Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
STRICT parents atau gaya pengasuhan yang ketat, dipercaya banyak orang bisa membentuk perilaku anak dan menjadikannya orang hebat. Namun, tahukah Anda kalau metode pengasuhan ini berdampak buruk pada kesehatan mental anak?
Kenali dulu apa itu strict parents, ciri strict parents, dan dampak buruknya pada anak.
Baca juga: Rekomendasi Resep Kue Kering yang Seru Dipraktekan Bersama Anak Di Rumah
Dari sisi psikologi, arti strict parents adalah orangtua yang menempatkan standar tinggi dan suka menuntut anak. Orangtua yang menganut gaya pengasuhan ini dapat bersifat otoritatif atau otoriter.
Saat orangtua menempatkan standar tinggi pada anak sambil memberikan dukungan dengan kasih saying dan dukungan, itu tandanya mereka bersifat otoritatif. Gaya pengasuhan ini umumnya dapat membuat anak menjadi pribadi yang lebih baik.
Baca juga: Korban Perundungan Butuh Layanan Konseling.
Sayangnya, sebagian besar strict parents tidak bersifat otoritatif, melainkan otoriter. Strict parents yang otoriter ditandai dengan perilaku dingin, tidak responsif, dan tidak suportif terhadap anaknya. Peraturan yang mereka buat biasanya sangat ketat dan sewenang-wenang.
Mereka juga tidak mengizinkan anak untuk menyuarakan opini atau mempertanyakan keputusan yang telah dibuat orangtuanya. Dengan begitu, orangtua yang strict artinya menerapkan gaya pengasuhan yang ketat.
Setelah memahami strict parents artinya apa, ciri-cirinya juga perlu dipahami. Berikut adalah sejumlah karakteristik strict parents yang mungkin tidak disadari oleh banyak orangtua.
Strict parents dengan sifat otoriter memiliki banyak peraturan yang berdampak pada hampir setiap aspek dalam kehidupan anak, baik itu di rumah atau di tempat umum.
Ditambah lagi, mereka punya banyak peraturan tak tertulis yang harus dipatuhi anak. Namun, orangtua yang otoriter ini tidak menyampaikan peraturan tersebut kepada anak. Mereka menganggap anak sudah tahu peraturan tersebut tanpa perlu diberi tahu lagi.
Orangtua yang ketat dapat terlihat dingin, kasar, serta jauh dari anak-anaknya. Mereka cenderung berteriak pada anak dan jarang memberikan dukungan atau pujian. Dilansir dari Very Well Mind, strict parents juga lebih mementingkan kedisiplinan dibandingkan kesenangan dalam pola pengasuhan anak.
Selanjutnya, tanda strict parents adalah menerapkan terlalu banyak aturan. Kondisi ini akan membuat anak merasa terkekang karena harus mengikuti semua aturan yang dibuat orangtuanya. Akan lebih baik jika orangtua membuat lebih sedikit aturan, tetapi konsisten untuk menerapkannya pada anak.
Strict parents yang otoriter tidak ragu-ragu memberikan hukuman fisik, misalnya memukul, menendang, atau menampar anak. Biasanya, hukuman ini diberikan ketika anak tidak mematuhi peraturan yang mereka buat.
Orangtua yang otoriter dan menganut gaya asuh strict parents juga tidak memberikan anak pilihan. Mereka membuat peraturan, tanpa meminta opini dari anak terlebih dahulu. Anak tidak memiliki ruang untuk bernegosiasi dan tidak diperbolehkan untuk menentukan keputusannya sendiri.
orangtua dengan gaya asuh strict parents cenderung tidak mempercayai anak dalam membuat keputusannya sendiri. Mereka tidak memberikan kebebasan pada anak untuk membuktikan bahwa dirinya bisa berperilaku baik dengan keputusannya sendiri.
Agar anak mau mematuhi peraturan, strict parents kerap mempermalukan si kecil di depan umum. Alih-alih memberikan dukungan meningkatkan rasa percaya diri anak, justru mereka malah mempermalukan anak sebagai cara untuk memotivasi si kecil agar menjadi lebih baik lagi.
Salah satu tanda strict parent adalah tidak meluangkan waktu untuk anak. Misalnya, orangtua menyuruh anak melakukan hal yang sulit, tetapi tidak mau meluangkan waktu untuk membantunya. Hal ini hanya akan membuat anak merasa kesulitan.
Strict parents adalah hal yang sebaiknya dihindari, apalagi mengarah pada otoriter. Pasalnya, saat anak dididik orangtua seperti ini, terdapat beberapa dampak buruk yang bisa mereka alami.
Sebuah studi yang dirilis dalam The Journal of Psychology menyatakan anak-anak yang diasuh strict parents cenderung tidak bahagia, merasa khawatir dan cemas, bahkan bisa menunjukkan gejala-gejala depresi.
Pola asuh yang terlalu ketat dianggap bisa menimbulkan gangguan perilaku pada anak. Sebab, anak dapat mencontoh perilaku orangtua yang menganut gaya asuh strict parenting.
Saat orangtua mendisiplinkan anak dengan kekerasan, ancaman, paksaan, serta hukuman, bisa saja anak menjadi menirunya. Alhasil, sifat membangkang, pemarah, agresif, dan impulsif dapat tertanam di dalam diri anak.
Saat anak didisiplinkan dengan kekerasan, pengekangan, dan tanpa kasih sayang, rasa takut dapat muncul. Untuk menghindari hukuman dari orangtuanya, mereka bisa berbohong.
Misalnya, anak dapat berperilaku baik di depan orangtuanya. Namun, saat sedang tidak di rumah, mereka bisa kembali melakukan perilaku buruk.
Ditambah lagi, orangtua strict parents tidak menyediakan kesempatan bagi anak untuk mengutarakan kejujuran. Hal ini dapat membuat anak suka berbohong dan menyembunyikan sesuatu.
Orangtua yang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka mau dari anaknya dapat mengundang sifat bully atau perundungan. Anak-anak nantinya belajar mereka bisa menggunakan paksaan dan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka mau dari teman-temannya.
Sebuah penelitian yang dimuat dalam American Psychological Association mengungkapkan, pola asuh otoriter dapat membuat anak menjadi tukang bully atau berteman dengan orang-orang yang suka bully.
Dikutip dari sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal Adolescence, remaja perempuan yang dididik oleh orangtua otoriter tidak mampu membuat keputusan sendiri saat diberikan kesempatan. Hal ini terjadi karena mereka kurang percaya diri.
Memiliki orangtua dengan gaya asuh strict parents membuat anak-anak terbiasa didikte. Mereka merasa tidak percaya diri untuk membuat keputusan sendiri karena takut keputusan yang dibuat nantinya salah.
Anak yang dibesarkan strict parents cenderung lebih banyak bertingkah. Mereka kurang mampu mengatur perilakunya sendiri dan tidak memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah dengan efektif. Sebab, dalam pola asuh ini, anak lebih sering diatur orangtuanya dan harus mengikuti apa yang dikatakan mereka.
Anak-anak yang dibesarkan dengan strict parents yang otoriter cenderung lebih banyak mendapat penolakan dalam berteman dan memiliki hubungan yang bermasalah di masa depan. Hal ini terjadi karena mereka kurang bisa mengatur emosinya dan memiliki keterampilan sosial yang buruk sehingga tidak bisa menjalin hubungan yang baik.
Orangtua yang strict sering kali menuntut anaknya menjadi yang mereka inginkan. Mereka akan mengontrol kegiatan ekstrakurikuler, jadwal kelas, dan acara sosial yang diikuti anak tanpa menerima masukan darinya. Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan ini bukan hanya lebih memberontak, tetapi bisa memiliki motivasi dan inisiatif yang rendah. (Z-3)
PENGUATAN langkah koordinasi dan sinergi antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah serta masyarakat harus mampu melahirkan gerakan antikekerasan.
Ketika anak mengalami kecemasan saat dijauhkan dari gawainya, itu menjadi salah satu gejala adiksi atau kecanduan.
Upaya untuk mewujudkan peningkatan kualitas anak, perempuan, dan remaja masih banyak menghadapi tantangan.
Pada anak usia dini—yang masih berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget—, konten absurd berisiko mengacaukan pemahaman terhadap realitas.
Musik bisa merangsang area otak seperti lobus temporal untuk pendengaran, lobus frontal untuk emosi, cerebellum untuk koneksi motorik.
Menurut sejumlah penelitian, musik bisa dikenalkan kepada anak dari usia di bawah enam tahun.
Menurut Director Learning Development JMAkademi, Coach A Ricky Suroso, orangtua perlu membekali anak-anaknya di usia golden untuk tangguh dalam karakter dan punya daya juang tinggi.
Konsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas serta memicu diabetes dan gangguan kesehatan jantung.
FENOMENA masalah komunikasi antara orangtua dan anak sudah terjadi sejak lama, dan bukan menjadi hal yang asing lagi.
Membangun rutinitas yang konsisten mulai dari bangun tidur hingga kemandirian anak untuk mengurus dirinya sendiri sudah harus menjadi perhatian orangtua sebelum anak masuk sekolah.
Setiap anak memiliki potensi luar biasa dan peran orangtua sangat menentukan bagaimana potensi itu tumbuh.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved