Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
ANGGOTA Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendesak pemerintah segera mengeluarkan aturan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Hal itu ia sampaikan menanggapi kasus perundungan dan polemik pendidikan di dunia program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Menurutnya, undang-undang ini sudah mengatur banyak norma terkait pendidikan kedokteran.
“Sehingga tidak perlu mengubah undang-undang Pendidikan Kedokteran tapi cukup jalankan UU Kesehatan yang baru dan susun aturan turunannya,” kata Edy kepada Media Indonesia di Jakarta pada Selasa (3/9).
Baca juga : Kolegium Perlu Susun Standar Pendidikan Profesi untuk Berantas Perundungan PPDS
Politisi PDI Perjuangan itu mencontohkan beberapa pasal soal pendidikan kedokteran yang sudah ada di UU Kesehatan. Terkait profesi kedokteran dan tenaga kesehatan misalnya, sudah diatur dalam Pasal 209.
“Terkait standar kompetensi pendidikan dokter juga sudah diatur dalam UU yang sama, yakni pada Pasal 220,” jelas legislatif dari Dapil Jawa Tengah III ini.
Edy menekankan bahwa pemerintah harus segera menerbitkan aturan turunan UU Kesehatan. Pada rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan pekan lalu, pemerintah menjanjikan akan menyelesaikan aturan turunan itu segera.
Baca juga : Kasus Melebar, Muncul Dugaan Pelecehan Seksual di PPDS Anestesi Undip
“Saya menunggu realisasi itu. Termasuk aturan turunan soal konsil dan kolegium,” ujarnya.
Edy menyebut bahwa kolegium bisa menyusun standar kompetensi tenaga kesehatan dan tenaga medis, termasuk standar pendidikan.
“Kolegium ini bersifat independen dan terdiri dari guru besar dan para spesialis atau sub spesialis,” ujar Politisi PDI Perjuangan itu.
Baca juga : Rektor Undip Ajak Semua Pihak Evaluasi Sistem Pendidikan Kesehatan
Menurut Edy peran kolegium memiliki tugas pokok dan tanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi, standar kompetensi profesi, lalu proses pembelajaran pendidikan profesi dan spesialis.
“Selain itu juga penilaian atau uji kompetensi nasional pendidikan profesi dan spesialis. Kolegium juga yang mengeluarkan sertifikat untuk calon pendidik klinis,” ucap Edy.
Lebih lanjut, Edy juga menyoroti soal sertifikasi pendidik di satuan pendidikan profesi spesialis. Menurutnya, pendidik pada program spesialis sering kali mahir di klinis tapi tidak dibekali kemampuan sebagai pendidik.
Baca juga : Rektor Unidp: Ini Momentum Evaluasi Bersama
“Pendidik pada program spesialis dari klinis yang tidak memiliki keterampilan pendidikan akan mengajar sesuai pengalamannya. Dulu diajari sama seniornya dengan dibentak-bentak, maka ketika jadi pendidik maka cara itu yang dilakukan,” katanya.
Edy pun mengusulkan agar pendidik klinis harus memiliki sertifikasi. Artinya, mereka harus belajar lagi teori pendidikan karena kemampuan klinis saja belum cukup untuk melakukan pembelajaran.
“Bagi pendidik klinis itu harus punya metode bagaimana membimbing dan mentoring mahasiswanya,” pungkasnya. (H-3)
Sidang menampilkan tiga terdakwa yaitu Taufik Eko Nugroho, Sri Maryani, dan Zara Yupita Azra
Salah satu kebijakan penting yang mulai diterapkan adalah pembatasan jam kerja peserta didik maksimal 80 jam per minggu.
RUMAH sakit pendidikan di bawah naungan Kementerian Kesehatan mulai merealisasikan pemberian insentif kepada peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Data tersebut dihimpun melalui jalur pengaduan resmi serta audit internal Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan
MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa sejak 2023, pihaknya sudah mengamati terkait perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Konsep yang disebutkan oleh Kementerian Kesehatan bahwa PPDS bisa melakukan praktik dokter umum sebenarnya merupakan konsep yang lama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved