KUNJUNGAN Ketua DPR Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi, ke Taiwan merupakan komitmen politik pemerintahan Negeri Paman Sam.
"Kunjungan ke Taiwan wajib bagi seluruh pejabat pemerintahan AS, siapa pun presiden yang memimpin. Termasuk bagi Pelosi. Kunjungan ini, sesingkat apapun, melambangkan kepemimpinan global dan komitmen global AS," ungkap pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah, Rabu (3/8).
Menurutnya, kunjungan tersebut direstui Presiden AS Joe Biden. Sekalipun, ancaman keamanan sangat besar bagi Pelosi. Kemampuan dan kekuatan perang Tiongkok diketahui meningkat tajam secara kualitas maupun kuantitas, seiring kemajuan perekonomiannya.
"Semua perkembangan ini adalah risiko yang AS harus hadapi. Baik secara mandiri maupun bersama sekutu utamanya di Indo-Pasifik," imbuh Teuku.
Dia berpendapat konflik terbuka antara Tiongkok dan Taiwan sulit terjadi. Sebab, kedua pihak dalam kondisi siaga penuh dan siap saling menghancurkan. "Termasuk AS yang siap mendukung Taiwan, dengan melibatkan para sekutunya dalam AUKUS dan Quad," jelasnya.
Kendati demikian, tensi politik dan keamanan di kawasan tersebut sedang memanas, dengan kehadiran sejumlah perangkat tempur milik Tiongkok dan AS. "Tetapi, tidak menuju perang. Tindakan maksimal yang Tiongkok dapat lakukan adalah blokade laut atas Taiwan," ujar Teuku.
"Serta mengancam negara mana pun, termasuk ASEAN, untuk tidak ikut campur dalam urusan Tiongkok-Taiwan," sambungnya.
Dalam suasana tegang ini, dukungan AS ke Taiwan adalah diplomatik, ekonomi dan militer. Secara diplomatik, mendorong unifikasi Tiongkok-Taiwan secara damai dan tanpa kekerasan. Indonesia harus bersikap atas kondisi tersebut. Pasalnya, wilayah Indonesia tidak jauh dari Teluk Taiwan yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.(OL-11)