Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KEMENTERIAN Kesehatan mendorong pengobatan fitofarmaka (obat bahan alam yang teruji klinis) sebagai salah satu jenis obat yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Soalnya, sejak 1992 Kemenkes mengeluarkan pedoman soal fitofarmaka, 30 tahun berselang ada 26 fitofarmaka, tetapi belum ada satu pun yang masuk BPJS Kesehatan.
Itu disampaikan STAF Khusus Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Laksono Trisnantoro dalam diskusi terkait fitofarmaka yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (5/10/2023). Laksono mengatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menegaskan bahwa fitofarmaka bukan tergolong sebagai jamu dan obat tradisional.
Dengan status tersebut, kata dia, fitofarmaka memiliki peluang yang besar untuk digunakan secara masif dalam pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS Kesehatan. "Dengan demikian, fitofarmaka bisa menjadi bagian dari pengobatan modern dan dapat bersaing dengan obat nonherbal dengan khasiat yang sama," ujarnya.
Baca juga: 70% Masalah Stunting Bisa Diatasi dengan Meningkatkan Kompetensi Kader Posyandu
Laksono menyebutkan penggunaan fitofarmaka bisa menjadi salah satu alternatif yang lebih murah, seperti pada penyakit hipertensi dan diabetes. Industri jamu nasional saat ini diprakirakan menyentuh angka Rp20 triliun. Dengan angka tersebut, penggunaan fitofarmaka juga berpeluang mencakup segmentasi pasar BPJS dan non-BPJS.
Meskipun demikian, hingga saat ini penggunaan fitofarmaka belum menjadi jenis obat yang umum untuk diresepkan oleh dokter. Karenanya, diperlukan pemantapan dari dokter, khususnya yang berada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL) untuk dapat meresepkan obat fitofarmaka kepada pasien. Dengan demikian, penggunaan fitofarmaka dapat ditanggung oleh skema pembayaran BPJS Kesehatan. "Kemantapan perlu dimulai sejak pendidikan di Fakultas Kedokteran, apakah ada materi terkait obat herbal?" katanya.
Baca juga: Update Keilmuan, Perdosri Gelar Pertemuan Ilmiah Tahunan 2023 di Malang
Menurut Laksono, hal tersebut menjadi tantangan agar fitofarmaka dapat diterima lebih luas. UU Kesehatan mestinya menjadi pemicu yang memiliki andil besar dalam rangka memperluas cakupan fitofarmaka di Indonesia. Laksono berharap penggunaan fitofarmaka yang diresepkan dapat mempercepat pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam rangka melakukan upaya promotif dan preventif kesehatan di masyarakat. (Ant/Z-2)
Solusi defisit keuangan atau tunggakan iuran BPJS Kesehatan di Sulteng bisa dengan cara mengajukan klaim kepada pemerintah provinsi untuk pelaksanaan pembiayaan kesehatan publik.
CALON Gubernur Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil dalam debat kedua Pilakda DKI mengatakan akan menggratiskan biaya BPJS hingga 100% bagi warga Jakarta yang tidak mampu.
Hal itu agar para peserta dapat memenuhi kebutuhan mereka tanpa harus datang ke kantor cabang terdekat, terutama pada masa pandemi.
Opsi penaikan iuran diambil karena ada estimasi defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp32,8 tiliun pada 2019.
BPJS Kesehatan telah meminta 92 rumah sakit untuk mengembalikan selisih biaya klaim layanan yang sudah dibayarkan.
Biaya Penyakit Kronis yang ditanggung BPJS.
BADAN POM berharap produk obat herbal dapat masuk dalam daftar obat rujukan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Fitofarmaka sudah dikategorikan sebagai obat atau obat yang berasal dari bahan alam yang sudah teruji klinis sama khasiatnya dengan obat dari sintesa kimia.
Jamu tidak memerlukan studi dalam proses produksi dan berdasarkan resep turun temurun. Sedangkan obat-obatan fitofarmaka harus melalui proses studi dan uji klinik.
Fitofarmaka diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan impor dalam industri farmasi tanah air.
Plt Kepala Badan POM Taruna Ikrar mengatakan produksi obat fitofarmaka atau herbal yang sudah teruji potensial untuk dikembangkan di tengah masalah mahalnya harga obat konvensional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved