Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ANGGOTA tim advokasi Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), Awan Puryadi, menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mencla-mencle dalam tanggung jawabnya memberikan ganti rugi kepada korban GGAPA.
Awan mengatakan korban GGAPA sebelumnya sempat menaruh harapan kepada pemerintah karena sebelumnya disampaikan akan ada santunan atau ganti rugi untuk korban. Namun, kenyataanya hingga detik ini tidak ada sepeserpun ganti rugi yang pernah dijanjikan pemerintah sampai ke tangan para korban.
“Dari pemerintah bersama PT. Afi Farma ini, kami melihat sikapnya sama. Sikap mereka itu menganggap mereka sudah melakukan upaya luar biasa untuk mencegah supaya kejadian itu tidak menyebar luas. Tetapi itu kan tidak cukup. Sampai sekarang tidak ada santunan,” ujar Awan kepada Media Indonesia, Sabtu (30/9).
Baca juga: Ombusman: Penyelesaian Kasus GGAPA Harus Sistemik dan Kasuistik
“Kemarin kita sudah mengikuti proses. Mulai Januari sampai bulan ini, dari DPR, lalu kami ke Kemenkes. Sampai di Kemenkes, dilempar lagi ke Kemenko PMK. Sampai di Kemenko PMK, mereka lempar lagi ke Kemensos, Kemensos lempar lagi Kemenko PMK. Sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya,” imbuh dia.
Awan juga mengungkapkan dalam sidang gugatan terakhir, pemerintah justru melayangkan eksepsi keberatan dan terkesan tidak ingin bertanggung jawab atas kerugian korban GGAPA.
Baca juga: Keluarga Korban GGAPA tidak Kendor meski Diberi Santunan
“Sekarang malah sepertinya pemerintah itu mau fight di gugatan ini, mereka tidak ingin bertanggung jawab. Kalau ini diterima, tentu ini jadi kabar buruk untuk korban. Kami benar-benar menyayangkan sekaligus bingung dengan sikap pemerintah ini,” tegasnya.
“Ketika tekanan publik tinggi, mereka seolah akan bertanggung jawab. Ketika tekanan publik mengendur, mereka kembali ke posisi tidak ada yang salah, seolah semua baik-baik saja,” lanjut dia.
Sementara itu, saat dimintai tanggapan terkait tuntutan ganti rugi korban GGAPA, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya belum bisa memberikan keterangan lebih karena belum ada pembahasan lanjutan mengenai ganti rugi tersebut.
“Belum ada pembahasannya. Iya belum ada diskusi lagi,” kata dia.
(Z-9)
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit dengan angka prevalensi yang meningkat setiap tahunnya, berikut gejala gagal ginjal yang umumnya dirasakan
Pasien gagal ginjal yang ideal untuk dilakukan transplantasi justru yang baru dilakukan dialisis, sekurangnya dari satu tahun.
Gagal ginjal kini tidak lagi menjadi ancaman eksklusif bagi usia lanjut. Tren terbaru di tahun 2025 menunjukkan lonjakan signifikan kasus gagal ginjal pada remaja dan dewasa muda.
Gagal ginjal dan batu ginjal kini tidak hanya menyerang orang tua. Kasusnya semakin banyak ditemukan pada usia muda akibat kebiasaan harian
PENYEBAB gagal ginjal sebagian besar dipicu oleh gaya hidup penderitanya. Selain dialami oleh orang dewasa, gagal ginjal juga bisa menyerang anak-anak.
Seorang pasien gagal ginjal di Inggris mengejutkan tim medis karena memakan busa kursi dialisis. Ia didiagnosis menderita pica.
Trubus menilai bahwa pemerintah lebih memperdulikan nilai ekonomis dan mengabaikan nilai humanis
Kuasa Hukum dari Korban kasus GGAPA, Reza Zia Ulhaq menilai nominal ganti rugi pada keluarga korban Gugatan Class Action Gagal Ginjal Akut Pada Anak (GGAPA) masih jauh dari harapan.
Putusan gugatan gagal ginjal akut pada anak masih jauh dari harapan
Kasus gagal ginjal kronik yang membutuhkan cuci darah di RSHS jumlahnya mencapai 10-20 anak per bulan
HAMPIR dua tahun kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) mencuat ke publik, pemerintah minta maaf dan memberikan bantuan kepada korban.
Kementerian Kesehatan Uzbekistan mengatakan 18 anak meninggal setelah mengonsumsi obat sirup, Doc-1 Max, yang diproduksi oleh produsen obat India Marion Biotech.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved