Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Kelaparan Massal Gaza Menguruskan, Menyakitkan, Mematikan

Ferdian Ananda Majni
24/7/2025 07:35
Kelaparan Massal Gaza Menguruskan, Menyakitkan, Mematikan
Warga Gaza.(Al Jazeera)

BAYI-BAYI yang tinggal tulang dan kulit akhirnya meninggal karena ibu mereka terlalu kelaparan untuk menghasilkan susu. Bahkan para petugas medis yang merawat mereka yang kekurangan gizi di Rumah Sakit Shifa di Gaza utara pun begitu lapar dan sakit. Akibatnya, beberapa dari mereka pingsan dan harus dirawat dengan cairan infus.

Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan setidaknya 101 orang meninggal karena kelaparan selama genosida Israel, termasuk 80 anak, sebagian besar dalam beberapa minggu terakhir. Kepala rumah sakit terbesar di Jalur Gaza mengatakan, Selasa (22/7), bahwa 21 anak meninggal dunia akibat malanutrisi dan kelaparan di wilayah Palestina selama tiga hari sebelumnya.

Bahkan orang-orang yang mencoba mendapatkan makanan dari lokasi bantuan pun mempertaruhkan nyawa. Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan lebih dari 1.000 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel sejak Mei ketika mencoba mendapatkan makanan di Gaza. Sebagian besar pembunuhan itu terjadi di dekat lokasi bantuan yang dikelola kontraktor Amerika Serikat (AS).

Lebih dari 100 organisasi bantuan dan kelompok hak asasi manusia, kemarin, memperingatkan kelaparan massal sedang menyebar di Gaza. Pernyataan dengan 111 penanda tangan, termasuk Dokter Lintas Batas (MSF), Save the Children, dan Oxfam, memberikan kesaksian bahwa rekan-rekan dan pasien yang dilayani semakin kurus kering. Kelompok-kelompok tersebut menyerukan gencatan senjata yang dinegosiasikan segera, pembukaan semua penyeberangan darat, dan aliran bantuan bebas melalui mekanisme yang dipimpin PBB.

Berbagai organisasi kemanusiaan tersebut mengatakan gudang-gudang berisi berton-ton pasokan terbengkalai tak tersentuh tepat di luar wilayah tersebut, bahkan di dalam wilayah tersebut, karena mereka terhalang untuk mengirimkan barang-barang tersebut. "Warga Palestina terjebak dalam siklus harapan dan patah hati menunggu bantuan dan gencatan senjata, hanya untuk kemudian terbangun dengan kondisi yang semakin memburuk," kata para penanda tangan.

Pertunjukan horor 

"Ini bukan hanya siksaan fisik, tetapi juga psikologis. Kelangsungan hidup bagaikan fatamorgana," tambah mereka. "Sistem kemanusiaan tidak dapat berjalan dengan janji-janji palsu. Lembaga-lembaga kemanusiaan tidak dapat beroperasi dengan jadwal yang terus berubah atau menunggu komitmen politik yang gagal memberikan akses." 

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan pertunjukan horor yang dihadapi warga Palestina di Gaza di bawah serangan militer Israel belum pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak hanya warga, relawan, dan petugas medis, para jurnalis juga dililit kelaparan. Dengan harga bahan bakar yang selangit dan perjalanan darat berbahaya di Gaza, jurnalis video AFP Youssef Hassouna harus berjalan kaki berjam-jam di bawah terik matahari setiap hari hanya untuk mendokumentasikan berita.

"Saya berjalan 14 hingga 15 kilometer setiap hari untuk mencapai situs berita," katanya. "Pagi ini, saya berjalan kaki pulang pergi sekitar 25 kilometer untuk mencari informasi."

Hassouna, 48, mengatakan perjalanannya berat di tengah terik matahari. Kondisi itu membuat sepatunya rusak. "Dulu saya mengganti sepatu setiap enam bulan," katanya. "Sekarang, saya hanya memakai sepasang sepatu setiap bulan."

Baik saat merekam kekacauan perebutan bantuan yang minim maupun dampak berdarah dari serangan udara, Hassouna mengatakan bahwa kelangkaan makanan, air bersih, dan perawatan medis yang ekstrem semakin mempersulit upayanya untuk meliput konflik yang menghancurkan tersebut. Hassouna, yang tinggal di Kota Gaza, mengatakan perjuangan utamanya yaitu memperoleh cukup makanan untuk memberi makan dirinya dan keluarga, termasuk seorang saudara perempuan yang sakit.

Setelah menjalani hampir dua tahun konflik, wajahnya kini tampak muram dan matanya cekung. "Berat badan saya dulu sekitar 110 kilogram, sekarang antara 65 dan 70 kilogram," katanya. 

Warga takut bersuara

Krisis kelaparan semakin parah juga disebabkan harga-harga makanan melonjak karena sedikit jumlahnya. Karenanya, kebutuhan pokok sehari-hari tak terjangkau bagi banyak orang. "Mendapatkan makanan di Gaza sangat sulit. Bahkan ketika tersedia, harganya berlipat ganda," kata Hassouna.

Ia menjelaskan bahwa satu kilogram lentil yang dulunya berharga tiga shekel (US$0,90) kini harganya 80 shekel (US$24). Harga beras, katanya, telah naik 20 kali lipat. 

"Akses air sama sulitnya, baik air tawar maupun air asin," tambah Hassouna. "Anak-anak harus mengantre selama empat, lima, enam, atau bahkan tujuh jam untuk mendapatkannya."

Hassouna mengatakan bahwa pekerjaannya mendokumentasikan konflik terkadang menimbulkan masalah bagi warga Palestina yang tinggal di Gaza. Mereka takut terhadap pembalasan Israel karena berbicara kepada jurnalis. "Beberapa menyukai jurnalis, yang lain tidak," katanya.

"Mereka yang mendukung kami datang untuk berbicara kepada saya, 'Beri tahu kami apa yang terjadi, kapan perang ini akan berakhir? Sampaikan suara kami ke luar negeri, beri tahu seluruh dunia bahwa kami tidak menginginkan perang'. "Yang lain mengatakan sebaliknya, 'Jangan mendekat, jangan bergabung dengan kami. Jurnalis menjadi sasaran pengeboman Israel'."

Pengawas media Reporters Without Borders (RSF) mengatakan pada awal Juli bahwa lebih dari 200 jurnalis tewas di Gaza sejak serangan Hamas pada Oktober 2023 memicu genosida. Mendoakan ketenangan bagi generasi mendatang, Hassouna mengatakan ia ingin menyampaikan pesan perdamaian. 

"Sejak kecil, kami telah hidup dalam perang dan kami tidak ingin anak-anak kami--atau bahkan anak-anak (Israel)--mengalami hal ini," ujarnya. "Kami semua menginginkan kehidupan tanpa konflik."

Perang brutal Israel di Gaza sekitar 21 bulan menewaskan 59.106 warga Palestina. Menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas tersebut, sebagian besar korban tewas ialah warga sipil. Selain kelaparan, pengeboman negeri zionis itu membuat hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, memicu kekurangan pangan dan kebutuhan pokok lain, serta membuat sebagian besar wilayah Palestina menjadi puing-puing.

Akhiri perang sekarang

Pada Senin (21/7), 28 negara mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan kepada Israel bahwa perang di Gaza harus diakhiri sekarang. Negara itu ialah Australia, Austria, Belgia, Kanada, Siprus, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Lituania, Luksemburg, Malta, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris.

Banyak negara itu merupakan sekutu Israel. Pernyataan bersama tersebut, yang ditandatangani para menteri luar negeri, mengutuk penurunan bantuan dan pembunuhan tidak manusiawi terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, yang berusaha memenuhi kebutuhan paling dasar mereka akan air dan makanan.

Pernyataan itu muncul di tengah meningkatnya tekanan global terhadap Israel atas jatuhnya korban sipil di lokasi-lokasi bantuan, terhambatnya bantuan kemanusiaan, dan pelanggaran hukum humaniter internasional. Pada saat bersamaan, wilayah Palestina yang dijajah itu dilanda kelaparan.

Pernyataan bersama tersebut menyatakan bahwa negara-negara bersatu dengan pesan yang sederhana dan mendesak yaitu perang di Gaza harus diakhiri sekarang. Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa penderitaan warga sipil di Gaza telah mencapai tingkat yang lebih tinggi dan model pemberian bantuan pemerintah Israel tergolong berbahaya, memicu ketidakstabilan, dan merampas martabat manusia warga Gaza.

Kelompok negara tersebut juga menyerukan pembebasan sandera oleh Hamas dengan segera dan tanpa syarat. Gencatan senjata yang dinegosiasikan menawarkan harapan terbaik untuk memulangkan para sandera. (AFP/The Independent/Al Jazeera/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya