Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Kontroversi Trump Diusulkan Netanyahu Layak Terima Nobel Perdamaian

Wisnu Arto Subari
13/7/2025 20:32
Kontroversi Trump Diusulkan Netanyahu Layak Terima Nobel Perdamaian
Donald Trump dan Benjamin Netanyahu.(Al Jazeera)

ISU Presiden AS Donald Trump diusulkan PM Israel Benjamin Netanyahu layak menerima Nobel Perdamaian Dunia memicu perdebatan. Penilaiannya bergantung pada sudut pandang dan bobot yang diberikan pada pencapaian serta kontroversi yang menyertainya.

Menurut seorang pengamat geopolitik, Kolonel Dedy Yulianto, argumen yang mendukung kelayakan Donald Trump menerima Nobel Perdamaian sering kali menyoroti pencapaian diplomatik signifikan yang terjadi selama masa kepresidenannya yang pertama dan kedua yaitu Perjanjian Abraham (Abraham Accords). Trump menjadi perantara serangkaian kesepakatan diplomatik/perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dengan beberapa negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020 yang kemudian diikuti oleh Sudan dan Maroko. 

Kedua, pendukungnya menekankan bahwa selama masa jabatannya Trump, AS tidak memulai perang baru. Hal ini dianggap sebagai pencapaian, mengingat tren intervensi militer AS di masa lalu. Namun dengan konflik antara Israel dan Iran, gencatan senjata di Gaza terkait Israel dan Hamas, termasuk dengan Houthi di Yaman, hal itu dipertanyakan. "Apalagi pemasok utama senjata dan politik Netanyahu ialah AS sehingga menjadi penghalang Trump untuk meraih hadiah Nobel," kata Dedy dalam keterangannya, Minggu (13/7).

Ketiga, Trump juga tercatat pernah berupaya menjadi penengah dalam beberapa konflik lain, meskipun dengan hasil yang beragam. Ini termasuk pertemuannya dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dan penengah konflik antara India dan Pakistan baru-baru ini.

Di sisi lain, banyak pihak menentang keras gagasan itu. Alasan pertama yaitu pendekatan America First sering kali berujung pada tindakan unilateral yang merusak kerja sama internasional. Ini termasuk menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, kesepakatan nuklir Iran (JCPOA), dan berbagai badan PBB seperti Dewan Hak Asasi Manusia. 

Kedua, pemberlakuan tarif dan retorika perang dagang, terutama dengan Tiongkok dan Eropa, serta negara kawasan Asia, sehingga menciptakan ketidakpastian ekonomi dan ketegangan politik global. Ketiga, imbuh Dedy, gaya komunikasinya konfrontatif, baik terhadap pemimpin negara lain maupun dalam negeri, seperti kepada BRICS, dianggap tidak sejalan dengan semangat dialog dan persaudaraan yang dijunjung tinggi Komite Nobel. 

"Sejarah peraih Nobel Perdamaian penuh dengan pemenang yang kontroversial. Keputusan akhir ada di tangan Komite Nobel Norwegia yang akan menimbang antara pencapaian konkret yang dapat diukur dan dampak keseluruhan dari kepemimpinan seorang tokoh di panggung dunia." kata lulusan Akabri Udara pada 1998 itu.

Kesimpulannya, menurut Dedy yang saat ini menjadi analis madya humas di Kemenhan, untuk mewujudkan mimpi Trump mengamankan hadiah Nobelnya dengan cara menegosiasikan kesepakatan diplomatik antara Israel dan Arab Saudi, perluasan dari Perjanjian Abraham yang gagal dicapai pemerintahan Biden. Kedua, Trump harus melakukan mediasi diplomatik dengan genjatan senjata antara Israel dan Hamas yang sampai saat ini belum berhasil. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya