Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Perubahan Perilaku dan Pola Kerja tidak Terelakkan

Muhamad Ali Pemerhati Human Capital
09/6/2020 07:55
Perubahan Perilaku dan Pola Kerja tidak Terelakkan
(Dok. Pribadi)

PREDIKSI tentang per ubahan besar pada perilaku konsumen setelah pandemi covid-19 yang diriset dan dirilis oleh Inventure boleh jadi mengejutkan sebagian pihak.

Inventure mengelompokkannya dalam 30 perubahan besar yang disebut megashift. Jika ditilik satu per satu, perubahan perilaku konsumen
itu tidak hanya membentuk suatu jenis baru konsumen, tetapi juga model kewargaan (civic) yang baru.

Dari 30 perubahan besar tersebut, ada empat klaster besar yang mewarnai perubahan. Pertama, bagaimana konsumen dalam skala sempit dan warga atau masyarakat dalam skala besar menghidupi dan menikmati berbagai gaya hidup (life style) di dalam rumah. Kedua, kembalinya kebutuhankebutuhan dasar dalam piramida kebutuhan manusia. Adapun berikutnya ialah kehidupan yang makin virtual dan berkembangnya masyarakat yang kian empatik. Yang paling menarik dari 30 perubahan tersebut di mata saya, tentu tidak lepas dari pengalaman sejarah hidup dan be kerja selama puluhan tahun.

Saya mulai bekerja di dunia perbankan yang sangat kental dengan urusan nasabah atau konsumen. Kemudian saya berpindah ke perusahaan energi yang juga sangat intens berhubungan dengan pelanggan. Semua bidang tersebut memerlukan fokus pekerjaan yang membuat pola kerja terpola pada jam-jam yang sudah ditentukan secara ketat, 08.00 sampai dengan 16.00. Atau, 09.00 sampai dengan 17.00. Istilahnya ialah pekerja sembilan lima. Masuk pukul sembilan pagi, pulang pukul lima sore.

Beradaptasi secara cepat

Pandemi covid-19 yang telah diidentifi kasi virusnya sejak Februari dan diumumkan secara resmi pada Maret telah memaksa perubahan waktu dan cara bekerja.

Semua pekerja di sektor formal, yang tadinya bekerja dengan pola rutin dengan tempat yang spesifik di gedung-gedung perkantoran dan bisnis, dipaksa atau terpaksa bekerja dari rumah. Pola bekerja tersebut boleh jadi dijalani oleh setiap pekerja, terutama di sektor formal, sepanjang hidupnya sampai dengan ia pensiun. Rutin setiap hari.

Ketika orang-orang ini dipaksa/ terpaksa bekerja dari rumah, ia dipaksa oleh keadaan kedua untuk beradaptasi secara cepat, yakni bagaimana harus berkolaborasi, berkoordinasi, dan bekerja sama untuk tugas-tugas yang sifatnya kolektif dalam unit-unit di organisasi pemerintahan maupun bisnis.

Belum lagi bisa menyesuaikan dengan keterpaksaan-keterpaksaan tanpa pilihan, ia sudah dihadapkan pada keterpaksaan ketiga, yakni harus belajar cepat dan mengadopsi teknologi atau instrumen yang harus digunakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan tugas dari
kantornya.

Dalam hitungan bulan, ketika masih harus beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi, muncullah pola baru yang kemudian diyakini sebagai suatu ‘kebiasaan baru’, yakni bahwa ternyata banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Work from home.

Padahal, dalam kondisi normal ketika kehidupan kerja masih berlangsung secara normal, banyak organisasi dan korporasi berusaha mati-matian untuk mendorong pegawai atau karyawannya dapat bekerja dari rumah.

Namun, faktor pendorongnya bukan karena kebutuhan, melainkan karena situasi perjalanan dari rumah menuju kawasan-kawasan perkantoran makin tidak masuk akal. Baik karena faktor jam tempuh maupun efek polusi yang di timbulkan.

Dalam situasi normal, upaya itu relatif tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Orang masih merindukan untuk pergi ke kantor setiap hari dan libur dua hari pada akhir pekan. Orang masih dipaksa untuk datang dalam pertemuanpertemuan fisik yang memakan waktu, padahal kurang efisien atau kurang efektif.

Makin kuat terbentuk

Ketika pandemi covid-19 danrespons muncul sebagai jawaban mengatasi situasi keterbatasan, Inventure memprediksi bahwa pola kerja ‘9 ke 5’ akan berubah menjadi ‘3 dan 2’. Perubahan dari cara bekerja mulai sembilan pagi hingga lima sore menjadi pola kerja 3 hari di kantor 2 hari di rumah, atau sebaliknya 3 hari di rumah dan 2 hari saja di kantor.

Dalam amatan dan prediksi saya, pola tersebut akan makin kuat terbentuk karena didorong oleh dua sisi, dari pemberi kerja maupun pekerjanya.

Oleh karena itu, perubahan menjadi ‘3 dan 2’ itu akan diiringi dengan perubahan-perubahan regulasi di sisi mikro pada level organisasi maupun kebijakan dari sisi pengelolaan pemerintahan. Perubahan menjadi ‘3 dan 2’ itu pun akan membawa efek sekaligus perubahan budaya di tengah masyarakat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya