Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

PBB: 400.000 Anak di Yaman Terancam Meninggal akibat Kelaparan

Atikah Ishmah Winahyu
13/2/2021 17:20
PBB: 400.000 Anak di Yaman Terancam Meninggal akibat Kelaparan
Wanita Yaman duduk di tempat tidur bersama gadis bernama Ahmadia Abdo, 10, yang beratnya 10 kilogram karena kekurangan gizi akut.(AFP/Essa Ahmed.)

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa hampir setengah juta anak di bawah lima tahun di Yaman terancam meninggal dunia jika tidak segera mendapatkan perawatan. Lantas sekitar 50% dari semua balita di negara itu menghadapi kekurangan gizi akut tahun ini.

Dalam pernyataan bersama, Badan Anak, Makanan, Kesehatan, dan Pertanian PBB mengatakan bahwa pada  2021 sebanyak 2,3 juta balita atau setengah dari jumlah balita di negara itu akan kelaparan tahun ini. Jumlah tersebut meningkat 16% dibandingkan pada 2020.

Dari angka itu, 400.000 balita diperkirakan menderita malanutrisi akut parah. Ini berarti mereka bisa meninggal jika tidak segera ditangani. Angka itu meningkat 22% dari angka pada tahun lalu.

Kombinasi bencana konflik, pandemi virus korona, dan perubahan iklim telah melanda Yaman. Sebanyak 80% dari 30 juta penduduk sekarang bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.

Pembicaraan damai antara pemerintah yang didukung Teluk dan pemberontak Houthi yang didukung Iran di utara telah terhenti, saat konflik memasuki tahun ketujuh.

Badan-badan PBB sekarang telah memperingatkan bahwa 2021 akan memiliki tingkat malanutrisi akut parah tertinggi yang tercatat sejak dimulainya konflik. Mereka menyoroti daerah yang dilanda perang seperti Hodeida, Aden, Hajjah, dan Taiz sebagai yang paling terpukul.

Para ibu juga terkena dampaknya. Sekitar 1,2 juta wanita hamil atau menyusui di Yaman diperkirakan akan mengalami kekurangan gizi akut.

Para kepala badan PBB menyerukan untuk segera mengakhiri konflik yang merupakan faktor pendorong utama di balik kehancuran tersebut. "Meningkatnya jumlah anak yang kelaparan di Yaman seharusnya mengejutkan kita semua untuk bertindak," kata Henrietta Fore, direktur eksekutif badan anak PBB Unicef.

"Lebih banyak anak akan meninggal dengan setiap hari berlalu tanpa tindakan," tambahnya.

Kepala Program Pangan Dunia, David Beasley, menambahkan, "Krisis di Yaman adalah campuran konflik yang berbahaya, keruntuhan ekonomi, dan kekurangan dana yang parah untuk memberikan bantuan penyelamatan jiwa yang sangat dibutuhkan."

Perang meletus di Yaman bermula dari pengambilalihan Houthi di negara itu pada akhir 2014. Ini memaksa pemerintah Abdrabbuh Mansur Hadi untuk melarikan diri.

Tetangga Teluk Yaman yang kuat, termasuk Arab Saudi dan UEA, meluncurkan kampanye pengeboman pada Maret 2015 untuk mencoba memasang kembali pemerintahan lama. Akan tetapi enam tahun kemudian cuma ada sedikit harapan untuk mengakhiri konflik.

Diperkirakan 100.000 orang tewas dalam pertempuran itu. Hal tersebut memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia dalam hal jumlah.

Terlepas dari gawatnya krisis, PBB mengatakan bahwa tanggapan kemanusiaan ke Yaman tetap tidak didanai. Tahun lalu mereka hanya mampu mengamankan lebih dari 50% dari dana US$3,4 miliar yang dibutuhkan untuk menjalankan program mereka, beberapa di antaranya ditutup karena kekurangan dana.

Menurut PBB, Yaman menjadi salah satu tempat paling berbahaya di dunia untuk tumbuh kembang anak. Sistem perawatan kesehatan negara yang hancur sedang berjuang untuk mengatasi malanutrisi serta berbagai epidemi termasuk kolera, selain virus korona.

Save the Children, yang mendukung anak-anak kelaparan di Yaman, mendesak Inggris untuk meningkatkan jumlah bantuan penyelamatan nyawa. Denisa Delic, kepala kelompok Inggris, mengatakan, skala kebutuhan di sana tidak terbayangkan.

Direktur Save the Children untuk Yaman, Xavier Joubert, menyambut baik upaya AS untuk secara proaktif menyelesaikan konflik termasuk menangguhkan penjualan senjata ke negara-negara Teluk yang terlibat. Ia pun meminta negara lain untuk mengikuti AS.

Seorang ibu yang putus asa di Taiz mengatakan kepada kelompok hak-hak anak global bahwa alasan utama anaknya menderita kekurangan gizi akut yang parah karena melonjaknya harga pangan dalam konflik tersebut. “Dulu saya membelikannya botol susu seharga 3.000 YER (US$12) sekarang saya membelinya seharga 4.000 YER (US$16). Kami menderita karena tidak mampu membeli susu dan kebutuhan lain," kata perempuan bernama Safiya itu.

"Semua anak sakit. Saya benar-benar kehilangan harapan. Terkadang anak-anak saya tidur tanpa makan malam atau air," tandasnya. (Independent/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya