Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Manisnya Bisnis Lobster

Yonvitner Kepala Pusat Studi Bencana-MSP FPIK IPB
17/12/2019 06:50
Manisnya Bisnis Lobster
Ilustrasi Lobster(MI/TIYOK)

AKHIR-AKHIR ini berbagai media dihiasi dengan berita sengkarut bisnis lobster. Masifnya pemberitaan ini menyiratkan pesan bahwa lobster adalah bisnis menarik dan berdampak luas. Saking luasnya kemudian ketika terjadi pelarangan, disinyalir kemudian munculnya efek perdagangan ilegal. 

Berdasarkan catatan BKIPM KKP (2018) bisnis ilegal lobster mencapai 2,269 juta lebih dengan nilai Rp375,8 miliar yang terdiri dari 2,262 juta benih dan 443 ekor bertelur dan lobster under size 6.004 ekor. Catatan terbesar dari pelanggaran perdagangan jenis lainnya menunjukkan bahwa upaya penyeludupan dalam bisnis lobster begitu sangat serius, terstruktur, sistematik, dan masif. Bahkan, penulis memandang apa yang tengah terjadi hampir seserius penyelundupan narkoba. 

Dengan perspektif sederhana kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa ini kaya potensi dengan lobster, yang harus dimanfaatkan nelayan dan pembudi daya. Untuk itu, perlu dipersiapkan kebijakan budi daya lobster menjadi sebuah kebijakan yang mampu meminimalkan perdagangan ilegal, mengedepan sistem usaha terintegrasi (dari benih sampai besar) di dalam negeri sampai pada perdagangannya. 

 

Kebijakan komprehensif

Pemberlakuan Permen No 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan atau Pengeluaran Benih Lobster Kepiting dan Rajungan dari NKRI selain diasumsikan meningkatkan stok, di pihak lain juga diasumsikan menyebabkan distorsi ekonomi masyarakat nelayan. Ujung semua itu adalah kesejahteraan nelayan penangkap, pembesaran, rantai perdagangan terbengkalai, bahkan banyak usaha yang kemudian berhenti dan nelayan tidak bisa bekerja. 

Sungguh tidak tepat jika kemudian sebuah kebijakan menimbulkan kesulitan hidup banyak nelayan dan pelaku usaha, apalagi kemudian dikonotasikan sebagai agen yang merugikan negara. Perlu kemampuan komprehensif melihat kebutuhan kebijakan sebagai bagian dari upaya mendukung berjalanya ekonomi masyarakat.

Sering kali kebijakan dibuat tidak melihat masyarakat secara utuh, sehingga kemudian muncul kesan nelayan yang berusaha di bidangnya sebelum ada kebijakan kemudian menjadi bagian dari penyelundup atau mafia perdagangan yang bermain dengan jaringan internasionalnya. Kalau memang nelayan yang menjadi pekerja penyeludupan lobster, pantas kita telaah lebih dalam kenapa itu terjadi. Apakah karena sebagai upaya untuk bertahan hidup karena sebelumnya sudah bekerja sebagai nelayan lobster, atau memang bagian dari jaringan perdagangan seperti yang banyak diberitakan.

Perlu kedalaman berpikir dan bertindak dalam menyelesaikan persoalan lobster karena menyangkut kehidupan banyak nelayan. Jika memang ada mafia yang harus diberantas tidak perlu membakar lumbung padi jika hanya untuk membunuh seekor tikus. Kementerian Kelautan tidak perlu berlama-lama mencari mafia tersebut karena banyak nelayan penangkap, pembesar lobster, dan keluarganya yang hidup dan tergantung dari komoditas ini. Pengalaman penulis di Teluk Bumbang Lombok, banyak penangkap benih berhenti menangkap benih dan kehilangan pekerjaan. Begitu juga nelayan perbesaran di Teluk Ekas.

Ketika ada hipotesis bahwa peningkatan devisa negara asing karena benih lobster dari Indonesia, yang harus dihentikan adalah penjualan benih dan bukan memghentikan industri budi daya lobster dalam negeri. Faktanya yang terjadi dengan adanya Permen No 56 sehingga industri budi daya dan perbesaran juga ikut berhenti. Tentu bukan kondisi seperti ini yang kita maksud sebagai reformasi tata kelola yang berkeadilan dan menyejahterakan nelayan.

Harus kembali diingat bahwa tujuan pembangunan perikanan sejak dari awal berdirinya adalah menjadikan sektor ini sebagai sektor andalan yang mampu menyerap tenaga kerja, menumbuhkan ekonomi, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai penghasil ikan dunia. Jadi kebijakan perikanan lobster ke depan adalah kebijakan yang memperhatikan rantai usaha nelayan, ramah lingkungan, serta berbasis data yang valid dan terukur serta berkelanjutan.

 

Desain bisnis berkelanjutan

Untuk memastikan semua hipotesis tersebut, langkah penting adalah pertama, melakukan stock assessment dewasa dan indukan serta potensi tangkap di laut. Kedua, memperkuat usaha budi daya dan perbesaran lobster. Ketiga, memperkuat pasar lobster, karena bisa jadi pasar lobster bukan sepenuhnya milik Indonesia. Dan keempat, memperkuat hatchery lobster karena secara ekonomi potensial memperkuat ekonomi dan kontribusi perikanan. Kelima, mengevaluasi kembali kebijakan tata kelola lobster saat ini.

Mulai sekarang kita harus bekerja dalam ruang real time data, tidak lagi dalam asumsi. Pendugaan stok lobster baik larva, pradewasa, dan dewasa harus dilakukan. Karena dengan begitu, kita, masyarakat perikanan, akan dapat data dan informasi yang benar mengenai keberadaan populasi lobster. Hasil tangkapan yang partially berjumlah besar belum bisa disimpulkan terjadi peningkatan stok lobster karena kompetisi dan predasi selama proses pertumbuhan terjadi sesama populasi ikan diperairan dan kemampuan survival rate yang rendah.

Setelah menilai stok (stock assessment), tahap kedua ialah menyiapkan sistem budi daya. Dalam setiap fase hidup lobster terdapat peluang kerja bagi nelayan. Kita perlu menyiapan nelayan penangkap benih, nelayan pembesaran, nelayan pemasaran, dan gerai pasar. Dengan mengetahui jumlah benih, populasi yang tumbuh menjadi dewasa akan menentukan nilai dari ekonomi budi daya lobster sehingga komoditas ini juga kemudian mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi bangsa kita.

Untuk itu, perlunya terbangun sistem ekonomi perikanan rakyat. Dengan adanya sistem usaha perbesaran berjenjang, usaha dan bisnis lobster tidak akan terpusat pada satu atau dua pebisnis dan pasar. Pasar lobster akan terbuka baik lokal maupun internasional. Rumah makan dan restoran adalah pasar dari nelayan pembesaran, dan nelayan pembesaran adalah pasar dari nelayan pengusahaan dan penangkap benih.

Ketika saat ini penyelundupan benih marak, artinya kita menghadapi ganjalan dalam urusan benih. Selain itu juga mengisyaratkan bahwa bisnis benih akan sangat menguntung. Akan sangat cerdas kalau keuntungan bisnis benih ini diserahkan kepada nelayan. Jadi, penjualan benih dalam negeri diizinkan dan penjualan keluar negeri dihentikan sehingga industri benih (hatchery) kemudian berkembang yang akan mampu menyerap lapangan pekerjaan baru. Langkah ini akan lebih atraktif dilakukan ketika saat ini kita menghadapi kolapsnya hatchery udang dan meningkatnya pengangguran.

Bagian yang menurut penulis penting adalah melakukan evaluasi menyeluruh dari kebijakan tentang lobster saat ini. Kebijakan dibuat bukan untuk merugikan nelayan apalagi kemudian menyebabkan mereka menjadi tersangka karena berusaha di bidang yang sudah lama digeluti.

Agar bisnis lobster memberikan manfaat lebih banyak, yang transaksi berbagai ukuran di dalam negeri diizinkan dan di luar negeri sebatas ekspor dewasa.

Dengan demikian, semua pihak mulai nelayan penangkap, pedagang benih dalam negeri, pembudi daya perbesaran, pelaku ekspor, pedagang market komersial dapat merasakan manisnya bisnis lobster dan tidak didominasi satu pihak. Inilah pokok dari pembangunan ekonomi kerakyatan yang diharapkan di sektor perikanan sesungguhnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik