GUBERNUR Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyerukan penghentian praktik pekerja anak di wilayahnya dalam rangka peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak. Ia menilai bahwa anak-anak di bawah usia 17 tahun memiliki hak penuh atas pendidikan dan perlindungan, bukan dipaksa bekerja dalam situasi yang rentan.
“Hak dari seorang anak sampai usianya secara hukum 17 tahun adalah mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dan fitrah mereka adalah mendapat perlindungan dan kasih sayang dari kita semua sebagai orang dewasa,” ujarnya, Kamis (12/6).
Khofifah menyoroti bahwa Indonesia dan Jawa Timur masih menghadapi situasi darurat terkait pekerja anak. “Berdasarkan data BPS, saat ini jumlah pekerja anak dalam rentang usia 10–17 tahun pada tahun 2023 secara nasional sebesar 2,39 persen, sedangkan di Jawa Timur jumlah pekerja anak usia 10–17 tahun tercatat sebesar 1,56 persen,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pada sektor formal, pekerja anak relatif tidak ditemukan berkat komitmen pemerintah dan pelaku usaha yang mengikuti aturan rekrutmen ketat. Namun, sektor usaha kecil dan menengah menjadi tantangan tersendiri karena skala yang besar dan banyak tidak tercatat. “Untuk pekerja di sektor formal, bisa kita pastikan tidak ada anak yang bekerja karena sistem yang sudah diatur dan diawasi secara berkala. Namun di sektor usaha skala menengah ke bawah, ini menjadi tantangan,” jelasnya.
Menurutnya, anak-anak terutama yang masih duduk di bangku SD dan SMP seharusnya berada dalam fase bermain, belajar, dan berkembang, bukan bekerja. Ia mengingatkan bahwa tanggung jawab melindungi anak tidak hanya ada pada pemerintah, tetapi juga masyarakat luas.
“Anak-anak apalagi yang masih di usia SD dan SMP, mereka masih waktunya bermain, belajar dan berkembang. Tentu situasi ini harus jadi atensi bukan hanya pemerintah, tapi seluruh pihak dan utamanya masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah terus bekerja keras melakukan upaya penghapusan pekerja anak melalui langkah pencegahan, penarikan dari tempat kerja, pengembalian ke sekolah atau pemberian afirmasi pendidikan jika anak tersebut putus sekolah, serta penguatan ekonomi keluarga melalui pemberdayaan perempuan.
Khofifah juga mengungkapkan bahwa ia masih sering menemukan berbagai bentuk eksploitasi anak di lapangan. “Di antaranya menjadi tenaga kasar di sektor perikanan, industri rumah tangga, PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak), anak jalanan, hingga ESKA (Eksploitasi Seks Komersial Anak) dan konstruksi bangunan,” katanya.
Ia mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut. “Hati siapa yang tidak miris, ketika anak-anak kita yang harusnya masih bersekolah tetapi sudah dipaksa untuk bekerja kasar,” ujarnya.
Khofifah menutup seruannya dengan ajakan kepada seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat untuk aktif melaporkan eksploitasi anak. “Kami tidak bisa sendiri. Masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan harus bergerak. Segera laporkan segala bentuk eksploitasi kepada anak, demi masa depan Indonesia Emas di tahun 2045,” pungkasnya. (RO/Z-10)