Pasar Menanti Kesepakatan Dagang Fase 1 AS-Tiongkok

Fetry Wuryasti
11/11/2019 11:34
Pasar Menanti Kesepakatan Dagang Fase 1 AS-Tiongkok
Kontainer-kontainer yang berada di Pelabuhan Los Angeles, California, AS. Volume kargo mengalami penurunan 18% pada Oktober 2019.( AFP/Mario Tama)

SELAMA sepekan ke depan pasar masih akan diwarnai kepastian pemotongan tarif menjelang kesepakatan perang dagang fase pertama.

Juru bicara Kementerian Perdagangan Tiongkok dan pejabat Amerika Serikat (AS), mengatakan AS dan Tiongkok telah bersepakat untuk membatalkan beberapa tarif dan lebih dekat dengan perjanjian perdagangan fase pertama.

Rencana tersebut dikabarkan menghadapi pertentangan dari internal Gedung Putih. Dalam sambutannya kepada wartawan di Gedung Putih, Presiden Donald Trump mengatakan dia belum setuju melakukan penundaan tarif impor yang dituntut pihak  Tiongkok.

Sebenarnya masalah dibicarakan kedua negara perkirakan lebih fokus pada perlindungan kekayaan intelektual, manipulasi mata uang dan neraca perdagangan.

Awal pekan pasar sempat melemah setelah ada laporan yang menyebutkan Presiden Donald Trump dan pemimpin Tiongkok Xi Jinping kemungkinan tidak akan bertemu untuk menandatangani kesepakatan perdagangan sampai Desember 2019.

Pertemuan antara Trump dan Xi dapat ditunda karena kedua belah pihak masih perlu memutuskan sejumlah persyaratan dan tempat untuk melakukan pertemuan.

Tiongkok mengiginkan AS untuk menghapus lebih banyak tarif impor senilai US$125 miliar yang dikenakan pada September 2019 sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan 'fase pertama'. Namun hal keinginan Tiongkok tersebut belum dapat disepakati Trump.

Ekonom PBB mengatakan perang perdagangan Tiongkok-AS adalah situasi yang merugikan kedua negara dan dunia.

Perang dagang diperkirakan menelan biaya US $35 miliar bagi Tiongkok pada paruh pertama tahun ini, sementara konsumen dan perusahaan AS menanggung beban terberat dari tarif yang lebih mahal.

"Berangkat dari hal ini kami perkirakaan AS dan Tiongkok akan terus berusaha mencari solusi masalah perdagangan kedua negara," ujar Direktur PT. Anugerah Mega Investama, Hans Kwee, Senin (11/11).

Pernyataan IMF mengatakan pertumbuhan ekonomi zona euro akan melambat lebih dari perkiraan karena krisis manufaktur dapat meluas ke sektor jasa akibat ketegangan perdagangan global.

Rilis indeks aktivitas sektor jasa Jerman hampir tidak tumbuh pada Oktober 2019, sementara aktivitas bisnis zona euro berkembang sedikit lebih cepat dari ekspektasi tetapi tetap dekat dengan zona stagnasi.

Zona euro berisiko mengalami perlambatan ekonomi membuat pasar modal kawasaran tersebut cenderung tertekan.

Data cadangan devisa Indonesia naik menjadi US$126,7 miliar, dari sebelumnya US$124,3 miliar. Kenaikan cadangan devisa merupakan indikasi positif bagi perekonomian.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi RI di periode tersebut sebesar 5,02%. Angka ini melampaui perkiraan konsensus para analis sebesar 5%. Data ekonomi Indonesia masih positif.

"Data Indonesia masih cukup baik tetapi pasar akan berhati-hati menanti perkembangan perang dagang dan peluang ekonomi dunia memasuki periode resesi. Indeks harga saham gabungan ( IHSG) kami perkirakan berpeluang konsolidasi menguat dengan support di level 6.139 sampai 6.100 dan resistance di level 6.200 sampai 6.240," tutup Hans Kwee. (OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya