Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad mengatakan Indonesia berisiko rendah terdampak aktivitas atau badai Matahari.
“Di Indonesia sendiri, dampak (aktivitas Matahari, red.) yang didapat tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa,” kata dia kepada wartawan di Jakarta, Jumat (12/8).
Aktivitas Matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi.
Hal itu menyebabkan berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas Matahari yang ekstrem.
Di samping itu, Matahari sebagai sumber energi utama di tata surya memiliki pengaruh terhadap cuaca antariksa.
Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi. Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa di antaranya adalah flare, lontaran massa korona, dan angin surya.
Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.
Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti Global Positioning System (GPS).
Ia menjelaskan karena semakin tingginya ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung.
Cuaca antariksa merupakan keadaan di lingkungan antariksa, khususnya antara Matahari dan Bumi, yang meliputi kondisi Matahari, medium antarplanet, atmosfer atas Bumi (ionosfer), dan selubung magnet Bumi (magnetosfer). “Seperti halnya cuaca di Bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas Matahari,” ujarnya.
Johan menjelaskan tidak ada istilah kiamat badai Matahari di kalangan masyarakat ilmiah. “Kita telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari rutin terjadi. Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita,” tuturnya.
Ia mengimbau masyarakat agar tidak panik dan tidak mudah termakan hoaks yang beredar berkaitan dengan badai matahari.
Matahari memiliki siklus sekitar 11 tahun sekali. Saat ini, sedang berada di awal siklus ke-25 yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2024-2025.
Pada saat puncaknya, aktivitas matahari diperkirakan akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona kemungkinan akan bertambah. (Ant/OL-12)
NASA merlisi foto permukaan matahari dengan jarak 6,1 juta kilometer menggunakan wahana antariksa Parker Solar Probe.
Teleskop Surya Daniel K. Inouye berhasil mengambil gambar paling tajam dari permukaan matahari, mengungkap striasi halus akibat medan magnet skala kecil.
Ilmuwan berhasil menangkap citra korona Matahari dengan resolusi tertinggi berkat sistem optik adaptif terbaru pada Teleskop Surya Goode.
Mengapa luar angkasa tampak gelap meskipun Matahari bersinar terang dan miliaran bintang menghuni jagat raya? Pertanyaan ini menjadi topik menarik yang sering dicari di Google.
Filamen matahari sepanjang 1 juta km meletus dramatis picu CME besar 12 Mei. Untungnya, letusan ini tidak mengarah ke Bumi, tapi tetap jadi sorotan ilmiah.
Penelitian terbaru NASA menunjukkan permukaan Bulan dapat menghasilkan dan mengisi ulang molekul air melalui bantuan angin matahari, yang membawa ion hidrogen bermuatan positif.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved