Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
DOKTER spesialis penyakit dalam dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Em Yunir menganjurkan seseorang untuk menghitung kebutuhan energi berdasarkan aktivitas untuk mencegah obesitas.
Pengurus Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) itu menjelaskan menghitung kebutuhan energi berdasarkan aktivitas mula-mula harus disesuaikan dengan tinggi badan dan berat badan yang dimiliki saat ini.
"Jadi, kita lihat karakternya, kita bisa lihat apakah penampilannya gemuk, normal, atau kurus," kata dalam bincang-bincang kesehatan yang digelar virtual, Senin (10/7).
Baca juga: Berat Badan Berlebih tanpa Obesitas, Risiko Kematian Lebih Rendah
Untuk mengetahui berat badan kurus, normal, atau gemuk, dapat dilakukan dengan menghitung Body Mass Index (BMI). Caranya, berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter.
Jika kurang dari 18,5, maka statusnya adalah kekurangan berat badan (kurus). Sedangkan jika 18,5 hingga 24,9 adalah ideal, dan jika 25 hingga 29,9 adalah kelebihan berat badan (gemuk).
Yunir mengatakan orang yang memiliki badan gemuk membutuhkan 20-25 kalori per kilogram berat badan jika dia menjalani aktivitas ringan, kemudian 30 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas sedang, dan 35 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas berat.
Baca juga: BPBD Evakuasi Pria Berbobot 200 Kilogram ke RSUD Tangerang
Sedangkan orang yang memiliki berat badan normal atau ideal membutuhkan 30 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
Sementara itu, orang dengan berat badan kurus membutuhkan 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40-50 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
Untuk menghitung kebutuhan energi, kalikan berat badan dengan kebutuhan kalori berdasarkan aktivitas dan kategori status berat badan.
"Contoh, orang dengan tinggi badan 160 centimeter, berat badan ideal 54 kilogram, ringan. Sehingga untuk aktivitas dia sehari-hari sebenarnya cukup kalau dia makan 1.700 kalori sehari (54x30=1.620, dibulatkan jadi 1.700)," ungkap Yunir.
Menurutnya, penghitungan kebutuhan energi per kilogram berat badan berdasarkan aktivitas bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara energi yang masuk ke tubuh dengan pengeluaran atau pembakaran energi melalui aktivitas sehari-hari.
Jika energi yang masuk ke tubuh berlebihan dan tidak seimbang dengan yang dikeluarkan, Yunir mengatakan akan terjadi penumpukan lemak dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas.
"Masalahnya, zaman sekarang sangat mudah membeli makanan. Semua jenis makanan yang ada bisa (dibeli) dengan berbagai macam variasinya. Kemudian, makanan enak itu yang manis-manis dan mengandung lemak tinggi sehingga, input-nya akan menjadi tinggi," ujar Yunir.
Jika seseorang kurang aktivitas fisik sementara kalori banyak, kalori tersebut tidak terbuang. Dalam jangka panjang, katanya, kelebihan input makanan atau kalori menyebabkan penumpukan lemak di dalam tubuh
"Kelebihan makan sebesar 500 kalori, dalam satu bulan bisa menumpuk sel lemak sekitar 2 kilogram," lanjut Yunir.
Kemudian, ketika seseorang mulai mengalami kegemukan, sel-sel lemak yang menumpuk akan mengeluarkan zat beracun yang dapat menyebabkan peradangan.
"Jadi, dalam sistem tubuh kita, terjadi peradangan yang meluas, yang menyebabkan insulin tidak maksimal, kemudian hormon juga menjadi menurun fungsinya, , kolesterol tinggi, dan beberapa hal yang menyebabkan risiko diabetes menjadi lebih besar," pungkasnya. (Ant/Z-1)
Ilmuwan Salk Institute menggunakan teknologi CRISPR untuk mengidentifikasi mikroprotein kunci dalam sel lemak, berpotensi jadi target terapi obesitas.
Jumlah penderita kanker hati di seluruh dunia diperkiakan hampir dua kali lipat pada 2050, jika pencegahannya tidak segara ditingkatkan.
Pola makan lebih dominan sebagai pemicu obesitas dibandingkan tingkat aktivitas fisik harian.
Hasil skrining kesehatan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Provinsi DKI Jakarta. Pada skrining itu salah satunya ditemukan 62,09% obesitas.
Hasil pemeriksaan kesehatan ASN DKI Jakarta pada 2024 menunjukkan salah satunya, sebanyak soal ASN Jakarta yang mengalami obesitas dan masalah kejiwaan.
BANYAK mengonsumsi gula bisa berbahaya bagi tubuh untuk jangka panjang karena bisa terserang berbagai penyakit salah satunya obesitas hingga diabetes melitus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved