norma hukum dari mulai peraturan perundang-undangan, kebijakan dan keputusan-keputusan seluruh organ negara.
Dalam naskah akademik, argumentasi Pancasila dirumuskan dalam RUU HIP, karena Pancasila menjadi pedoman bagi seluruh warga bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila juga sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun perencanaan, perumusan, harmonisasi, sinkronisasi, pelaksanaan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan pembangunan nasional di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, meletakkan Pancasila sebagai norma dan diatur dalam UU. Cara berpikir itu telah mendegradasikan Pancasila secara yuridis atau meletakkan Pancasila bukan sebagai nilai yang supreme (tertinggi) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Jika sudah menjadi UU, maka Pancasila dapat diserahkan kepada lembaga penafsir yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Misalnya saja tujuan pendidikan dalam RUU HIP disebutkan “membentuk tenaga terampil dan tenaga ahli sesuai dengan karakter manusia Pancasila untuk pembangunan nasional”.
Itu berbeda dengan tujuan yang dirumuskan dalam UU Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yakni “agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Perbedaan antara UU Sisdiknas dan RUU HIP dapat membuka ruang bagi rakyat untuk melakukan konstitusional komplain melalui yudicial review ke MK. Karena MK tidak dapat menolak perkara yang diajukan kepadanya, maka dapat berpotensi MK melakukan pembatalan terhadap norma-norma yang ada dalam RUU HIP karena UU Sisdiknas lebih khusus jika dibandingkan dengan RUU HIP (lex specialis derogate legi generali). Padahal MK tidak berwenang menafsirkan Pancasila, sehingga dapat melahirkan kesemrawutan konstitusional.
Sudah selesai
Lebih ironis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak, dirasa terlampau berlebihan. Karena, Presiden tidak memiliki fungsi review terhadap UU dan Perda, karena hal itu merupakan wewenang MK berdasarkan Pasal 24 UUD 1945. Apalagi MK berkali-kali mengingatkan dalam putusannya bahwa eksekutif tidak berwenang membatalkan peraturan daerah.
Diskusi Pancasila menjadi Tri Sila atau Eka Sila, bukanlah norma melainkan produk dialektika dalam dialog kebangsaan pada tanggal 1 Juni 1945. Dengan demikian, tafsir inipun harus dibicarakan dalam konsensus nasional, untuk menghindari mispersepsi. Dengan membuka tafsir Pancasila dalam RUU HIP, justru membuka ruang perdebatan tentang Pancasila. Padahal, Pancasila sudah selesai sebagai dasar negara dan letaknya ada pada pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai Dasar Negara secara yuridis diatur dalam Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara dan pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang P4. Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Itu dipertegas kembali dalam TAP MPR No. I/MPR/2003, TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 yang dikelompokan ke dalam Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena telah bersifat einmalig, telah dicabut, maupun telah dilaksanakan.
Sebagai dasar negara, Pancasila kedudukannya menjadi superior menjadi landasan dari pembentukan peraturan, kebijakan dan keputusan bagi seluruh organ negara dalam berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, politik dan budaya, termasuk panduan, pedoman berprilaku bagi rakyat sebagai adab kebangsaan Indonesia.
Phobia terhadap kekawatiran bahwa RUU HIP akan membangkitkan ajaran komunis sebetulnya berlebihan, karena negara berkomitmen dengan berbagai regulasi melarang ajaran tersebut. Misalnya saja sudah ada Tap MPRS No XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dan PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Bahkan Tap MPRS tersebut bersifat einmalig, yang bermakna final/selesai. Juga Pasal 107 UU 27/99 tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara telah melarang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Marxisme, Komunisme, Leninisme dalam segala bentuk dan wujudnya. Pelanggarannya diancam dengan pidana paling lama 20 tahun penjara.
Namun, sayangnya Tap MPRS itu dikesampingkan dalam RUU HIP, sementara banyak Tap MPR yang dijadikan sebagai dasar hukum. Padahal Tap MPRS itu sangat signifikan bagi bangsa Indonesia, sehingga menjadi sebuah kewajaran jika banyak kelompok masyarakat merasa curiga.
Demikian halnya phobia terhadap traumatik atas eksistensi Pancasila yang selalu dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menjustifikasi praktik-praktik bernegara di masa Orde Lama dan Orde Baru yang dirasa kurang tepat, dengan semangat konstitusionalisme.Karena, penafsiran/pandangan terhadap Pancasila bersifat monolitik yang hanya menjadi otoritas pemegang kekuasaan (Presiden), diatur pula dalam RUU HIP.
Langkah tepat
Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan, dan bukan bangsa yang dendam akan peristiwa memilukan. Hal ini bisa dibuktikan bagaimana rakyat Indonesia tidak pernah membangkitkan rasa kebencian terhadap penjajah. Atau bahkan rakyat sangat toleran ketika di masa Orde Baru, dihapus tanda di KTP terhadap warga yang terlibat langsung atau tidak langsung menganut ajaran komunis.
MK pun pada tahun 2014 telah memulihkan hak dipilih dalam pemilu kepada bekas tapol dari partai terlarang. Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya, dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Karena salah satu semangat kebangsaan dalam konstitusi kita adalah semangat kemanusiaan.
Sikap pemerintah merupakan langkah tepat untuk menunda Surat Presiden dan daftar isian masalah (DIM) terhadap RUU HIP. Karena Pancasila adalah produk dialog kebangsaan (konsensus nasional), maka membuka tafsir Pancasila harus diawali dengan membuka dialog dalam rangka kesepakatan nasional. Dengan demikian pemerintah memberikan kesempatan kepada perumus untuk membuka ruang dialog bagi seluruh elemen bangsa.
Apalagi, Baleg DPR RI saat ini sangat menekankan dialog untuk membangun pemahaman bersama sebagai konsensus nasional dalam merumuskan UU. Hal itu bisa dilihat dalam setiap pembahasan RUU di Baleg selalu terpublikasi di TV Parlemen dan Sosmed parlemen secara terbuka.
Tujuh fraksi telah menyatakan menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila masuk Prolegnas Prioritas 2021.
Perlu langkah preventif sejak pra dan proses perumusan dan perancangan yang juga merupakan tugas BPIP.
Seruan ANAK NKRI itu bertajuk aksi 1310 tentang menolak UU Ciptaker dan RUU Haluan Ideologi Pancasila atau HIP.
Sebagai perawatan atas dasar negara, sudah semestinya penguatan Pancasila menjadi keprihatinan bersama seluruh elemen bangsa.
Bila hanya mengubah judul tetapi tidak mengubah arah dan jangkauan pengaturan, RUU tidak perlu melalui kesepakatan Prolegnas kembali.
Pasalnya, hal itu keluar dari konteks aksi yang menuntut penghentuan pembahasan RUU HIP.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved