Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
KEPUTUSAN Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menarik diri dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak hanya berdampak pada negaranya sendiri.
Salah satu negara yang turut terdampak ialah Taiwan, lantaran pulau yang diklaim milik Tiongkok itu tengah berjuang untuk kembali bergambung bersama WHO. Dikutip South China Morning Post, AS merupakan negara kuat yang selama ini mendukung Taiwan. Namun, dengan keputusan mundur dari WHO, akan semakin mempersulit langkah pemerintah Taipei ke depan.
Yen Chen-shen, peneliti senior di Institut Hubungan Internasional Universitas Nasional Cheng Chi, mengatakan Taipei telah mengandalkan Washington terkait dengan penawaran bergabung dalam Dewan Kesehatan Dunia(WHA/World Health Assembly). Taiwan dinilai berhasil
menangani penyebaran virus dari Tiongkok daratan.
“Ini sangat memalukan. Pemerintah Tsai telah menganggap AS sebagai mitra yang dapat diandalkan dan ramah sejak Donald Trump menjadi presiden pada 2017 dan memilih untuk bersekutu dengan Taiwan dalam menghadapi Beijing,” kata Yen seperti dilansit SCMP.
Menurutnya, meski kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik resmi, Washington telah menunjukkan dukungan kuat untuk Taipei di panggung global. Salah satunya adalah menyerukan agar Taiwan diberi status pengamat di WHA menjelang pertemuan terakhir pada Mei.
Soroti penyelidikan awal
Sementara itu, misi WHO ke Tiongkok untuk menyelidiki asal-usul penyakit covid-19 menjadi kesempatan untuk membuka kepada publik terkait bukti yang sudah dikumpulkan para ilmuwan negara tersebut. Mengingat, bukti penelitian awal belum dibuka secara luas oleh otoritas di Beijing kepada ilmuwan internasional.
Dikutip South China Morning Post, ahli epidemiologi hewan Dirk Pfeiffer, profesor di Universitas Kota Hong Kong, mengharapkan data penelitian bisa dibuka secara transparan sehingga semua ilmuwan di dunia bisa bekerja bersamasama dengan maksimal.
“Saya harapkan laporan bisa diterbitkan. Dengan setiap wabah, ada laporan yang memberi tahu Anda apa yang telah dilakukan, apa yang salah, dan apa yang disimpulkan secara transparan,” ujar Pfeiffer seperti dilansir SCMP.
Dia berharap, pertemuan tatap muka antara ilmuwan Tiongkok dan internasional dapat membantu memfasilitasi komunikasi tentang penelitian Tiongkok di masa lalu dan yang sedang berlangsung.
Hal itu di luar apa yang telah diterbitkan dalam jurnal internasional dan online yang dinilai belum transparan. Para ilmuwan mengatakan hasil penelitian yang dirilis Tiongkok tidak cukup.
Spesialis dalam epidemi penyakit menular di Universitas Georgetown di AS, Daniel Lucey, menilai ada kesenjangan informasi yang diidentifikasi. “Mereka belum mengatakan hewan apa yang dijadikan sampel atau tes apa yang mereka lakukan, apakah (hewan) diuji di tenggorokan atau kulit atau hidung atau darah, tidak ada yang disampaikan dan mengapa tidak?” kata Lucey. (SCMP/I-1)
Penelitian terbaru mengungkap infeksi flu biasa atau rhinovirus mampu memberi perlindungan jangka pendek terhadap covid-19.
PASCAPANDEMI, penggunaan masker saat ini mungkin sudah tidak menjadi kewajiban. Namun demikian, penggunaan masker nyatanya menjadi salah satu benda penting untuk melindungi diri.
Pengurus IDI, Iqbal Mochtar menilai bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap vaksin berbasis Messenger Ribonucleic Acid (mRNA) untuk covid-19 merupakan hal yang wajar.
Teknologi vaksin mRNA, yang pernah menyelamatkan dunia dari pandemi covid-19, kini menghadapi ancaman.
Menteri Kesahatan AS Robert F. Kennedy Jr. membuat gebrakan besar dengan mencabut kontrak dan membatalkan pendanaan proyek vaksin berbasis teknologi mRNA, termasuk untuk covid-19.
PEMERINTAH Amerika Serikat membekukan dana sebesar 500 juta dolar AS yang dialokasikan untuk proyek vaksin mRNA produksi produsen bioteknologi CureVac dan mitranya, Ginkgo Bioworks.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved