Riset Kebencanaan Untuk Masyarakat Tangguh Bencana

Kurnia Wiji Prasetiyo Peneliti di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI
18/2/2020 07:00
Riset Kebencanaan Untuk Masyarakat Tangguh Bencana
Kurnia Wiji Prasetyo(Dok.pri)

BANJIR yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi (Jabodetabek), Lebak Banten serta beberapa wilayah di Indonesia pada awal tahun 2020 di musim hujan ini memaksa penduduknya hidup dalam ketidaknyamanan. 

Bahkan hingga pekan ini pun banjir kembali mewarnai sejumlah wilayah, akibat tingginya curah hujan. Hancurnya rumah, infrastruktur, korban jiwa meninggal maupun yang mengungsi menjadi tak terhindarkan dari bencana banjir yang disertai tanah longsor. 

Pusat Krisis Kesehatan mengeluarkan data terkait jumlah korban yang ditimbulkan dari bencana alam di awal 2020 mencapai 60 orang meninggal dunia, 86 luka berat, 12.144 luka ringan, 92.261 mengungsi dan 429.945 orang yang terdampak. Pasca banjir dan longsor pada awal 2020 yang menerjang beberapa wilayah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor mencatat ada 19.246 jiwa yang masih mengungsi. 

Rusaknya lingkungan biasanya dijadikan alasan terjadinya bencana alam selama ini. Okupasi hutan, lahan hijau dan wilayah sekitar sungai di Indonesia yang tak terkendali menyisakan sedikit lahan hijau dengan tutupan vegetasi pohon sebagai pengendali air dan tanah saat musim hujan. Padahal areal tersebut di atas terbukti mampu memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan estetika yang menjadikan Indonesia lebih beradab terhadap lingkungan.

Wilayah Indonesia dilihat dari kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis termasuk daerah rentan bencana. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi masih akan terjadi cuaca ekstrem di Jabodetabek pada akhir Januari sampai awal dan Februari 2020. Kondisi seperti inilah yang harusnya menjadi kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa akan pentingnya kesiapsiagaan bencana menuju masyarakat tangguh bencana. 

Masyarakat harus sadar bahwa kerusakan lingkungan akibat penyusutan luasan hutan, lahan hijau dan wilayah sekitar sungai di Indonesia menimbulkan ketidakseimbangan ekologi dan mempercepat proses pemanasan global. Imbasnya ialah hilangnya kemampuan tanah mengikat sekaligus menahan air pada saat musim hujan, krisis sumber air tanah layak konsumsi, tanah longsor, banjir bandang, terbatasnya persediaan udara bersih, lingkungan semakin panas, hingga percepatan tingkat stres masyarakat. 

UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pasal 1 ayat (2) menegaskan tentang upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 

Adapun menurut UU No 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Memang tak mudah mewujudkannya, tapi harus dilakukan kalau ingin mewujudkan masyarakat tangguh bencana.

Perubahan paradigma
Bencana menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Masalah kebencanaan erat kaitannya dengan lingkungan seperti penyusutan luasan hutan, lahan hijau dan okupasi wilayah sekitar sungai yang sering terlupakan oleh masyarakat dan para pemegang kebijakan. 

Meskipun begitu, hal terkait kebencanaan harus bisa dikemas baik sehingga bisa menjadi sarana edukasi ke masyarakat untuk lebih paham akan pentingnya tanggap bencana, siaga bencana maupun mitigasi bencana menuju masyarakat tangguh bencana.

Menurut UU No.24 Tahun 2007, mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. 

Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Untuk itu, perlu langkah baru yang bisa dilakukan untuk penataan dan penguatan kembali format mewujudkan masyarakat tangguh bencana di Indonesia. 

Pemerintah memasukkan riset kebencanaan menjadi salah satu fokus yang tertuang dalam Prioritas Riset Nasional Tahun 2020-2024. Di sinilah peran inovasi dan teknologi dibutuhkan untuk mewujudkannya. Konsep yang bisa diadopsi terkait dengan isu lingkungan kaitannya dalam hal tangguh bencana ialah kombinasi antara teknologi geotekstil dan beton berpori. 

Konsep hasil riset peneliti ini diterapkan dengan membuat sebuah jalinan lembaran sintetis yang tipis, fleksibel, permeabel yang digunakan untuk stabilisasi dan perbaikan tanah yang disebut geotekstil dikombinasikan dengan beton berpori sebagai penutupnya. Pemanfaatan geotekstil merupakan cara modern dalam usaha untuk perkuatan tanah lunak yang memanfaatkan lahan kritis maupun lahan yang kurang tutupan vegetasi pohonnya untuk menahan dari terjadinya tanah longsor. 

Konsep geotekstil digunakan pertama kali pada 1950 berupa woven. Salah satu peristiwa yang tercatat sejarah yaitu penggunaannnya dalam struktur pengairan di Florida Amerika Serikat 1958. Adapun beton berpori adalah material beton spesial dengan porositas tinggi yaitu antara 15%–30% rongga udara sehingga mudah untuk dilalui air. Beton berpori dibuat dari campuran air, semen, agregat kasar dengan sedikit atau tanpa agregat halus agar didapatkan pori-pori yang cukup banyak dan berhubungan.

Ini menjadi hal penting bahwa geotekstil yang banyak digunakan masih dominan dengan bahan tidak ramah lingkungan seperti serat gelas, polimer plastik dan bahan sintetis lainnya. Penggunaan bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan dan cukup mahal harganya. Demikian juga dengan beberapa material beton berpori. 

Hal ini memacu berkembangnya inovasi teknologi dalam konsep geotekstil dan beton berpori, baik untuk menekan biaya produksi, investasi, maupun menjadikan geotekstil dan beton berpori lebih bersahabat terhadap lingkungan. Inovasi dilakukan dengan penggantian material untuk geotekstil yang umumnya berbahan sintetis menjadi berbahan dasar alam dan ramah lingkungan. Adapun untuk agregat beton berpori bisa dikombinasikan dengan serat alam.

Inovasi dan integritas
Inovasi penggantian material geotekstil dan beton berpori bisa dari serat alam non kayu dan hasil ikutan pertanian maupun perkebunan seperti batang kelapa sawit, tandan kosong kelapa sawit, rami, batang jagung dan sabut kelapa. Batang kelapa sawit dan serat tandan kosong kelapa sawit merupakan produk samping dari perkebunan kelapa sawit dan industri crude palm oil (CPO). 

Luas lahan kelapa sawit di Indonesia 2018 tercatat 12,76 juta ha dengan produksi CPO sebanyak 36,59 juta ton (Statistik Kelapa Sawit Indonesia/BPS2019). Sampai saat ini pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit dan sabut kelapa masih belum menghasilkan produk dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Padahal tandan kosong kelapa sawit di Indonesia memiliki potensi sebesar 13,6 juta ton (asumsi 17% dari 80 juta ton tandan buah segar) yang bisa diproses menghasilkan serat.

Adapun sabut kelapa merupakan hasil samping dari perkebunan kelapa dan industri kopra. Data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas areal tanaman kelapa di Indonesia 2016 tercatat 3,6 juta ha. Produksi kelapa secara nasional pada 2017 sebesar 2,87 juta ton yang setara kopra atau 15,4 miliar butir/tahun yang mampu menghasilkan 1,8 juta serat sabut dan 3,3 juta ton debu serat. 

Ini adalah peluang besar dalam inovasi pemanfaatan serat alam yang berbasis industri sebagai material geotekstil dan beton berpori yang ramah lingkungan dan murah. Proses teknologi pembuatan geotekstil dan beton berpori berbasis serat alam ini cukup sederhana dan mudah dilakukan.

Sisi-sisi tebing yang rawan longsor, sempadan sungai, bendungan, lahan kritis, lahan bekas penebangan dan daerah aliran sungai di beberapa wilayah Indonesia dapat diisi dengan geotekstil yang dikombinasikan dengan beton berpori berbasis material serat alam. Program normalisasi sungai yang erat kaitannya dengan betonisasi bisa memakai beton berpori sehingga masih ada air yang meresap ke dalam tanah yang dipadukan dengan naturalisasi sungai dengan geotekstil sehingga mampu menahan erosi tanah. 

Nilai lain yang didapat ialah harga jual dari geotekstil dan beton berpori tersebut relatif lebih murah ketimbang produk geotekstil dari bahan sintetis dan beton berpori lainnya. Kelestarian lingkungan juga bisa diwujudkan karena bahan itu dengan mudah didaur ulang oleh alam. Kerugian, kerusakan dan korban akibat bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang dan hilangnya kesuburan tanah bisa diminimalisir dengan aplikasi kombinasi teknologi geotekstil dan beton berpori tersebut. 

Riset Kebencanaan yang diwujudkan dalam penguatan teknologi kebencanaan yang tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional Tahun 2020-2024 bisa menjadi sarana edukasi kepada masyarakat untuk paham akan siaga bencana dan peduli lingkungan. Sinergi antara inovasi teknologi dalam riset kebencanaan dan lingkungan untuk membangun dan mewujudkan masyarakat tangguh bencana yang berkelanjutan dengan prinsip memenuhi kebutuhan sekarang melalui pembangunan tanpa mengorbankan pemenuhan kebetuhan generasi masa depan. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya