Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
DOKTER spesialis penyakit dalam dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Em Yunir menganjurkan seseorang untuk menghitung kebutuhan energi berdasarkan aktivitas untuk mencegah obesitas.
Pengurus Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) itu menjelaskan menghitung kebutuhan energi berdasarkan aktivitas mula-mula harus disesuaikan dengan tinggi badan dan berat badan yang dimiliki saat ini.
"Jadi, kita lihat karakternya, kita bisa lihat apakah penampilannya gemuk, normal, atau kurus," kata dalam bincang-bincang kesehatan yang digelar virtual, Senin (10/7).
Baca juga: Berat Badan Berlebih tanpa Obesitas, Risiko Kematian Lebih Rendah
Untuk mengetahui berat badan kurus, normal, atau gemuk, dapat dilakukan dengan menghitung Body Mass Index (BMI). Caranya, berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter.
Jika kurang dari 18,5, maka statusnya adalah kekurangan berat badan (kurus). Sedangkan jika 18,5 hingga 24,9 adalah ideal, dan jika 25 hingga 29,9 adalah kelebihan berat badan (gemuk).
Yunir mengatakan orang yang memiliki badan gemuk membutuhkan 20-25 kalori per kilogram berat badan jika dia menjalani aktivitas ringan, kemudian 30 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas sedang, dan 35 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas berat.
Baca juga: BPBD Evakuasi Pria Berbobot 200 Kilogram ke RSUD Tangerang
Sedangkan orang yang memiliki berat badan normal atau ideal membutuhkan 30 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
Sementara itu, orang dengan berat badan kurus membutuhkan 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40-50 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
Untuk menghitung kebutuhan energi, kalikan berat badan dengan kebutuhan kalori berdasarkan aktivitas dan kategori status berat badan.
"Contoh, orang dengan tinggi badan 160 centimeter, berat badan ideal 54 kilogram, ringan. Sehingga untuk aktivitas dia sehari-hari sebenarnya cukup kalau dia makan 1.700 kalori sehari (54x30=1.620, dibulatkan jadi 1.700)," ungkap Yunir.
Menurutnya, penghitungan kebutuhan energi per kilogram berat badan berdasarkan aktivitas bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara energi yang masuk ke tubuh dengan pengeluaran atau pembakaran energi melalui aktivitas sehari-hari.
Jika energi yang masuk ke tubuh berlebihan dan tidak seimbang dengan yang dikeluarkan, Yunir mengatakan akan terjadi penumpukan lemak dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas.
"Masalahnya, zaman sekarang sangat mudah membeli makanan. Semua jenis makanan yang ada bisa (dibeli) dengan berbagai macam variasinya. Kemudian, makanan enak itu yang manis-manis dan mengandung lemak tinggi sehingga, input-nya akan menjadi tinggi," ujar Yunir.
Jika seseorang kurang aktivitas fisik sementara kalori banyak, kalori tersebut tidak terbuang. Dalam jangka panjang, katanya, kelebihan input makanan atau kalori menyebabkan penumpukan lemak di dalam tubuh
"Kelebihan makan sebesar 500 kalori, dalam satu bulan bisa menumpuk sel lemak sekitar 2 kilogram," lanjut Yunir.
Kemudian, ketika seseorang mulai mengalami kegemukan, sel-sel lemak yang menumpuk akan mengeluarkan zat beracun yang dapat menyebabkan peradangan.
"Jadi, dalam sistem tubuh kita, terjadi peradangan yang meluas, yang menyebabkan insulin tidak maksimal, kemudian hormon juga menjadi menurun fungsinya, , kolesterol tinggi, dan beberapa hal yang menyebabkan risiko diabetes menjadi lebih besar," pungkasnya. (Ant/Z-1)
Dalam dunia kerja, obesitas dapat mengganggu keberlangsungan produktivitas (brain fog) dan penurunan kesehatan karena penyakit penyerta dari obesitas.
Samoa, Nauru, dan Tonga masuk dalam daftar negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Simak data terbaru dari WHO.
Menurut data Survei Kesehatan Indonesia dari Kementerian Kesehatan, prevalensi obesitas nasional 2023 pada penduduk umur di atas 18 tahun, mengalami peningkatan.
Poin yang membedakan Lighthouse Advanced dari klinik lain adalah pendekatannya yang menyeluruh dan berkelanjutan melalui Companion Program.
OBESITAS pada anak merupakan kondisi yang bisa memicu munculnya berbagai penyakit berbahaya. Asupan Protein hewani bisa menjadi cara untuk mengatasi obesitas pada anak.
Protein hewani bukan sekadar pelengkap—bagi anak, ia adalah fondasi utama untuk tumbuh sehat dan terhindar dari obesitas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved