Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
WAHANA Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah Indonesia masih bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian menyebut bahwa pemerintah saat ini masih belum menunjukkan langkah progresif dalam mencegah terjadinya kebakaran secara sistemik.
"Penanganan karhutla di beberapa wilayah pada saat ini sebenarnya masih business as usual. Jadi masih dengan cara biasa-biasa saja, tidak ada yang secara progresif bisa menjawab akar persoalan dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri," kata Uli saat dihubungi, Senin (28/7).
Menurutnya, upaya pemerintah saat ini masih berfokus pada penanggulangan kebakaran setelah titik panas (hotspot) muncul secara masif, seperti melalui modifikasi cuaca dan pemadaman api.
Ia mengatakan, meskipun langkah tersebut dapat menekan perluasan api, namun tidak menjawab akar permasalahan kebakaran itu sendiri.
"Kalau akar persoalan kebakaran hutan dan lahan itu tidak pernah dijawab oleh pemerintah, maka tahun depan dan tahun-tahun berikutnya bahkan sampai 15 tahun ke depan kita tetap akan selalu membahas soal kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah juga akan tetap terus mengeluarkan biaya besar untuk penanganan kebakaran," ujarnya.
Di sisi lain, Uli menilai bahwa akar persoalan karhutla terletak pada salah urus pemerintah terhadap kawasan hutan dan gambut. Kesalahan ini muncul dalam bentuk pemberian izin dalam skala besar kepada perusahaan, terutama di dua ekosistem penting tersebut.
"Izin yang diterbitkan itu berbentuk izin sawit atau hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit, atau sekarang dikenal dengan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan). Izin-izin ini diberikan kepada perusahaan untuk membuka lahan secara besar-besaran, termasuk di kawasan hidrologis gambut," jelasnya.
Tak hanya itu, WALHI juga menemukan adanya indikasi pembakaran lahan secara sengaja oleh perusahaan untuk efisiensi biaya pembukaan lahan, termasuk modus lain seperti untuk mengklaim asuransi.
"Dalam catatan WALHI, ada sembilan ratusan korporasi yang saat ini beroperasi di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Dan ratusan perusahaan ini tidak pernah dievaluasi oleh pemerintah. Beberapa di antaranya bahkan menjadi residivis, lahannya berulang kali terbakar," ucapnya.
Uli menyebut praktik tersebut masih banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan, namun belum ada penegakan hukum yang berarti terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
"Bahkan, putusan pengadilan yang sudah inkrah pun belum dieksekusi oleh pemerintah," tuturnya.
Lebih lanjut, pada tahun ini, WALHI daerah di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan telah melakukan pemetaan hotspot yang kemudian di overlay dengan izin konsesi perusahaan. Hasilnya menunjukkan sebagian besar titik api berada di dalam kawasan konsesi.
"Misalnya di Jambi, dari 60 titik panas yang kami temukan, 23 di antaranya berada di kawasan ekosistem gambut. Sementara 33 titik lainnya berada di wilayah izin PBPH seperti hutan tanaman industri dan restorasi ekosistem," jelasnya.
Temuan serupa juga terjadi di Riau, di mana dalam sebulan terakhir terjadi peningkatan hotspot.
"Kami mencatat ada 310 titik panas di 9 kabupaten/kota di Riau. Sebanyak 42 titik panasnya berada di wilayah korporasi, baik di konsesi PBPH maupun HGU," tambahnya.
Oleh karena itu, Uli menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab terkait bencana karhutla ini, terutama Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan juga Kementerian ATR/BPN.
Menurutnya, kedua instansi itu harus melakukan evaluasi dan pencabutan izin terhadap perusahaan yang berulang kali terlibat dalam kebakaran.
"Kalau tidak dilakukan evaluasi dan pencabutan izin, maka ini akan terus berulang. Pemerintah seolah hanya menjadi pemadam kebakaran. Saat hotspot meningkat, barulah mulai menyiram dan memodifikasi cuaca, padahal biaya itu sangat mahal," katanya. (H-3)
Masyarakat NTT diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi angin kencang yang bersifat kering. Angin kencang ini berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.
"Saya lihat dari tahun 2014 sampai tahun ini, kasus-kasus kebakaran hutan ini sudah sangat menurun sekali. Sudah menurun hampir 80-85 persen," kata Gibran.
Kedua unit pesawat water bombing tersebut merupakan bantuan dari BNPB yang mendarat di Kota Jambi Sabtu (26/7) kemarin.
ANGGOTA Komisi V DPR RI Novita Wijayanti mendorong peningkatan frekuensi modifikasi cuaca di wilayah rawan, percepatan penanganan titik api, serta evaluasi berkala
pemerintah seharusnya bisa lebih tegas memberikan hukuman kepada korporasi maupun individu pelaku pembakaran hutan atau lahan gambut di berbagai daerah.
Kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan apalagi jika dibarengi dengan hilangnya kekayaan biodiversitas.
"Karena Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil, kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K,"
Walhi sebut pertambangan, baik yang berizin maupun tidak akan berdampak pada manusia dan lingkungan. Hal itu disampaikan merespons tambang nikel di Raja Ampat
MANAJER Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Walhi, Uli Artha Siagian, mengatakan bahwa tambang di Raja Ampat merupakan gambaran dari sebagian besar pulau-pulau kecil dan pesisir.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melaporkan 47 korporasi perusak lingkungan dan juga terindikasi melakukan korupsi sumber daya alam (SDA) ke Kejaksaan Agung.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved