Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kawasan Konservasi Teluk Lewoleba Dijarah, DKP Tak Berkutik

Alexander P. Taum
18/2/2021 15:20
Kawasan Konservasi Teluk Lewoleba Dijarah, DKP Tak Berkutik
Kawasan Konserwasi Perairan Teluk Lewoleba, Lembata, NTT masih saja dijarah nelayan besar dengan pukat harimau, Kamis (18/2)(MI/Alexander PT)

TELUK Lewoleba, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Daerah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, terus menjadi lahan jarahan bagi kapal penangkap ikan dengan alat tangkap pukat Harimau atau cantrang yang merusak biota laut. Sayang, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)setempat tak berdaya mencegah terkendala kewenangannya.

Dalam terminology masyarakat di teluk Lewoleba, kapal penangkap ikan dengan alat tangkap pukat harimau disebut kapal Purseine. Para Nelayan juga menyebutnya sebagai Nelayan Besar atau nelayan lingkar Kiri.

Kadir, Nelayan tradisional di kampung Nyamuk, Kelurahan Selandoro, Kecamatan Nubatukan, Kamis (18/2/2021), mengatakan hingga saat ini puluhan kapal Porseine masih beroperasi hingga ke KKP yang dilarang Pemerintah.

"Pukat Purseine ini seluas lapangan sepak bola. Tingginya 50 Meter dan panjangnya 150 meter. Jaringnya juga rapat, sehingga sekali tangkap, kapal Porseine ini mengangkut segala jenis ikan, termasuk terumbu karang. Bahkan kalau terlalu banyak ikan yang di tangkap, banyak ikan dibuang begitu saja ke laut," ujar Kadir.

Menurut Kadir, saat beroperasi menangkap ikan, nelayan kecil yang menangkap ikan dengan cara mancing dan pukat ukuran kecil saat memancing di dalam radius penangkapan kapal porseine itu, akan terjaring juga.

"Kalau sudah begini, terpaksa kami yang nelayan kecil ini harus minggir. Kalau tidak kami juga masuk dalam pukat mereka. Ini membuat kami sulit mendapat ikan," gerutu Kadir.

Terkait masalah ini, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lembata,NTT, hingga saat ini tak kuasa mengontrol aktivitas penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat harimau.

Padahal, sejak tahun 2013, nelayan dengan alat tangkap tradisional mengeluhkan menjamurnya kapal Purseine dengan alat tangkap pukat hariamau, beroperasi di teluk Lewoleba, KKP Daerah.

Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan kewenangan penindakan oleh DKP kabupaten. Sebab kewenangan penindakan atas pelanggaran di sector
kelautan dan perikanan kini diambil alih Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi.

"Masalah di teluk Lewoleba tidak pernah habis. Masayarakat juga tidak memahami bahwa armadanya ini boleh tangkap di area mana. Ini sering kita omong dengan nelayan, melalui keterwakilan nelayan kecil dan besar," ujar Kepala DKP Kabupaten Lembata, Mahmud Rempe.

Ia menyebut, upaya menjembatani dua kubu nelayan yang kerap bertikai ini, terakhir dilaksanakan pada 11 Desember 2018. Buntut dari aksi protes yang dilancarkan Nelayan kecil dalam demonstrasi, dua kubu nelayan ini kemudian memunculkan 5 poin kesepakatan.

Pertama, Penangkapan ikan dengan Purse Sein dalam teluk Lewoleba untuk sementara waktu mengacu pada kesepakatan lokal yang dilaksanakan sambil
menunggu usulan pengelolaan teluk Lewoleba ke Pemerintah Provinsi.

Kedua, Kesepakatan local yang dimaksud pada poin satu, meliputi area penangkapan dari Ujung pulau Siput (Awololong), ke Nereng dapat
dioperasikan Bagian barat. Sedangkan bagian Timur, tidak boleh dilakukan penangkapan.

Ketiga, Apabila terjadi pelanggaran di luar wilayah yang disepakati disertai dengan bukti, maka Permen 71 tahun 2016 akan di berlakukan di teluk Lewoleba.

Keempat, Tidak Boleh ada aktivitas penangkapan di wilayah operasi Pelabuhan laut Lewoleba. Kelima, tidak diperbolehkan adanya penambahan adanya penambahan armada purse Seine, yang berioperasi di dalam teluk Lewoleba.

Keenam, Yang bisa beroperasi di dalam teluk Lewoleba dengan kesepakatan local adalah purse seine yang memiliki ijin penangkapan atau ijin
pengumpulan ikan sesuai aturan yang berlaku.

Menurut Mahmud Rempe, hingga saat ini kesepakatan itu terus dilanggar para nelayan. Penindakan terhadap pelanggaran tersebut terkendala kewenangan. Menurut peraturan KKP tahun 2016 tentang kewenangan dan UU 23 tahun 2016, titik nol dari garis pantai sampai 12 mil laut menjadi kewenangan Provinsi.

"Kita tidak bisa ambil langkah sebelum berkoordinasi dengan pihak Provinsi," ujar Mahmud Rempe sembari menyebut bahwa pelanggaran sering dilakukan nelayan besar.

"Makanya nelayan kecil selalu protes. Kadang mereka masuk tangkap sampai ke dalam. Nelayan besar itu seharusnya wilayah tangkapnya di Tanjung ke pulau Batutara, seperti diatur dalam Permen 71 tahun 2016. (OL-13)

Baca Juga: Nelayan Asing Kembali Curi Ikan di Perairan NTT



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya