Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Malala Yousafzai Desak Pemimpin Muslim Tolak Kebijakan Taliban

Gemma R Zaneta
13/1/2025 12:12
Malala Yousafzai Desak Pemimpin Muslim Tolak Kebijakan Taliban
AKTIVIS pendidikan Malala Yousafzai.(Dok. Malalafund)

AKTIVIS pendidikan Malala Yousafzai meminta para pemimpin Muslim untuk menentang kebijakan represif Taliban di Afghanistan, terutama yang melarang perempuan dan anak perempuan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.

"Taliban di Afghanistan tidak menganggap perempuan sebagai manusia," ujar Malala dalam pertemuan internasional yang digelar oleh Pakistan tentang pendidikan perempuan di negara-negara Islam.

Ia menegaskan bahwa tidak ada dasar keislaman dalam kebijakan Taliban yang membatasi hak perempuan. Malala mendesak para pemimpin dunia Islam untuk mengambil tindakan dan membela hak-hak perempuan di Afghanistan.

Malala Yousafzai, adalah wanita berusia 27 tahun yang dievakuasi dari Pakistan saat berusia 15 tahun. Ia ditembak di kepala oleh anggota Taliban karena menyuarakan pendapatnya tentang pendidikan anak perempuan.

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ini mengungkapkan rasa bahagianya bisa kembali ke tanah air. “Saya sangat gembira dan bahagia bisa kembali,” ujar Malala. Sejak insiden penembakan pada 2012, ia hanya beberapa kali mengunjungi Pakistan, termasuk kunjungan pertamanya pada 2018.

Dalam pidatonya, Malala mengkritik pemerintahan Taliban yang menurutnya kembali menciptakan "sistem apartheid gender". Ia menuduh Taliban menghukum perempuan dan anak perempuan yang berani melanggar aturan mereka dengan cara kekerasan, penahanan, bahkan penyiksaan.

Malala terus menyerukan pentingnya hak pendidikan bagi perempuan, meskipun menghadapi banyak tantangan dan ancaman selama perjuangannya.

Malala juga mengkritik pemerintahan Taliban yang menurutnya, menggunakan alasan budaya dan agama untuk menutupi pelanggaran mereka. "Mereka membenarkan kejahatan atas nama budaya dan agama, padahal tindakan mereka bertentangan dengan nilai-nilai iman kita," ujarnya.

Sementara itu, Taliban menolak memberikan tanggapan terkait pernyataan Malala. Sebelumnya, mereka mengklaim telah menghormati hak-hak perempuan berdasarkan interpretasi terhadap budaya Afghanistan dan hukum Islam.

Dalam puncak pertemuan yang diadakan oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), pemerintah Pakistan, dan Liga Muslim Dunia, serta pemimpin Taliban diundang untuk hadir, namun mereka tidak datang.

Konferensi ini dihadiri oleh puluhan menteri dan cendekiawan dari negara-negara mayoritas Muslim yang mendukung pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.

Sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada 2021, pemerintahannya belum diakui secara resmi oleh negara mana pun. Negara-negara Barat mendesak Taliban untuk mengubah kebijakan mereka yang membatasi hak perempuan.

Saat ini, Afghanistan menjadi satu-satunya negara di dunia yang melarang perempuan dan anak perempuan mengakses pendidikan menengah dan tinggi. Kebijakan ini membuat sekitar 1,5 juta orang tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka.

"Afghanistan adalah satu-satunya negara di dunia, yang melarang anak perempuan untuk mengenyam pendidikan di atas kelas enam," kata Malala pada hari Minggu.

Taliban telah berulang kali berjanji akan mengizinkan anak perempuan kembali bersekolah setelah memastikan kurikulum sesuai dengan standar "Islami". Namun, hingga kini janji tersebut belum terealisasi. Bahkan, pada Desember lalu, perempuan juga dilarang mengikuti pelatihan untuk menjadi bidan dan perawat. Hal itu menutup jalur pendidikan terakhir yang tersedia bagi mereka.

Malala juga menekankan bahwa ancaman terhadap pendidikan anak perempuan tidak hanya terjadi di Afghanistan. Ia menyebut di Gaza, sistem pendidikan hancur akibat konflik dengan Israel.

Dalam pidatonya, Malala meminta peserta konferensi untuk menyoroti pelanggaran paling serius terhadap hak pendidikan anak perempuan. Ia mengingatkan bahwa krisis di negara-negara seperti Afghanistan, Yaman, dan Sudan telah mencuri masa depan jutaan anak perempuan.
(BBC/Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya