Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

BMKG: Fenomena Tingginya Suhu Perkotaan Harus segera Ditangani

Indriyani Astuti
28/6/2024 09:56
BMKG: Fenomena Tingginya Suhu Perkotaan Harus segera Ditangani
Ilustrasi(MI/Ramdani)

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan fenomena meningkatnya suhu pada wilayah perkotaan yang dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI) harus segera ditangani. UHI merupakan tingginya temperatur daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Dalam kurun waktu 30 tahun, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan.

"UHI ini harus kita mitigasi bersama. Perlu kesadaran dan aksi nyata untuk menghadapi fenomena suhu panas ini," ujar Dwikorita dalam gelaran Workshop Urban Heat Island 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Ia menerangkan cuaca panas yang terkait dengan fenomena UHI perkotaan bervariasi tergantung pada tutupan lahan. Perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun menurutnya memperparah terjadinya UHI. Fenomena itu, kata dia, dipicu oleh beberapa faktor diantaranya struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca.

Baca juga : El Nino dan La Nina, Bedanya Dimana?

Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, termasuk dalam 20% kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar. Permukaan yang kedap air dan lebih sedikit vegetasi akan menambah efek dari UHI tersebut.

Mengutip Badan Meteorologi Dunia (WMO), Dwikorita menuturkan 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat celsius di atas zaman pra industri. Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris tahun 2015. Dalam perjanjian tersebut, negara-negara di dunia sepakat untuk berupaya menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat celsius. Namun, pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan bencana gelombang panas (heat wave) ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.

"Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata," tuturnya.

Baca juga : BMKG Sebut Cuaca Panas akan Menurun Secara Gradual pada Bulan Mei 2023

Oleh karena itu, menurutnya mitigasi dari dampak perubahan iklim dan pemanasan global harus dilakukan secara bersama-sama melibatkan seluruh komponen masyarakat, tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, dan lain sebagainya termasuk anak-anak muda.

Dwikorita menjelaskan hal yang dilakukan BMKG yakni monitoring secara sistematis dan berkesinambungan, agar analisis untuk prediksi dan proyeksi puluhan hingga seratus tahun kedepan dapat dihasilkan secara tepat.

"Tanpa data, analisis tidak dapat dilakukan. Kita membutuhkan data sebagai verifikasi atau asimilasi untuk membantu tugas BMKG dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Supaya tidak salah langkah, maka harus berbasis data, termasuk dalam memitigasi UHI ini," tandasnya. (Z-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya