Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

Badai Fitnah Terpa Jurnalis Palestina, Gaza dalam Bahaya

Khoerun Nadif Rahmat
22/8/2025 07:06
Badai Fitnah Terpa Jurnalis Palestina, Gaza dalam Bahaya
Seorang peserta aksi memegang gambar seorang jurnalis yang tewas di Gaza saat para pengunjuk rasa pro-Palestina mengikuti March for Humanity menentang krisis kemanusiaan di Gaza pada 16 Agustus 2025 di Kota New York, Amerika Serikat.(AFP)

MILITER Israel (IDF) telah membunuh hampir 270 jurnalis di Jalur Gaza, Palestina, sejak Oktober 2023, menurut data dari Al Jazeera. Jumlah ini lebih banyak daripada jumlah gabungan korban Perang Saudara AS, kedua perang dunia, Perang Korea, Perang Vietnam, perang di bekas Yugoslavia, dan perang di Afghanistan. 

Tidak hanya dibunuh, sebagian jurnalis itu difitnah Israel terkait dengan kelompok pejuang Hamas. Dengan dalih yang tanpa bukti kuat itu, Negeri Zionis membolehkan pembunuhan terhadap jurnalis. Salah satu jurnalis korban tuduhan itu yang terbaru ialah koresponden Al Jazeera, Anas Al-Sharif, yang tewas dalam serangan udara 10 Agustus lalu.

ABC News melaporkan bahwa pihak IDF merilis dokumen yang diklaim sebagai bukti hubungan Al-Sharif dengan Hamas. Catatan tersebut menyebutkan Al-Sharif pernah menjadi komandan tim Hamas periode 2013-2019, menerima dana US$200 atau sekitar Rp3,28 juta pada 2017, dan namanya masuk dalam direktori telepon kelompok tersebut. 

Namun, catatan itu tidak disertai penjelasan kapan dan bagaimana data diperoleh. "Yang kami publikasikan hanyalah sebagian kecil dari intelijen yang sudah dideklasifikasi," kata juru bicara internasional IDF. Tudingan itu dibantah keras oleh pihak Al Jazeera. 

IDF lantas merilis foto Al-Sharif bersama pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, tanpa kejelasan waktu dan lokasi. "Hanya teroris yang duduk di antara teroris," tulis juru bicara IDF.

Bukan pertama

Serangan yang sama juga merenggut nyawa empat jurnalis lain Al Jazeera, yaitu Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Moamen Aliwa, dan Mohammed Noufal, saat mereka berada di tenda bertanda pers yang jelas di dekat Rumah Sakit Al-Shifa. Hingga kini, IDF tidak pernah menjelaskan alasan di balik tewasnya para jurnalis tersebut. Inilah letak masalahnya.

Kasus itu bukan yang pertama. Pola serupa terlihat pada kematian jurnalis lain Al Jazeera, Ismail Al-Ghoul, yang tewas bersama kameramannya, Rami Al-Rifi, pada pertengahan 2024. Militer Israel menuding Al-Ghoul merupakan anggota Hamas. Namun, investigasi Reporters Without Borders (RSF) menemukan banyak kejanggalan.

Salah satu catatan menyebut Al-Ghoul sudah bergabung dengan sayap militer Hamas sejak 2007. Padahal ketika itu usianya baru 10 tahun. "Militer Israel menjawab bahwa mereka tidak bisa disalahkan atas catatan buruk Hamas," tulis RSF.

Jurnalis Palestina yang tewas tentu membuat kondisi rakyat Gaza dalam bahaya. Apalagi, Israel selama ini melarang media asing masuk ke Gaza dengan alasan keamanan. Namun, larangan itu justru membuat dunia bergantung pada jurnalis lokal.

Baca juga: Catat Perusahaan terkait Ekonomi Genosida Israel di Palestina

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sempat berjanji membuka akses bagi media internasional, tetapi dengan syarat ketat di bawah pengawasan militer. Pengalaman menunjukkan keterbatasan itu nyata. Misalnya, ABC News yang diizinkan masuk ke Gaza hanya diperlihatkan gudang bantuan di perbatasan, tanpa akses ke area kehancuran.

Pendekatan 'Percayai kami' dari Israel terbukti sudah sangat cacat sebelumnya. Ini karena Israel beberapa kali ketahuan salah dalam menyajikan bukti. Pada 2023, juru bicara IDF Daniel Hagari menunjuk kalender di Rantisi Hospital sebagai jadwal jaga Hamas. Namun, penutur Arab segera mengoreksi bahwa tulisan itu hanyalah nama hari. 

Baca juga: Pelapor Khusus PBB Putuskan Ekonomi Genosida Israel di Gaza

Monopoli opini 

Sejumlah pengamat menilai serangan Israel terhadap jurnalis bukanlah fenomena baru. Pada 11 Mei 2022, koresponden senior Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, ditembak sniper Israel ketika meliput di Jenin. Kasus serupa menimpa fotografer Italia Raffaele Ciriello pada 2002. 

Lebih jauh ke belakang, penulis Palestina Ghassan Kanafani dibunuh Mossad di Beirut pada 1972. "Israel berusaha mengaburkan narasi Palestina agar tak menyebar dan bisa memonopoli opini publik," ujar analis politik Palestina, Akram Atallah.

Dalam dua dekade terakhir, praktik itu kian sistematis. Pada 2018, dua jurnalis Palestina--Yaser Murtaja dan Ahmed Abu Hussein--tewas ditembak meski mengenakan rompi bertuliskan PRESS ketika meliput demonstrasi Great March of Return.

Baca juga: Dana Pensiun dan Universitas Boikot Israel

"Israel kini nekat dan tak peduli lagi pada reputasi maupun citra Hasbara," kata analis Palestina-Amerika, Khalil Jahshan. Hasbara adalah program hubungan masyarakat yang bertujuan menyebarkan informasi positif tentang Israel ke seluruh dunia. 

Sementara itu, peneliti dari International Crisis Group, Tahani Mustafa, menyebut propaganda Israel semakin ceroboh, tetapi tetap ditelan media Barat karena bias yang membenarkan tindakan Israel. "Israel bisa berulang kali membuat klaim palsu tanpa pernah dimintai pertanggungjawaban," katanya.

Serangan dan intimidasi meluas hingga ke Tepi Barat. Di daerah itu, Serikat Jurnalis Palestina mencatat 49 wartawan ditahan dengan tuduhan berafiliasi Hamas. "Siapa pun yang mengkritik Israel langsung dituduh simpatisan Hamas atau teroris," kata Direktur CPJ untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Sara Qudah.

Baca juga: Apa itu Israel Raya atau Greater Israel Ini Penjelasannya

Jurnalis dunia

Sejatinya banyak pihak yang menuntut Israel mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza. "Sungguh konyol Israel mampu mencegah jurnalis internasional melaporkan bahwa informasi dan fakta yang diberikan pemerintah Israel tidak akurat," ujar jurnalis Inggris Piers Morgan, pada akhir Mei.

Morgan mengatakan bahwa mendapatkan fakta mengenai yang terjadi di Gaza sangat sulit bagi jurnalis karena Israel menolak masuknya entitas media tersebut. "Biarkan jurnalis masuk, baru kita bisa mengetahui apakah yang dikatakan Israel benar. Fakta bahwa mereka tidak mengizinkan mereka masuk sangat jelas," tambahnya.

Morgan mengatakan bahwa pemahaman dan pandangan awalnya tentang sejarah Palestina berubah. "Sayadikritik oleh dunia Arab karena pro-Israel. Namun, saya selalu memiliki lebih banyak tamu pendukung Palestina daripada acara lain mana pun di dunia, dan saya melakukannya dengan sengaja," tambahnya.

Baca juga: Perintah Milter Israel Bernama The Hannibal Directive dan Kontroversinya

Pandangan awalnya yaitu Israel memiliki hak dan kewajiban fundamental untuk membela diri setelah serangan 7 Oktober. Pertanyaannya sejak awal selalu ialah apa tanggapan yang proporsional? Baginya, yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, terutama sejak blokade dan pengeboman, telah melewati batas.

"Posisi saya telah berkembang dan bergeser, tetapi saya tidak terlalu defensif terhadap posisi awal yang saya ambil. Saya selalu berusaha bersikap tegas dan adil serta menawarkan platform bagi kedua belah pihak untuk mencoba dan mendapatkan solusi," tambahnya.

"Bukan tugas saya untuk memihak dalam berita-berita ini. Tugas saya adalah menjadi jurnalis dan meminta pertanggungjawaban semua orang serta mencoba mengungkap kebenaran dan mengungkap fakta," tandasnya. 

Baca juga: Serangan 7 Oktober, Hannibal Directive Dituding Bunuh Ratusan Orang Israel

Senator AS

Desakan juga datang dari sekelompok Senator Amerika Serikat yang sebagian besar berasal dari Partai Demokrat. Mereka mendesak pemerintahan Donald Trump mengambil tindakan atas pembunuhan jurnalis di Gaza sekaligus mendesak Israel agar menjamin kebebasan pers.

Para anggota parlemen yang dipimpin oleh Senator Brian Schatz itu telah mengirimkan surat kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Rabu (20/8). Surat yang ditandatangani oleh sejumlah anggota Partai Demokrat itu merujuk serangan Israel terbaru di Gaza yang menewaskan enam jurnalis, termasuk jurnalis terkemuka Al Jazeera, Anas al-Sharif.

Mereka menyatakan Israel tidak memberikan bukti yang meyakinkan atas klaim bahwa al-Sharif merupakan anggota kelompok Palestina Hamas. Mereka pun memperingatkan bahwa menargetkan jurnalis merupakan pelanggaran hukum internasional.

"Kami mendesak Anda untuk menekan pemerintah Israel agar melindungi jurnalis di Gaza dan mengizinkan media internasional mengakses wilayah tersebut," tambah mereka. Para senator juga meminta Departemen Luar Negeri AS untuk menuntut agar Israel mengizinkan jurnalis internasional mengakses Gaza secara independen serta pembatasan dan penyensoran terhadap media merusak kredibilitas Amerika Serikat. (Arab News/Anadolu/Fer/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya