Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar: CSP Indonesia-AS Harus Sama-sama Menguntungkan

Cahya Mulyana
16/11/2023 17:17
Pakar: CSP Indonesia-AS Harus Sama-sama Menguntungkan
Presiden Joko Widodo dan Joe Biden bersalaman dalam pertemuan di AS, 13 November 2023.(AFP)

PRESIDEN Joko Widodo telah bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam konteks perayaan hubungan diplomatik Indonesia-AS ke-75 Tahun dan peningkatan status menjadi Kemitraan Komprehensif Strategis (CSP). 

Pertemuan yang dilangsungkan di Washington D.C. ini menghasilkan beberapa kerja sama baru.

Menurut Peneliti Departemen Ekonomi Center Strategic for Internasional Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi mengatakan Peningkatan status ini perlu dimaknai sebagai upaya AS menjalankan strategi Indo-Pasifik terutama di tengah kontestasi antara AS-Tiongkok. 

Baca juga : Indonesia – Amerika Serikat Sepakat Tingkatkan Kemitraan Menjadi CSP

Ia menegaskan, status CSP penting bagi Indonesia, tetapi jauh lebih penting lagi operasionalisasi CSP tersebut menjadi inisiatif-inisiatif konkrit.

"Sejauh ini, belum tampak banyak inisiatif baru terutama jika dibandingkan Vietnam. CSP dengan Indonesia merupakan yang kedua di kawasan setelah dengan Vietnam," katanya dalam Media Briefing bertajuk Menelaah Hasil Pertemuan Bilateral Presiden Joko Widodo dan Presiden Joe Biden, di Jakarta, Kamis (16/11).

Baca juga : Presiden Jokowi untuk Pertama Kalinya Berpidato di Universitas di AS

Menurut dia terdapat tiga perbedaan besar antara lain yang pertama CSP Vietnam memiliki inisiatif lebih konkrit dan strategis dibandingkan Indonesia. CSP Vietnam menggunakan termin waktu lebih spesifik untuk beberapa kerangka strategis.

CSP Vietnam lebih banyak diisi oleh partisipasi sektor swasta AS. Dari sisi ekonomi, Indonesia pun masih belum menjadi mitra yang strategis bagi AS

Dalam dekade terakhir, lanjut Dandy, nilai perdagangan Indonesia dan AS masih berada di bawah potensinya. Pada 2022 nilai perdagangannya mencapai 40 miliyar dollar AS atau hanya sekitar 0,7% dari total perdagangan Amerika Serikat.

Hal ini berbeda dengan Vietnam. Beberapa alasan kinerja perdagangan Vietnam antara lain karena Vietnam memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan AS, manajemen tata kelola perdagangan internasional dan fasilitasi perdagangan yang lebih baik.

 

Investor AS masih terkonsentrasi di migas

Dari sisi investasi, kata Dandy, investor AS masih terkonsentrasi di sektor migas dan pertambangan. Misalnya dibandingkan dengan Tiongkok yang cukup agresif dalam melakukan penanaman modal langsung di sektor-sektor strategis dari infrastruktur hingga manufaktur.

Tiongkok memiliki landmark dalam hal kerja sama ekonomi seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang merupakan salah satu hasil dari Belt and Road Initiatives (BRI) Tiongkok. Dalam kondisi meningkatnya tren derisking AS-Tiongkok, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan manfaat dari restrukturisasi rantai pasok global.

"Bersama empat negara lainnya, Indonesia disebut menjadi connectors atau penghubung dalam fragmentasi perekonomian global. Tiga hal yang menjadi syarat dalam merealisasikan peluang ini yaitu anatara lain kemudahan investasi, kinerja logistik dan fasilitasi perdagangangan baik ekspor maupun impor," paparnya.

Salah satu indikator yang dapat dilihat antara lain backward value chain participation Indonesia yang masih perlu ditingkatkan karena cukup rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Peranan platform-platform kerja sama ekonomi internasional seperti IPEF juga menjadi penting dalam memastikan kesamaan standard antara negara anggota terkait dengan lingkungan, tenaga kerja hingga transparansi termasuk APEC dan OECD.

 

Wspadai potensi politik dalam negeri AS

Dalam jangka pendek, kata Dandy, sudah dapat dipastikan bahwa prioritas pemerintah AS adalah memperkuat perekonomian domestik terlebih lagi pemilihan presiden yang juga akan berlangsung tahun depan.

"Indonesia juga harus mewaspadai potensi perubahan domestik politik yang dapat merubah arah kebijakan ekonomi luar negeri AS. Misalnya ide mantan Presiden Trump untuk meningkatkan tarif impor 10% untuk semua produk yang diimpor AS apabila terpilih kembali," jelasnya.

Oleh sebab itu, kata Dandy, sangat penting bagi Indonesia untuk dapat lebih pro-aktif untuk menindaklanjuti hasil-hasil perundingan tersebut. Peluang yang disebutkan di atas datang dengan risiko yang sebanding bagi Indonesia untuk tidak terjebak dalam persaingan strategis AS dan Tiongkok.

"Oleh sebab itu, strategi terbaik adalah menggunakan momentum kerja sama ekonomi ini untuk melakukan reformasi dalam fasilitasi dan kebijakan perdagangan hingga perbaikan kinerja logistik," tegasnya.

Pada kesempatan sama Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Muhammad Habib menjelaskan kerja sama Indonesia-AS belum mencapai kesepakatan mineral kritis yang signifikan selain nota kesepahaman pengembangan kerja sama teknis. Tidak ada akses pasar untuk mineral Indonesia yang dijamin.

Maka, kata dia, perlu juga percepatan implementasi konkret dari Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Mengingat ketidakpastian dari hasil pemilihan presiden AS mendatang dan dinamika geopolitik yang ada.

Indonesia juga perlu mengelola ekspektasi dan memenuhi tanggung jawabnya terlebih dahulu terkait rantai pasok mineral kritis agar lebih ramah iklim, menghargai HAM tenaga kerja tambang, kepastian hukum, tata kelola transparan, diversifikasi investasi. Dari sisi keamanan dan pertahanan, Indonesia masih belum menjadi mitra yang strategis bagi AS.

 

CSP belum berikan jaminan

CSP belum memberikan jaminan bantuan peningkatan peningkatan kapabilitas militer Indonesia, sehingga perlu dielaborasi lebih jauh. Capaian yang direncanakan dalam pertemuan kedua pemimpin hanya intensi untuk meningkatkan nota kesepahaman untuk keamanan siber dan kontraterorisme, rencana kerja bersama untuk keamanan maritim, serta pengaturan kerja sama pertahanan baru.

"Sedangkan capaian selama satu tahun ke belakang tercatat peningkatan peserta dan aktivitas Latihan Bersama Super Garuda Shield 2023, serta pelaksanaan Pertemuan 2+2 Pertama tingkat Pejabat Senior kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan Indonesia-AS.

"CSP juga tidak banyak mencakup isu keamanan non-tradisional lainnya yang mendesak dan justru mungkin merubah lanskapnya secara dramatis. Beberapa di antaranya adaptasi postur pertahanan, kesiapan militer, interoperabilitas alutsista terhadap dampak kemajuan teknologi berkembang (emerging technologies), perubahan iklim, dan proliferasi nuklir," pungkasnya. (Z-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya