Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Membaca Halaman Terakhir Buku PPP

H Ali Pasha, Kader senior PPP, mantan Anggota MPR RI
19/5/2020 22:00
Membaca Halaman Terakhir Buku PPP
H Ali Pasha, Kader senior PPP(Dok.pribadi)

KETIKA muncul gagasan untuk menaikkan ambang batas perolehan kursi parlemen menjadi 7%, yang paling gelisah tentu saja partai-partai papan bawah. 

Tidak terkecuali Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, berada di nomor sembilan (meraih 4,52%).

Sebagai partai senior di Indonesia (lahir pada 5 Januari 1973), nasib PPP sejak pemilihan umum (Pemilu) 2009 memang terus menurun. Puncaknya pada Pemilu 2019, cuma mendapat 19 kursi.

Rekayasa politik 
PPP, sebagaimana Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI),  adalah produk rekayasa politik rezim Orde Baru. Sejak tampil di pentas politik nasional menggantikan rezim Orde Lama Soekarno, Orde Baru telah mencanangkan penyederhanaan partai politik. Dalam rangka ini Orde Baru bahkan sampai 'berani melawan' MPR Sementara yang menetapkan pemilu pertama di masa Orde Baru akan dilaksanakan pada 1968. 

Dengan dalih infra dan suprastruktur politik belum siap, pemimpin Orde Baru Jenderal Soeharto menunda pemilu ke 1971. Pemilu 1971 diikuti sembilan parpol dan satu Sekber Golkar. Yang terakhir ini didukung penuh oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Meskipun hasil Pemilu 1971 menampilkan Sekber Golkar  sebagai pemenang dengan perolehan suara di atas 60%, Soeharto belum puas. Dia tetap mendesak segera dilakukan penyederhanaan parpol.

Mula-mula anggota DPR hasil Pemilu 1971 didorong untuk mengelompokkan diri berdasarkan gagasan Presiden Soeharto; parpol yang menitikberatkan programnya kepada soal-soal spiritual tanpa melupakan aspek material (spiritual-material), parpol yang menitikberatkan programnya kepada aspek material tanpa melupakan aspek spiritual (material-spiritual), dan Sekber Golkar yang sebagai penyeimbang aspek spiritual dan material.

Berdasarkan gagasan Soeharto itu, kaum spiritual-material dikelompokkan menjadi Kelompok Persatuan Pembangunan. Kelompok ini terdiri dari anggota DPR dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. Kelompok inilah yang pada 5 Januari 1973 bersepakat memfusikan seluruh kegiatan politiknya ke dalam Partai Persatuan PPP.

Kelompok material-spiritual yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Rakyat Bawah (Murba) bergabung menjadi Kelompok Demokrasi Indonesia, dan pada 10 Januari 1973 menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Berbenteng di hati umat
Penyederhanaan parpol yang dimaksudkan rezim Orde Baru untuk melumpuhkan kekuatan politik di luar Sekber Golkar, ternyata bergerak di luar skenario Orde Baru. Baru beberapa bulan terbentuk, PPP sudah menunjukkan jati dirinya sebagai parpol hasil fusi empat parpol Islam.

Pada 31 Juli 1973, pemerintah mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUU-P). RUU ini dimaksudkan bahwa pernikahan/perkawinan dapat terlaksana lebih teratur dan perceraian harus melalui prosedur yang jelas.

Ketika RUU-P diajukan, peta kekuatan di DPR yang anggotanya berjumlah 460 sebagai berikut; Sekber Golkar 226, ABRI 100, PPP 94, dan PDI 30.

Dalam RUU-P, prinsip dasar tentang sahnya perkawinan dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1): "Perkawinan hanya sah apabila dilakukan di depan pegawai pencatatan perkawinan dan dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut."

Selain Pasal 2 yang bertendensi menyingkirkan ajaran Islam dari lembaga perkawinan, terdapat juga Pasal 8 yang melarang orang tua angkat menikah dengan anak angkat, Pasal 11 ayat (2) yang membolehkan perkawinan berbeda agama, dan Pasal 13 yang mengatur bahwa perkawinan dapat didahului dengan pertunangan. 

RUU-P hendak mengklasifikasi pertunangan sebagai kejadian hukum yang memiliki konsekuensi yuridis sama dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut RUU-P, jika pertunangan menyebabkan kehamilan, pihak pria diwajibkan kawin dengan tunangan yang dihamilinya.

Menguasai 326 (ditambah kemungkinan dukungan 30 suara dari PDI) dari 460 anggota DPR, Pemerintah sangat percaya diri bakal mudah mengegolkan RUU-P menjadi undang-undang.

Di luar dugaan, segera sesudah RUU-P diajukan ke DPR, reaksi sangat keras muncul dari umat Islam, baik di dalam maupun di luar DPR. Demonstrasi para pelajar, mahasiswa, dan pemuda Islam, pecah di mana-mana.

Di dalam sejarah Orde Baru, inilah pertama kalinya ruang sidang DPR diduduki oleh massa demonstran menolak RUU-P.
Fraksi PPP di parlemen di bawah komando Rais 'Aam Majelis Syuro yang juga Rais 'Aam Syuriah PBNU, KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri) lantang menyuarakan penolakan terhadap RUU-P yang sekularistik. 

Melihat besarnya penolakan terhadap RUU-P, Panglima Kopkamtib Jenderal TNI Soemitro, menarik RUU-P dan menyerahkan kepada Mbah Bisri untuk ditinjau dan dikoreksi secara menyeluruh.

Pada awal Desember 1973, tercapai konsensus antara Fraksi PPP dengan Fraksi ABRI tentang RUU-P. Konsensus itu mencakup dua hal utama; (1) Hukum agama Islam dalam perkawinan, tidak dikurangi atau diubah, dan (2) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam, dan tidak mungkin disesuaikan dengan RUU-P, didrop (dihapus).

Tanpa muatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, pada 22 Desember 1973, RUU Perkawinan disahkan dan diundangkan menjadi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Riwayat awal PPP ini membuktikan, bahwa meskipun hanya punya 94 dari 460 kursi DPR, didorong oleh keyakinan kepada kebenaran ajaran Islam, dan dengan berbenteng di hati umat, PPP secara bermartabat berhasil menggagalkan RUU Perkawinan yang sekularistik dan anti-Islam.

Berbenteng di hati umat mulai terlihat hasilnya pada Pemilu 1977. Hampir semua komponen umat secara terbuka menyatakan dukungan kepada PPP. Para kiai di seluruh penjuru Tanah Air mengeluarkan fatwa wajib mencoblos PPP yang bertanda gambar Ka'bah.

Tokoh utama Partai Masyumi, Mohammad Natsir, dalam wawancara yang dikutip luas oleh media massa, menegaskan sikapnya akan menggunakan hak pilihnya dengan memilih tanda gambar Ka'bah.

Tokoh Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo, malah bergerak lebih jauh. Tokoh yang bukan pengurus dan bukan calon anggota legislatif (caleg) ini  aktif menjadi juru kampanye PPP. Kasman berkampanye sampai wilayah yang jauh dari ibukota Jakarta, di sebuah pulau di Maluku.

Nurcholish Madjid yang dikenal sebagai tokoh pembaruan pemikiran Islam, dengan dalih memompa ban kempes, menyerukan seluruh warga bangsa untuk memilih PPP dan mencoblos tanda gambar Ka'bah.

Aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, Dipo Alam, juga mengajak para mahasiswa untuk memilih PPP. Di tengah arus pragmatisme para artis, raja dangdut Rhoma Irama,  tanpa canggung berkampanye untuk PPP. Rhoma tidak hanya menjadi jurkam di lapangan, juga menjadi jurkan di RRI dan TVRI. 

Dengan dukungan luas itu, pada Pemilu 1977 PPP meraih 99 kursi. Beberapa pengamat mengatakan, jika pemilu dilakukan dengan jujur dan tanpa intimidasi, perolehan PPP jauh melampaui 100 kursi.

Dalam sejarah PPP, perolehan kursi pada pemilu 1977 adalah puncak prestasi PPP. Di Provinsi Aceh, DKI Jakarta, dan beberapa kabupaten/kota, PPP memenangkan pemilu. Bagai hendak menyatakan rasa terima kasihnya kepada rakyat yang telah memilih PPP, pasca pemilu 1977, PPP makin vokal. 

Pada Sidang Umum MPR 1978, PPP antara lain datang dengan usul pembatasan masa jabatan yang- tentu saja-dikandaskan kekuatan pro-Soeharto.

Di parlemen, PPP mendukung perjuangan mahasiswa menolak normalisasi kehidupan kampus (NKK) dan badan koordinasi kemahasiswaan (BKK) ala Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, dengan mengajukan usul interpelasi NKK dan BKK. Lagi-lagi ikhtiar PPP dikandaskan oleh fraksi mayoritas.

Ketika 50 warga negara Indonesia menyampaikan pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto yang menuduh ada parpolk di Indonesia yang anti-Pancasila; dan menganggap dirinya sebagai personifikasi dari Pancasila, 17 anggota Fraksi PPP dan 2 anggota Fraksi PDI menyurati Presiden Soeharto meminta penjelasan atas pidato yang dikritik itu.

Suara nyaring PPP di MPR dan DPR, membuahkan hasil: semua vokalis PPP dilarang dimajukan lagi sebagai caleg.
Ketika pada Pemilu 1982 di Jakarta para pendukung PPP tetap menunjukkan militansinya, direkayasalah kerusuhan di Lapangan Banteng. 

Alhasil tanpa para vokalis seperti Mbah Bisri, KH M Jusuf Hasjim, dan Hamzah Wirjosukarto, pada Pemilu 1982 PPP hanya meraih 94 kursi. PPP pun terus diganjal seperti harus menanggalkan asas Islam, dan mengganti lambangnya dari Ka'bah menjadi Bintang.

Pada Pemilu 1987, kursi PPP di DPR tersisa 61. Perubahan kepemimpinan PPP dari Dr HJ Naro yang flamboyan kepada H Ismail Hasan Metareum, SH yang sejuk dan akomodatif, mampu menahan laju penurunan perolehan kursi PPP di DPR.

Pada Pemilu 1992, PPP mendapat 62 kursi. Memang hanya bertambah 1 kursi, tetapi pengaruhnya terhadap raihan kursi PPP di daerah-daerah, cukup signifikan. Puncak prestasi PPP di bawah Buya Ismail Metareum terjadi pada Pemilu 1997. Didukung oleh koalisi massa Mega-Bintang, PPP meraih 89 kursi di DPR.

Bakal ambyar
Memasuki era Reformasi para tokoh umat Islam larut dalam eforia dengan membuat parpol. Eksponen Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Eksponen NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Eksponen Syarikat Islam mendirikan dua partai sekaligus; PSII dan PSII 1905. 

Anak-anak muda eksponen pengajian kampus mendirikan Partai Keadilan. Para veteran dan anak-anak Partai Masyumi membentuk Partai Bulan Bintang (PBB), PPII Masyumi, dan Partai Masyumi Baru.

Dengan situasi seperti itu, wajar belaka jika banyak pengamat meramalkan PPP bakal ambyar, karena semua partai dan organisasi yang dulu mendirikan PPP- kecuali Perti- telah mendirikan partai. PPP telah ditinggalkan oleh unsur-unsur pendirinya.

Akan tetapi Allah berkehendak lain. Di bawah duet kepemimpinan Hamzah Haz-Ali Marwan, pada pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, PPP yang diramalkan bakal habis, ternyata masih bertahan sebagai parpol Islam terbesar. Bahkan menjadi peringkat tiga dalam pemilu.

Pada periode inilah PPP menorehkan prestasi gemilang: menempatkan Ketua Umum Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden, dua kadernya menjadi menteri, dan banyak kader menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Pada Pemilu 2094, PPP tetap bertahan sebagai partai politik Islam terbesar, dan tetap menjadi juara ketiga.
Sayang, prestasi ini tidak bisa dipertahankan oleh generasi penerus. Sejak Pemilu 2009, perolehan PPP terus melorot. Ujung tragis kemelorotan itu terjadi pada Pemilu 2019, cuma meraup 19 kursi DPR.

Salah siapa?
Karena merupakan hasil fusi partai Islam, maka tradisi PPP adalah tradisi kebersamaan, kolektif-kolegial. Kepemimpinan PPP di seluruh tingkatan senantiasa mencerminkan semangat fusi. Begitulah riwayat PPP pada mulanya.

Betapapun dikenal 'keras', sang flamboyan J Naro tetap mempertimbangkan faktor fusi. Hanyalah karena tekanan kekuasaan, dia menggusur para vokalis PPP. Karakter kebersamaan PPP memantangkan prinsip 'pemenang mengambil semuanya'. Yang berlaku di PPP 'semua menang, semua dapat'.

Tradisi kebersamaan mulai meredup sejak Muktamar Ancol 2007. Untuk mengakomodir semua unsur fusi dalam semangat kebersamaan, PPP yang dari muktamar ke muktamar selalu memilih pemimpinnya dengan sistem formatur. 

Mulai Muktamar 2007, sistem formatur diganti dengan sistem pemilihan langsung. Dan karena pemenang mengambil dan menentukan semuanya, Hamzah Haz yang mantan Wakil Presiden RI dan mantan Ketua Umum PPP, tidak diakomodir dalam kepengurusan. Konon, ada pendukung ketua umum terpilih yang mengancam akan mundur jika Hamzah Haz dimasukkan.

Kepengurusan hasil muktamar berikutnya di Bandung, lebih mengerikan lagi. Ketua umum dipilih secara aklamasi, dan enam dari tujuh posisi kepemimpinan dipegang hanya oleh orang-orang yang berasal dari satu unsur.

Ketika PPP dipimpin hanya oleh satu unsur inilah, PPP terpecah menjadi dua. Perpecahan akut yang sampai sekarang- walau tidak diakui- masih belum terselesaikan.

Model aklamasi, dilanjutkan baik oleh muktamar Surabaya- yang dilaksanakan sebelum waktu yang ditetapkan oleh anggaran rumah tangga, maupun oleh Muktamar Jakarta- yang direkomendasikan oleh Mahkamah Partai.

Akibat pemenang menguasai semua, muncul egoisme, muncul keengganan untuk menjalin silaturahmi dengan para pemimpin informal pendukung PPP. Pernah terjadi, ketua umum yang juga menteri berkegiatan di suatu kabupaten. 
Mendengar ada ketua umum, pimpinan PPP setempat menggagas acara makan siang bersama pimpinan PPP tingkat kecamatan. Ketua umum sudah setuju. Tetapi pada waktunya, dia malah makan siang bersama jajaran kementerian yang dia pimpin di tempat lain.

Mengapa pada Pemilu 1999 dan 2004, PPP yang diramal ambyar malah bertahan sebagai partai Islam terbesar dan peringkat ketiga, meskipun pada saat itu ancaman perpecahan juga membayangi PPP? Jawabnya satu, silaturrahim.

Buya Ismail Metareum rajin bersilaturrahim. Dia tidak segan berkunjung ke rumah pemimpin umat di pelosok. Hamzah Haz, juga tokoh yang dikenal rajin bersitalurrahim. Dia mundur dari jabatan menteri 'hanya' karena ingin menunaikan tugasnya sebagai Ketum PPP.

Di tengah kesibukannya sebagai Wapres, Hamzah selalu menyediakan waktu untuk menerima dan mengunjungi umat. Di masa jabatannya sebagai Wapres, ia dikenal dengan program salat Jum'at keliling.

Karakter kebersamaan dan giat bersilaturrahim itulah kunci kemenangan PPP di masa lalu. Meninggalkan dua hal itu, apalagi bisu dan tuli terhadap aspirasi rakyat, terbukti telah menyebabkan PPP ditinggalkan pendukungnya.

Jika keadaan ini dibiarkan, para 'pemimpin' PPP tetap dengan sikapnya yang antikebersamaan dan antisilaturrahim, dapat dipastikan Pemilu 2024 adalah halaman terakhir PPP.  Dan, karena  terjadi di masa kepresidenan Joko Widodo, bukan mustahil nanti para 'pemimpin' PPP akan dengan enteng mengatakan, "Ini semua gara-gara Jokowi". Yang benar saja Bung.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya