Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus berupaya mengatasi perubahan iklim dengan mencatatkan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, NEK (Nilai Ekonomi Karbon), dan sumber daya perubahan iklim pada Sistem Registri Nasional (SRN) Pengendalian Perubahan Iklim (PPI). Langkah tersebut juga perlu dilakukan oleh para pelaku usaha perdagangan karbon di Tanah Air.
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Hari Wibowo mengungkapkan prinsip terkait penyelenggaraan NEK dan perdagangan karbon sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021.
Pelaku usaha/kegiatan dalam menghitung penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) harus sesuai prinsip Measurable, Reportable, Verifiable. Penghitungan reduksi emisi GRK harus sesuai standar nasional dalam sistem dan metoda Indonesia (SNI), merujuk kepada metodologi IPCC, dan sudah disepakati secara nasional melalui Panel Metodologi di KLHK.
Baca juga : Menteri LHK Dorong Y20 Tunjukkan Aksi Lingkungan dan Iklim Konkret
"Kompatibilitas terhadap perdagangan yang sudah terjadi sejak lama bisa dilakukan dengan penyesuaian dalam prosedur sederhana, sehingga tidak akan menyulitkan pihak-pihak pelaku perdagangan karbon," ujar Hari Wibowo melalui keterangan tertulis, Senin (4/3).
Ketika penurunan emisi GRK yang telah dihitung akan diperdagangkan, itu kemudian harus diubah ke dalam bentuk Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) melalui proses sertifikasi. SPE menjadi alat tukar yang bernilai moneter.
Selain itu, harus ada otorisasi untuk perdagangan karbon luar negeri. Sebab, berapa banyak karbon yang ke luar dan ke mana tujuan serta harga yang terjadi perlu diketahui pemerintah. Pencatatan ke luar negeri dilakukan untuk menghindari terjadinya penjualan berlebih (over selling) yang bisa menyebabkan target NDC Indonesia tidak tercapai dan terjadinya sengketa kepemilikan karbon. Sebagai contoh, adanya kontrak karbon hutan dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun yang tidak diketahui pemerintah padahal eksploitasi karbon telah terjadi tiap tahun.
Hari menjelaskan semua prosedur tersebut dilakukan agar pemerintah memiliki satu data Emisi GRK dan ketahanan iklim. Data nasional, sektor, dan subsektor inilah yang kemudian menjadi rujukan nasional dan internasional.
"Jadi fungsi SRN itu pertama sebagai dasar pengakuan pemerintah atas kontribusi penerapan NEK dalam pencapaian target NDC. Kedua, itu juga menjadi data dan informasi aksi dan sumber daya mitigasi penerapan NEK," tuturnya. (RO/Z-11)
Indonesia mengakui peran strategis ICVCM dalam menetapkan standar tinggi dalam perdagangan karbon.
MMS Group Indonesia (MMSGI) menegaskan komitmennya terhadap pelaksanaan keberlanjutan lingkungan.
PERDAGANGAN karbon dari sektor kehutanan segera diresmikan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau.
Ketidakpastian aturan, integritas pasar, dan infrasruktur menjadi hambatan Indonesia menjadi hub pasar karbon Asia Tenggara.
MENTERI Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen, mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan.
MASYARAKAT adat di pegunungan Meratus, Provinsi Kalimantan Selatan menyatakan penolakan terhadap kebijakan perdagangan karbon yang dikampanyekan pemerintah.
Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca meningkat, anggaran karbon Bumi diperkirakan akan habis dalam waktu 3 tahun ke depan.
Bagi korporasi, penerapan konsep environmental, social, and governance (ESG) menjadi hal yang semakin penting untuk bisa diimplementasikan.
Tanah tak lagi dipandang sekadar media tanam, tapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup dan benteng terakhir ketahanan pangan.
Sebanyak 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir.
"Karena Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil, kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K,"
TANTANGAN dalam mengatasi dan melakukan mitigasi bencana di dunia saat ini disebut semakin kompleks. Berbagai isu global seperti perubahan iklim hingga tekanan urbanisasi menjadi pemicunya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved