Keberadaan 12 jenis mamalia di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terancam seiring meningkatnya aktivitas gunung api aktif yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu.
Berdasar penelitian mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurpana Sulaksono, 12 jenis mamalia itu meliputi monyet, kijang, landak, garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, lutung, biul, rase, dan tupai terbang.
"Menggunakan puluhan kamera jebakan, diketahui ada 12 jenis mamalia yang terancam. Sepuluh dari mereka adalah jenis mamalia darat. Yang paling banyak itu adalah monyet ekor panjang, kijang, landak, dan luwak," kata Nurpana Sulaksono melalui keterangan resmi UGM, Selasa (14/3).
Baca juga: Mengenal Kantong Semar, Tanaman Karnivora yang Dilindungi
Menurut Nurpana, gangguan alam yang mengancam keberadaan satwa liar di area Merapi memang terjadi secara periodik
itu tidak lebih berbahaya dari gangguan yang datang dari aktivitas manusia seperti kegiatan pengambilan rumput, pertambangan, dan aktivitas wisata.
“Gangguan paling tinggi terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas pertambangan. Habitat dengan tingkat gangguan tinggi itu cenderung direspons dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah. Pada habitat yang tidak terganggu justru cenderung memiliki kekayaan tinggi namun memiliki tingkat keragaman mamalia paling rendah akibat dominasi beberapa jenis satwa tertentu,” jelasnya.
Baca juga: Erupsi Merapi Selasa Pagi Mengarah ke Kali Krasak
Dari hasil penelitian itu, Nurpana merekomendasikan adanya pengukuran kondisi mamalia secara aktif dan berkelanjutan guna mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi dan habitat.
Selain itu, diperlukan juga upaya pengaturan waktu aktivitas pengambilan rumput oleh masyarakat.
"Pengaturan dilakukan untuk mencegah gangguan tidak melebihi ambang batas toleran yang dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap satwa liar khususnya mamalia," kata dia.
Tidak kalah penting, menurut dia, pengamanan kawasan untuk mencegah aksi perburuan, melakukan pengaturan dan penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir untuk mencegah terjadinya fragmentasi habitat.
"Pengambilan material batu dan pasir yang tidak terkendali bisa menyebabkan terputusnya konektivitas antar habitat," ucapnya.
Di TNGM, habitat paling luas dimiliki oleh kucing hutan yang menempati area 5.000 hektare.
Berikutnya, ada luwak menempati area 4.700 hektare dan kijang pada area 3.000 hektare, baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional itu. (Z-11)