Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Memacu Produksi Padi Petani Air Bauk Kupang NTT

Palce Amalo
29/11/2020 13:45
Memacu Produksi Padi Petani Air Bauk Kupang NTT
Christofel Ullu, Ketua Kelompok Tani Kaifo Ingu di Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT mengakses data dari aplikasi RiTx Bertani(MI/Palce Amalo)

DULU musim kemarau yang berlangsung delapan bulan tiap tahun membuat petani Air Bauk, di Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT, urung mengolah lahan karena keterbatasan air. Tanah sawah retak-retak, bahkan tak terlihat tumbuhan hijau.

Kini sudah lain cerita. Tidak kurang 20 persen dari 358 hektare areal persawahan Air Bauk yang tadinya kering-kerontang di musim panas, sudah bisa diolah dengan memanfaatkan air dari sumur bor yang dibangun di persawahan.

Termasuk lahan milik Christofel Ullu, petani setempat seluas lima hektare, terdiri dari empat hektare dimanfaatkan untuk budidaya bebek dan peternakan kambing, serta kebun pepaya, pisang dan apel. Lahan yang satu hektare lagi ditanami padi yang di dalamnya ditempatkan hardware berupa sensor tanah dan cuaca bernama RiTx Bertani.

Peralatan ini dipasang sejak 29 September 2020 oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTT bersama startup PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB) di Yogyakarta, perusahan pelopor 4.0 yang menampilkan inovasi pemanfaatan internet of things (IoT) bidang teknologi pertanian untuk mensejahterakan petani.

Sensor ini mendeteksi, mengukur, serta mencatat data secara akurat mengenai kondisi cuaca pertanian (agro climate) dan tanah pertanian (soil) yang dapat dikontrol melalui software berupa aplikasi dengan nama yang sama di android. Lewat aplikasi ini, petani dapat mengakses dan memantau kondisi tanah dan cuaca di lahan mereka secara real time.

Data yang terekam diteruskan ke pakar teknologi pertanian di MSMB melaui fitur 'tanya ahli' pertanian di aplikasi yang akan memberikan saran, dengan kondisi seperti itu, bagaimana manajemen budidaya yang seharusnya dilakukan petani.

"Contohnya saat ini suhu udara sangat panas tetapi saya menanam padi karena suhu di dalam tanah yang tertera di aplikasi ternyata 30,5 derajat celcius sehingga kami disarankan menanam," kata Christofel Ullu, akhir pekan lalu.

Keputusan Christofel mulai menanam padi, juga didukung derajat keasaman tanah yang menunjukkan skala normal yakni 6,9, sedangkan derajat normal keasaman tanah pada skala 6-7. Lain halnya jika tanah sudah asam, kami diminta melakukan pengapuran.

Ada belasan parameter yang mampu terdeteksi sensor RiTx Bertani mulai dari arah angin, kecepatan rata-rata angin, kecepatan angin maksimal, kekeruhan air, curah hujan per jam, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, suhu tanah, kelembaban tanah, nilai konduktivitas listrik tanah (EC tanah), dan derajat keasaman atau pH (potensial of hydrogen) tanah.

Jadi, dengan aplikasi RiTx Bertani, tambah Ketua Kelompok Tani Kaifo Ingu ini, terjadi banyak penghematan mulai dari biaya produksi sampai pengeluaran lainnya yang tidak diperlukan karena salah menentukan musim tanam.

Seperti pemakaian pupuk, secara turun-temurun petani di sana menghabiskan 300 kilogram pupuk kimia untuk lahan padi seluas satu hektare, terdiri dari 200 kilogram urea dan 100 kilogram NPK (nitrogen, phospor dan kalium), serta satu ton pupuk organik, dan pestisida seharga Rp500.000.

Untuk urea bersubsidi ditebus dengan harga Rp90.000 per sak isi 50 kilogram dan NPK seharga Rp100.000 per 50 kilogram. Masih ada pengeluaran lain yakni biaya tenaga kerja sebesar Rp1 juta dan biaya bahan bakar untuk kebutuhan mesin pompa air sebesar Rp5 juta selama tiga bulan atau sejak benih disemaikan sampai masa panen.

Jika ditotalkan, pengeluaran Christofel selama satu musim tanam mencapai Rp7.060.000. Di sisi lain, satu hektare tanaman padi di kawasan pertanian yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Kupang itu mampu menghasilkan enam ton gabah kering panen (GKP).

Menurutnya, jika hasil panen sebesar itu dikonversi ke beras sebanyak 4,2 ton, sehingga pendapatan kotor seorang petani dalam satu musim tanam mencapai Rp42 juta dengan harga beras di pasaran saat ini Rp10.000 per kilogram.

Akan tetapi, bagi Christofel, pendapatan sebesar itu masih rendah. Dia masih bisa memaksimalkan produksi padi sampai 10 ton per hektare dengan syarat melakukan efisiensi pemakaian sarana produksi terutama pupuk dan obat-obatan. Syarat lain ialah tidak terjadi penurunan debit air.

Kristofel yang sudah mengikuti pelatihan manajemen budidaya padi bersama puluhan petani setempat mengatakan, petani dianjurkan memakai pupuk sesuai kebutuhan tanaman agar padi dapat menyerap unsur hara secara optimal. Karena residu yang tidak terserap oleh tanaman, bisa menimbulkan kerusakan lahan.

"Saya tidak lagi menggunakan unsur nitrogen karena dari data yang ada, unsur nitrogen di lahan tinggi," ujarnya.

Pemakaian nitrogen yang berlebihan juga berdampak buruk bagi tanah dan padi menjadi kerdil, daun menguning dan produksi menurun. Jika sudah begitu, hama wereng dan penggerek batang muncul dan merusak tanaman.

Seandainya petani belum mengetahui jenis hama dan penyakit tertentu, tinggal memotret hama tersebut dan mengirimnya melalui aplikasi, akan muncul jawaban nama hama disertai cara penanganan hama.

Tidak terbatas di situ saja, boleh bertanya hal apapun terkait pertanian, juga soal manajemen budidaya dan air, akan dijawab oleh tim pakar pertanian.

Karena itu, bagi Dia, teknologi RiTx Bertani sangat menolong petani, juga mengubah kebiasaan petani yang biasa menanam pada Desember dan Januari atau ketika air hujan mulai mengenangi persawahan. Padahal jika menanam pada saat yang tepat, banyak untungnya. Potensi tanaman terserang hama sangat kecil dan produksi padi pun meningkat.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT, Yandri Lusi menyebutkan pola pertanian yang diperkenalkan di Kupang Tengah bisa diterapkan pada lahan pertanian yang mengunakan sistem pembakaran lahan.

Data data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan lahan terbakar di NTT pada 2019 mencapai 109 ribu hektare atau terluas di Indonesia.

Membuka lahan dengan cara membakar, merusak tanah karena hilangnya bahan organik tanah yang merupakan sumber energi dan hara bagi kehidupan organisme tanah. "Kalau unsur hara hilang, yang banyak justru fosfat sehingga terjadi ketidakseimbangan di dalam tanah," ujarnya.

Rizal Dwi Prasetyo dari PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa mengatakan program yang diterapkan di persawahan Air Bauk masih berstatus pilot project, berlangsung selama satu tahun atau tiga musim tanam. (OL-13)

Baca Juga: Gunung Ile Lewotolok Erupsi Lagi

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik