Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

"Suara Bel" Satu Menit untuk Kesetaraan Hak

Yoseph Pencawan
25/9/2022 08:05
Ilustrasi(kemdikbud.go.id)

PAGI itu, suara deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang melintasi Jalan Karya Wisata, Kota Medan, menyelingi bunyi alat-alat musik yang terdengar nyaring dari pinggir jalan.

Di sepanjang pinggir jalan di depan gerbang masuk SLB Karya Murni berjejer anak-anak usia sekolah memegang berbagai alat musik dan benda-benda lain yang bisa menimbulkan suara. Pada barisan yang berjejer, ada juga satu mobil komando dengan keyboard dan sound system di atasnya.

Sekitar pukul 08.00 WIB, secara bersama mereka membunyikan alat musik dan benda-benda lain yang dipegangnya dengan bersemangat. Suara-suara tersebut diperdengarkan serempak selama satu menit.

Baca jugaUniversitas Bunda Mulia Persiapkan Mahasiswa Kreatif Dan Inovatif

Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak difabel dan mereka pula yang mendominasi keriuhan itu. Ada juga yang menabuh drum dengan tangkas, bermain keyboard, dan beberapa di antaranya bergantian menjadi vokalis.

"Seluruh anak-anak yang terlibat berjumlah sekitar 600 orang," kata Marugan Simbolon, Koordinator Pendidikan Yayasan  Karya Murni, seusai kegiatan, Sabtu (24/9).

Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan kampanye "We Ring the Bell" dari anak-anak difabel dan anak-anak umum dari sekolah inklusif. Kampanye yang berarti "Kami Membunyikan Bel" ini adalah kegiatan kampanye publik yang diinisiasi Liliane Foundation sejak 2012.

Dengan kegiatan ini mereka ingin menarik perhatian dunia akan pentingnya hak anak atas pendidikan. Membunyikan lonceng atau instrumen lain selama satu menit memiliki makna bahwa anak-anak difabel sedang merayakan bisa menikmati pendidikan di sekolah.

Baca jugaKeluarga adalah Pengasuh Ideal Bagi Pasien Demensia

Menurut Marugan, diskriminasi pendidikan antara anak-anak difabel dengan anak-anak umum sudah minim terjadi di Indonesia, saat ini. Sekolah-sekolah sudah memberi respons sangat positif terhadap para calon peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Terlebih, saat ini keberadaan sekolah dengan pendidikan inklusif sudah banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sumatra Utara. Bahkan Sumut sudah berstatus sebagai Provinsi Pendidikan Inklusif sejak 17 Desember 2015.

Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar siswa dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa, tanpa terkecuali difabel.

"Kami melihat di Sumut tidak ada lagi (pengelola sekolah) yang menolak anak-anak difabel untuk menjalani pendidikan di sekolah," ujar Marugan.

Namun mereka juga mengetahui masih banyak anak difabel di negara berkembang lain yang belum memiliki akses terhadap pendidikan. Lewat kegiatan ini mereka berharap semua anak, orangtua, pemerintah serta masyarakat menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi semua orang, termasuk bagi difabel.

Mereka ingin tidak ada lagi anak difabel yang tidak bersekolah dan tidak ada lagi sekolah di dunia yang menolak kehadiran anak difabel. Pemerintah juga diharapkan memperbanyak fasilitas difabel di tempat-tempat publik sehingga mereka dapat melakukan segala sesuatunya secara mandiri.

Di puncak kegiatan, diadakan penandatanganan petisi komitmen dukungan untuk kesetaraan hak bagi anak-anak difabel. Dalam petisi yang diteken oleh berbagai kalangan itu tercantum beberapa poin aspirasi yang ditujukan kepada pemerintah, pengelola sekolah dan orangtua.

Antara lain, menyediakan transportasi ke sekolah bagi anak difabel, serta menjadikan bangunan sekolah, furnitur dan lantai yang dapat dijangkau anak difabel. Kemudian, penyediaan kamar kecil yang ramah bagi anak difabel di setiap sekolah, dan mengizinkan anak difabel ikut serta dalam kegiatan olahraga atau permainan di sekolah.

Selanjutnya, mengajari anak-anak bagaimana menjadi sahabat bagi anak difabel, dan orangtua agar selalu mendukung anaknya yang difabel.
Berikutnya, melatih para guru agar semakin dapat membimbing anak difabel.(H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya