Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Tradisi masyarakat Lio dan inovasi Comestoarra dipertemukan dalam pembuatan tungku tanah liat berbahan bakar pelet TOSS (Teknologi Olah Sampah Setempat) yang dimeriahkan upacara adat. Tungku-tungku yang akan digunakan warga Desa Wolotolo, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur itu didoakan para pemuka adat dan warga. Mereka mendoakan peranti dapur yang menjadi penanda perubahan besar produksi dan konsumsi energi di Ende.
Tungku itu telah melalui proses penjemuran dan pembakaran, desain teknisnya diriset tujuh anggota tim Comestoarra menggantikan keberadaan kompor minyak tanah yang selama ini menjadi andalan para ibu. Mereka beralih ke sumber energi tak berbayar yang berasal dari sampah organik, yang didominasi limbah dapur dan daun-daunan dari kebun.
"Di Ende, penggunaan kompor gas elpiji tidak pupuler karena secara adat mereka meyakini api itu harus merah, bukan biru. Jadi, ketika kami menguji coba penggunaan pelet TOSS dari fermentasi sampah organik, yang menghasilkan api dan bara merah, warga pun menyambut," ujar Arief Noerhidayat, Direktur PT Comestoarra Bentarrra Noesantarra kepada Media Indonesia.
Perusahaan rintisan ini menginisiasi kolaborasi berbagai pihak, mulai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), PT PLN hingga pemerintah daerah.
Co-firing di PLTU
Namun, pelet berwarna hitam dengan ukuran 1-12 milimeter itu bukan cuma menjadi solusi bagi dapur yang lebih hijau, namun juga mulai merubah wajah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa di Dusun Ropa, Desa Kaliwumbu, Kecamatan Morule, Ende. Sebanyak 10 hingga 20 ton pelet TOSS telah masuk dalam skema co-firing untuk mensubtitusi sebagian pasokan batubara.
Ke depan, dengan pasokan pelet yang meningkat sekaligus stabil hingga 60 ton per hari, diharapkan subtitusi ke sumber energi hijau itu bisa mencapai 30%. Kerja bareng warga lokal di bidang energi terbarukan itu juga dirintis Comestoarra sejak 2019 di Klungkung, Bali, Jepara, Jawa Tengah hingga di Penjernihan, Jakarta.
Pelet TOSS kemudian diyakini Arief dan timnya yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat sebagai solusi energi terbarukan paling efektif berkat berbagai dukungan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementrian ESDM. "Semua pihak berkepentingan pada solusi yang kami tawarkan yang menyatukan pendekatan pengelolaan sampah, sumber energi terbarukan serta penguatan komunitas. Dukungan pun datang dari berbagai pihak," kata Arief yang juga membawa inovasi timnya dalam berbagai kompetisi ide bisnis.
Bahan baku utama pelet TOSS, kata Arief, adalah aneka jenis sampah organik dan dapur yang diolah dalam perangkat fermentasi ditambah bioaktivator yang juga dibuat mandiri secara organik. "Produksi pelet TOSS ini bisa dilakukan berbasis komunitas desa atau RW dengan produksi sampah sekitar 10 ton per hari. Rinciannya, sampah bernilai ekonomi yang bisa diambil pemulung 20-30%, organik 70-60% dan sampah residu berupa baterai dan tidak bisa dimanfaatkan seperti popok sekali pakai sebanyak 10-20%. Kami bergerak di sampah organik itu," kata Arief.
Hijau dan Murah
Prosesnya, kata Arief, sampah dicacah dan ditambahkan bioaktivator untuk mempercepat fermentasi dan menghilangkan bau. Proses dilakukan dalam kotak bambu hingga kering dan selanjutnya dibentuk menjadi pelet. "Metode dan teknologi yang kami gunakan adalah perpaduan berbagai hasil riset sains. Proses membuat pelet ini tidak berbau, kering tanpa air lindi, tidak berbahaya, begitu pula produk jadinya."
Di Ende kini telah aktif dua sentra produksi pelet yang berlokasi di wilayah milik Dinas Lingkungan Hidup dan selanjutnya tengah dikembangkan 7 sentra. "Memang harus ada subsidi untuk biaya pendirian dan sudah dilakukan di Ende. Di tingkat nasional, jika konsep ini akan diberlakukan, harus didukung keterlibatan para pemangku kepentingan. Modal awal produksi TOSS sendiri bisa mencapai Rp2,7 miliar. Dalam proses ini kami terus melakukan transfer pengetahuan. Harapannya, semakin banyak pihak dan daerah yang terlibat. Saat ini, di Jakarta saja produksi sampah mencapai 7.000 ton setiap hari dan diperkirakan nak naik 30% sesuai pertambahan penduduk."
Kini, selain di PLTU Ropa, program co-firing telah dilakukan di PLTU Paiton dan Pacitan, PLTU Jerajang, PLTU Suralaya, PLTU Ketapang serta PLTU Sanggau. Inovasi ini diyakini akan mendukung capaian target komposisi energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 23% pada 2025. Co-firing biomasa pada PLTU bukanlah hal baru, banyak negara-negara di luar yang sudah berhasil menghijaukan PLTU-nya, bahkan hingga 100%.
Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana menyatakn, ke depan akan terus diupayakan untuk bisa mengurangi PLTU-PLTU dengan pembangkit-pembangkit yang lebih bersih. Namun, tantangan terbesar program co-firing dengan biomasa ini adalah ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan dan harga. Untuk itu, implementasi co-firing menyesuaikan dengan ketersediaan pasokan biomasa di daerah setempat, sehingga dapat mengurangi biaya transportasi.
Jika PLTU Ropa menggunakan pelet TOSS karya masyarakat Ende, di lokasi lainnya digunakan limbah kayu, sekam padi, hingga cangkang sawit. Ini menunjukkan, bahan baku biomassa untuk co-firing sangat fleksibel dan menyesuaikan dengan potensi biomassa lokal dengan tetap memperhatikan standar teknis dan kebutuhan pembangkit. Dengan demikian, pengusaha lokal dan masyarakat setempat dapat terlibat aktif dalam kegiatan ini sehingga mendukung terciptanya ekonomi listrik kerakyatan.
Pemerintah kembali merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara pada periode 2029 hingga 2033.
PT TBS Energi Utama memperkuat komitmennya dalam bertransformasi menjadi perusahaan berbasis keberlanjutan dengan sejumlah langkah strategis.
TOBA mendapatkan persetujuan dari pemegang saham melakukan divestasi dua aset PLTU berkapasitas 200 megawatt senilai US$144,8 juta atau setara Rp2,3 triliun.
Indonesia perlu segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai acuan untuk menemukan dan mengembangkan solusi.
Transaksi ini sejalan dengan komitmen Perseroan dalam mencapai target netralitas karbon pada tahun 2030 melalui inisiatif TBS 2030.
PLN berencana membatalkan kontrak 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019-2028.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved