DALAM penyelesaiaan sengketa kekayaan intelektual bisa dilakukan melalui arbitase sengketa kekayaan intelektual internasional. Selain lebih cepat, juga efisien.
Hal itu disampaikan oleh Prof Dr Cita Citrawinda Soegomo SH, MIP dalan orasi ilmiah berjudul "Arbitrase Sengketa Kekayaan Intektual Internasional", dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap bidang Hukum Universitas Prof. Cita Cita Citrawinda Soegomo Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dalam sidang terbuka Senat Unkris, Sabtu (3/6).
Prof Cita Citrawinda Soegomo mengaku tertarik membahas mengenai arbitrase ini karena penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual saat ini terbuka pengaturannya. Bahkan bisa diatur di luar pengadilan, salah satunya melalui arbitrase.
"Oleh karena itu saya tertarik menulis soal Hak Kekayaan Intelektual ini dalam naskah pidato guru besar saya," jelasnya.
Menurutnya, sengketa Hak Kekayaan Intelektual yang melibatkan banyak negara sudah banyak kasusnya. Contohnya hak di bidang merek yang terkait dengan pihak asing. Umumnya sengketa tersebut masih diselesaikan melalui jalur pengadilan niaga. Padahal pihak yang terlibat sengketa memiliki peluang untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
"Umumnya penyelesaian sengketa masih melalui pengadilan niaga terkait dengan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Belum satu pun kasus yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI. Padahal badan ini dibentuk oleh pemerintah sejak 2011. Bayangkan, ini sudah tahun 2023. Itu artinya badan ini belum tersosialisasi dengan baik," katanya.
Ia memastikan bahwa penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual melalui Badan Arbitrase akan jauh lebih menguntungkan dibanding melalui pengadilan. Beberapa keuntungannya antara lain bersifat tertutup, biaya lebih murah dan prosesnya juga jauh lebih cepat.
baca juga: Dua Wakil BAKI Jadi Arbiter di SEA Games 2023
Ketua Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta, Prof Dr T Gayus Lumbuun SH MH dalam sambutan pengukuhan Prof Cita mengakui bahwa metode arbitrase ini semakin populer dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Hal ini sejalan dengan pentingnya kekayaan intelektual bagi kemakmuran ekonomi, perdagangan internasional dan keuntungan komersial di dunia yang terglobalisasi dan digital saat ini.
Lebih lanjut Prof Gayus menjelaskan secara konvensional, sengketa kekayaan intelektual umumnya diselesaikan di pengadilan nasional. Namun, sejalan dengan perkembangan dan dinamika di bidang hak kekayaan intelektual, kekayaan intelektual dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dengan pengecualiaan dan batasan tertentu.
"Arbitrase internasional, sebagai metode penyelesaian sengketa pribadi dan rahasia menawarkan sejumlah keuntungan yang signifikan untuk penyelesaian sengketa kekayaan intelektual, terutama dalam kasus dengan elemen lintas batas, melibatkan penerapan hukum asing atau pihak dari berbagai yurisdiksi," tukas Prof Gayus.
Sementara itu Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono mengatakan dengan dikukuhkannya Prof Cita sebagai Guru Besar Unkris, maka kini Unkris memiliki 17 Guru Besar, 9 di antaranya berasal dari Fakultas Hukum.
"Selain menjadi energi baru bagi Fakultas Hukum, pengukuhan Guru Besar ini diharapkan menjadi inspirasi bagi dosen lain untuk lebih banyak melakukan penelitian, meningkatkan intensitas menulis untuk dipublikasikan di jurnal internasional sebagai syarat menyandang gelar Guru Besar," kata Ayub Muktiono. (N-1)