Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Batik Batang di Simpang Jalan

Mirza Andreas
16/12/2024 15:25
Batik Batang di Simpang Jalan
Pembatik khas Batik Batang Rifaiyah melantunkan Sholawat manakala cucuk, bagian yang berfungsi sebagai mata pena tempat keluarnya malam atau lilin, menggores permukaan kain.(Dok. Tefa)

MIFTAKHUTIN, 47, dan empat rekannya sesama pembatik khas Batik Batang Rifaiyah melantunkan Sholawat manakala cucuk, bagian yang berfungsi sebagai mata pena tempat keluarnya malam atau lilin, menggores permukaan kain. Mereka sedang mencanting, proses membuat batik tulis khas Batang, Jawa Tengah, yang semakin hari semakin sulit ditemui di pasaran.

Sholawatan, merupakan salah satu ciri khas dalam proses pembuatan Batik Tulis Batang yang sudah ada sejak tahun 1600-an. Kala itu, kebanyakan pembatik adalah santriwati dari Kyai Haji Ahmad Rifai. Tradisi itu terus berlanjut secara turun-temurun hingga saat ini.

"Sedih. Sepuluh tahun ke depan, mungkin sudah tidak ada lagi pengrajin Batik Tulis Batang premium, karena saat ini hanya tersisa tiga pembatik tulis premium, dan hanya dua orang saja yang masih aktif karena usia mereka semakin sepuh," tutur Utin, sapaan akrabnya.

Ia pantas resah. Dulu, di tahun 2012, ia mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya. Ia mengumpulkan pengrajin Batik Tulis Batang yang terbiasa bekerja sendiri-sendiri di rumah dan hasil karyanya diwariskan hanya kepada anak-anaknya, atau jika dijual pun dihargai dengan sangat murah.

"Pola ini yang membuat minat anak muda untuk membatik semakin turun. Karena untuk menghasilkan sebuah batik tulis premium, dibutuhkan waktu hingga satu tahun bahkan lebih, untuk batik tulis halus dibutuhkan waktu setidaknya enam bulan, batik tulis sedang antara satu hingga tiga bulan, dan batik tulis biasa sekitar satu bulanan," kata Utin.

Dulu, untuk batik tulis biasa harganya sangat murah, di kisaran Rp750.000. Uang itu belum cukup untuk membeli bahan dan proses produksi.

Sebelum pandemi covid-19, KUB Tunas Cahaya sempat mempersatukan 20-an pembatik khas Batik Tulis Batang Rifaiyah. Namun setelah pandemi, hanya tersisa tujuh pembatik saja.

"Kebanyakan pembatik kini bekerja di sektor lain seiring semakin sulitnya ekonomi," kata Utin.

Karena itu, kini KUB Tunas Cahaya menetapkan harga Rp1,2 juta untuk batik tulis biasa, Rp2,5 juta untuk batik tulis sedang, Rp4 juta untuk batik tulis halusan, dan Rp5 jutaan lebih untuk batik tulis premium. Nilai itu dinilainya merupakan harga yang layak untuk karya seni adiluhung, mengingat kerumitan dan panjangnya proses produksi.

Tak jauh dari rumah Utin, Umriyah, 85, yang dikenal dengan panggilan Ma Si’um, tetap setia dengan cantingnya. Di usia sepuhnya, ia setiap bulan masih aktif menghasilkan setidaknya satu atau dua karya Batik Tulis Batang kualitas biasa.

Untuk motif Alas Roban, parade binatang yang digambar memiliki kekhasannya tersendiri. Yaitu, memiliki tubuh terpotong karena larangan menggambar makhluk hidup pada ajaran yang dianut jamaah Rifaiyah.

Selain motif Alas Roban yang khas, Batik Tulis Batang memiliki ciri khas lain yaitu teknik tiga pewarnaan atau dikenal dengan tiga negeri, teknik warna sogan ireng-irengan atau warna coklat kehitam-hitaman. Dan untuk proses menggambar, ada kebiasaan yang disebut remukan, yakni malam atau lilin batik akan diremukkan sehingga menciptakan motif garis yang tidak tegas alias seperti luber.  

"Membatik itu bagian hidup Ma’e," kata Muthola’ah, 37, anak bungsu Umriyah.

Dari hasil membatik, Umriyah setidaknya bisa menghidupi anak-anaknya selepas suaminya wafat di tahun 1998. Ia juga mampu menyekolahkan atau memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren.

Namun, konsistensi membatik Umriyah tidak menurun pada putri-putri mereka yang beristirahat membatik sejak bertahun-tahun lalu. Dan, salah satunya karena harga Batik Batang yang jauh dari nilai keekonomian.

"Susah memang mencari penerus Batik Tulis Batang," kata Utin.

Bertahan demi warisan budaya
Para pemerhati, pewaris, pecinta budaya dan Batik Tulis Batang tidak mau berdiam diri. Ragam upaya dilakukan, salah satu di antaranya dengan memasukkan batik sebagai bagian dalam pelajaran tata busana di SMKN 1 Warungasem.

Menurut Kepala Sekolah SMKN 1 Warungasem Suyanta, program tata busana atau kini dikenal dengan Program Desain dan Produksi Busana mendapatkan bantuan pemerintah sejak tahun 2021 berupa gedung peralatan, paket peralatan, dan soft program yaitu pelatihan, hadirnya guru tamu dan guru magang. Soft program ini berlanjut hingga tahun 2022 dan 2023.

"Sekarang, alur produksi batik dilakukan dengan pendekatan teknologi, misalnya didukung beberapa komputer khusus untuk membuat pola desain secara digital, mesin printing, dan adanya 90 mesin jahit modern," terangnya.

Perhatian pada Batik Tulis Batang makin kental manakala Konsorsium Pengusaha Peduli Sekolah Vokasi Indonesia memberikan bantuan dengan proyek Teaching Factory (Tefa). Di Gedung TEFA, karya-karya batik yang hadir dari tangan-tangan generasi muda Batang dapat dilihat saat membuka pintu showroom.

Di ruang sebelahnya, sebuah runaway (catwalk) yang dilengkapi delapan lampu par menjadi ajang penampilan siswi-siswi SMKN 1 Warungasem menunjukkan karya-karya batik terbaik mereka.

Memadukan bantuan pemerintah dan juga Konsorsium Pengusaha Peduli Sekolah Vokasi Indonesia ini, kini ada 20 pelajar se-Kabupaten Batang yang terpilih untuk mendalami Batik Tulis Batang pada proyek Tefa.

Seorang pemerhati dan pejuang Batik Tulis Batang, yang juga Direktur Institut Pluralisme Indonesia (IPI), William Kwan, hadir secara berkala untuk memberi pelatihan motif, pengenalan warna motif, pengenalan batik Bhinneka Tunggal Ika (memadukan Batik Tulis Batang dengan Batik Tulis Jambi), hingga model pembelajaran dalam industri pakaian.

"Intinya, di sekolah kami memperkenalkan batik secara umum, baik berupa batik print, cap, gabungan antara cap dan tulis, dan batik tulis," kata Erwan, Kepala Prorgam Desain Produksi Busana di SMKN 1 Warungasem.

"Anak-anak memang diarahkan menguasai kemampuan batik tulis karena semester depan, kami mengusulkan kurikulum baru, yakni para pelajar akan belajar langsung pada ibu asuh, yaitu pengrajin Batik Tulis Batang, agar warisan budaya ini tidak punah," imbuhnya.

Wakil Kepala Sekolah SMKN 1 Warungasem Bejo Sulasih mengatakan, "Jika di setiap angkatan ada 300-an anak didik yang belajar membatik, diharapkan ada beberapa di antara mereka yang tetap mempertahankan warisan ratusan tahun Batik Tulis Batang, termasuk Batik Rifaiyah yang unik. Semoga." (E-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya