Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

PBB: Taliban Berada di Balik 72 Pembunuhan di Luar Proses Hukum

Atikah Ishmah Winahyu
15/12/2021 10:30
PBB: Taliban Berada di Balik 72 Pembunuhan di Luar Proses Hukum
Seorang pejuang Taliban berjaga di Jalalabad, Afghanistan.(AFP/WAKIL KOHSAR)

PBB mengatakan diduga ada lebih dari 100 pembunuhan di luar proses hukum di Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, Agustus lalu, dengan sebagian besar dilakukan penguasa baru negara itu.

Wakil kepala hak asasi PBB Nada Al-Nashif mengatakan dia sangat khawatir dengan berlanjutnya laporan pembunuhan semacam itu, meskipun ada amnesti umum yang diumumkan Taliban setelah pengambilalihan kekuasaan pada 15 Agustus.

"Antara Agustus dan November, kami menerima tuduhan yang kredibel tentang lebih dari 100 pembunuhan mantan pasukan keamanan nasional Afghanistan dan lainnya yang terkait dengan pemerintah sebelumnya," katanya kepada Dewan HAM PBB, Selasa (14/12).

"Setidaknya 72 dari pembunuhan ini, dikaitkan dengan Taliban.”

Baca juga: AS Hingga UE Kecam Taliban Atas Pembunuhan Mantan Pasukan di Afghanistan

"Dalam beberapa kasus, jenazah-jenazah itu dipamerkan di depan umum. Ini memperburuk ketakutan di antara kategori populasi yang cukup besar ini," imbuhnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taliban Abdul Qahar Balkhi, Selasa (14/12), mengatakan pemerintah berkomitmen penuh pada keputusan amnesti dan membantah pegawai pemerintahan sebelumnya dianiaya.

“Siapa pun yang ditemukan melanggar keputusan amnesti akan dituntut dan dihukum,” katanya.

"Insiden akan diselidiki secara menyeluruh tetapi rumor yang tidak berdasar tidak boleh dianggap begitu saja,” tuturnya.

Al-Nashif, yang mempresentasikan pembaruan ke dewan atas nama kepala hak asasi PBB Michelle Bachelet, mengatakan banyak anggota Negara Islam di Irak dan Suriah, kelompok Khorasan (ISIS-K) yang merupakan musuh utama Taliban, juga telah terbunuh.

"Di Provinsi Nangarhar saja, tampaknya ada pola setidaknya 50 pembunuhan di luar proses hukum terhadap individu yang diduga anggota (ISIS-K)," katanya, dengan laporan metode pembunuhan yang brutal termasuk hukuman gantung, pemenggalan kepala, dan pertunjukan jenazah di depan umum.

Komentarnya muncul setelah Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain mengecam keras Taliban menyusul laporan Human Rights Watch (HRW) awal bulan ini yang mendokumentasikan 47 ringkasan eksekusi.

Pembunuhan itu terjadi pada mantan anggota Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan, personel militer lainnya, polisi, dan agen intelijen yang telah menyerah atau ditangkap pasukan Taliban dari pertengahan Agustus hingga Oktober, menurutnya.

Juru bicara Taliban Qari Sayed Khosti dengan tegas menolak laporan HRW dan klaim lain tentang pembunuhan di luar proses hukum tidak berdasarkan bukti.

Dia mengatakan ada beberapa kasus mantan anggota Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan yang sekarang tidak berfungsi yang telah terbunuh, tetapi itu karena persaingan dan permusuhan pribadi.

Dalam pembaruannya, Selasa (14/12), Al-Nashif melukiskan gambaran menyedihkan dari krisis kemanusiaan yang mendalam di Afghanistan, dengan mengatakan banyak orang didorong untuk mengambil tindakan nekat untuk bertahan hidup, termasuk pekerja anak dan bahkan dilaporkan penjualan anak.

PBB mengatakan lebih dari 23 juta warga Afghanistan atau lebih dari setengah populasi, akan menghadapi kekurangan pangan akut di bulan-bulan musim dingin, memaksa jutaan orang untuk memilih antara migrasi dan kelaparan.

Program Pangan Dunia PBB, Selasa (14/12),  mengatakan survei terbaru memperkirakan bahwa 98% warga Afghanistan tidak mengonsumsi cukup makanan atau naik 17 poin persentase sejak Agustus.

"Afghanistan menghadapi longsoran kelaparan dan kemelaratan yang belum pernah saya lihat sebelumnya," kata direktur negara Afghanistan Mary-Ellen McGroarty dalam sebuah pernyataan.

Krisis ini disebabkan oleh efek gabungan dari kekeringan yang disebabkan oleh pemanasan global dan krisis ekonomi yang diperparah oleh keputusan komunitas internasional untuk membekukan dana bagi negara yang bergantung pada bantuan itu setelah pengambilalihan Taliban.

Al-Nashif memperingatkan pilihan kebijakan sulit yang dibuat negara-negara anggota pada saat kritis ini, untuk mencegah keruntuhan ekonomi, secara harfiah hidup dan mati.

Dia menyuarakan keprihatinan khusus atas pembatasan ketat yang ditempatkan pada perempuan dan anak perempuan sejak pengambilalihan Taliban, meskipun mereka menjanjikan aturan yang lebih lembut dibandingkan dengan tugas pertama mereka berkuasa pada 1990-an.

Dekrit tersebut secara krusial tidak menyebutkan pendidikan menengah anak perempuan atau pekerjaan perempuan, yang telah dilarang kembali bekerja di sektor publik.

"Penghormatan dan perlindungan otoritas de facto atas hak-hak dasar dan kebebasan semua orang di Afghanistan, tanpa diskriminasi, merupakan bagian integral untuk memastikan stabilitas," tandas Al-Nashif. (Straitstimes/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya