Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

JPPI Sebut Sistem Perlindungan Hak Pendidikan bagi Anak Masih Lemah

Despian Nurhidayat
23/7/2024 14:32
JPPI Sebut Sistem Perlindungan Hak Pendidikan bagi Anak Masih Lemah
ejumlah siswa duduk di depan kelas mereka saat jam istirahat di SD Negeri 3 Panaragan, Desa Panaragan, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis,(ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

PERINGATAN Hari Anak Nasional tahun ini dimeriahkan dan disambut senyum anak-anak Indonesia yang berhasil lulus Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024, sembari mereka bergembira ria di hari pertama masuk sekolah.

Namun, di balik keceriaan mereka, pecah tangis juga dialami oleh teman-teman sebayanya. Nasib memilukan ini dialami oleh anak-anak korban PPDB dan mereka harus mengubur mimpi untuk bisa sekolah.

“Sistem PPDB yang belum berkeadilan bagi semua, dan juga proses yang diwarnai dengan banyak kecurangan, membuahkan kekecewaaan dan melukai hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan. Di negeri ini, sekolah saja masih menjadi barang mewah. Padahal, sekolah adalah barang publik yang mestinya bisa dinikmati oleh semua anak, tanpa terkecuali,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, Selasa (23/7).

Baca juga : Persoalan PPDB masih Terus Berulang

Akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan, terjadilah rebutan bangku sekolah yang tidak fair yang memicu kecurangan terjadi merata di semua daerah. Berdasarkan pemantauan JPPI, modus-modus kecurangan saat PPDB sangat banyak sekali ragamnya. Jika disederhanakan, ada 10 jenis kecurangan terbanyak yang terjadi di PPDB 2024.

Dari data JPPI, kecurangan terbesar yang terjadi di tahun ini adalah cuci rapor (19%), sertifikat palsu (16%), jual beli kursi (15%), permainan kuota bangku yang tersedia (11%), dan manipulasi KK (10%).

Cuci rapor dan pemalsusan sertifikat ini, modus lama yang tambah marak di tahun ini. Kasus ini khusus terjadi di jalur prestasi. Sedangkan Manipulasi KK, hanya terjadi di jalur zonasi.

Baca juga : Persoalan PPDB di Yogyakarta Terjadi di Berbagai Tingkatan Sekolah

Sementara kasus jual beli kursi yang diwarnai dengan suap dan juga permainan kuota bangku, ini bisa terjadi di semua jalur (prestasi, zonasi, dan afirmasi). Berbagai kecurangan ini melukai harapan anak-anak untuk bisa lanjut bersekolah.

“Memang, sebagian anak-anak yang tidak lulus PPDB ini, ada yang berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah swasta hingga lulus tuntas. Tapi, pada sisi lain, ternyata masih ada jutaan anak Indonesia yang harus gigit jari dan menelan pil pahit karena tidak bisa sekolah,” papar Ubaid.

Anak-anak yang tidak sekolah akibat gagal PPDB ini ada dua model. Pertama, anak yang tidak lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau diistilahkan lulus tidak melanjutkan. Misalnya mereka lulus SD, tapi kemudian tidak lanjut ke jenjang SMP. Data tahun ajaran 2023/2024 menunjukkan jumlahnya mencapai 1.267.630 anak.

Baca juga : Kemendikbud-Ristek Upayakan Pemerataan Akses Pendidikan melalui PPDB

Kedua, mereka lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, tapi kemudian putus sekolah tidak sampai lulus (drop out). Mereka ini jumlahnya mencapai 1.153.668 anak berdasarkan data Pusdatin Kemendikbud 2023/2024.

Berdasarkan data tersebut, Ubaid memperkirakan angka anak tidak sekolah (ATS) kian membengkak di tahun ajapran 2024/2025.

Hal ini terlihat dari tiga indikaktor utama yaitu jumlah kasus kecurangan PPDB yang meningkat secara jumlah dan juga sebaran lokasi pelanggaran. Ini jelas, semakin banyak korban, potensi putus sekolah kian terbuka lebar.

Baca juga : Gotong Royong Tingkatkan Pemerataan Akses dan Kualitas Pendidikan melalui PPDB

Kedua, banyaknya CPD (calon peserta didik) yang didiskualifikasi saat proses PPDB, tanpa ada pendampingan untuk mendapatkan sekolah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka ini dibiarkan dan tidak dicarikan sekolah oleh pemerintah. Jadi, nasibnya tidak jelas, mereka lanjut sekolah di swasta, atau mereka memutuskan untuk tidak sekolah.

Ketiga, tidak adanya jaminan sekolah dari pemerintah soal nasib anak-anak pemegang KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang gagal PPDB. Akibat kuota yang minim, tidak sebanding dengan jumlah penerima KIP, maka banyak penerima KIP hingga kini tidak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Jika mereka dipaksa masuk swasta, kemungkinan besar gagal bayar sejumlah tagihan, lalu putus sekolah.

“Banyaknya anak yang gagal PPDB karena kecurangan yang terjadi di berbagai daerah menunukkan kegagalan sistemik dalam perlindungan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Sampai kapan kecurangan dan pelanggaran hak anak ini akan terus berulang?” tandas Ubaid.

Ubaid berharap kepada pemerintah supaya lebih serius dalam memperhatikan dan menjamin pemenuhan hak pendidkan bagi semua anak Indonesia, tanpa terkecuali. Kecurangan PPDB, anak putus sekolah akibat gagal PPDB, ini adalah kesalahan yang terus diulang tiap tahun.

“Ke depan saya berharap, fakta-fakta ini dilihat sebagai evident based oleh pemerintah untuk membuat kebijakan dan juga sistem yang dapat melindungi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan,” pungkas Ubaid. (Des)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Reynaldi
Berita Lainnya