Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Peminat Satra Ramaikan Diskusi Daring soal Sastra dan Kebudayaan Lembata

Alexander P. Taum
04/4/2022 10:25
Peminat Satra Ramaikan Diskusi Daring soal Sastra dan Kebudayaan Lembata
Tangkapan layar diskusi daring membahas Sastra dan Kebudayaan Lembata, yang diinisiasi oleh Institut Kebudayaan Lembata (IKaL), Batam dan Ja(MI/Alexander p Taum)

KAWASAN Indonesia Bagian Timur, dikenal memiliki sastra Paralelisme. Masyarakat di wilayah itu sangat tertib dalam menggunakan kata dan kalimat berpasangan.

Di Kabupaten Lembata sendiri, penyebutan Sastra berkaitan erat dengan etnis yang menggunakan bahasa. Meski memiliki kemiripan dalam penggunaan kalimat Paralel, Lembata mengenal dua etnis sastra dan budaya yang berbeda yakni sastra  Lamaholot dan sastra Kedang.

Sastra Lamaholot memiliki tradisi kuat dengan model penceritaan yang disebut "Koda Kiring". Oreng, misalnya juga disebut ekspresi sastra Lamaholot yang mementingkan Pola Paralelisme dengan rumusan  percakapan ritual yang mementingkan keindahan dan dipercaya memiliki daya magis.

Misalnya, Lera Wulan Tana Ekan, merupakan kalimat Paralel yang menggambarkan satu kesatuan, bahwa Manusia Pada akhirnya Akan menuju Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Sastra Lamaholot pula dikenal konsep 'Wua Matan' atau 'Koda Knalan' yang kemudian dituangkan dalam tradisi lisan yang disebut 'Koda Klaken'.

Di wilayah Lamaholot pula jarang sekali di dijumpai dongeng. Lebih banyak sastra berupa "Koda Kiring" atau "Koda Knalan" dengan pemilihan dan penggunaan bahasa yang luar biasa indah.

Hal tersebut disampaikan Dosen, penyair dan Peneliti Sastra lisan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dr. Yosep Yapi Taum, kemarin malam (2/4), dalam Diskusi daring Tentang Sastra dan Kebudayaan Lembata, yang diinisiasi oleh Institut Kebudayaan Lembata (IKaL), Batam dan Jakarta.

Diskusi yang juga menghadirkan, Dr.Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud ristek RI, Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa, dan Masyarakat Adat.

Selain kedua Narasumber tersebut, tampil pula Pater Dr. Paul Budi Kleden SVD, Teolog dan kritikus Sastra yang tinggal di Roma, Italia serta Tri Utami, Penyair, seniman dan pegiat budaya. Diskusi daring inipun diminati ratusan peserta baik di Lembata hingga ke mancanegara.

Narasumber lainnya, Pater Dr. Paul Budi Kleden SVD, Teolog dan kritikus Sastra yang tinggal di Roma, Italia, memaparkan materinya tentang Sastra, Religiusitas dan agama.

"Agama hanyalah sebuah museum mati, jika masyarakatnya kehilangan religiusitas. Respon seseorang atau komunitas, pikiran dan imajinasi disebut religiusitas. Dalam Sensus Fidelium, Gereja Katolik sendiri
menegaskan,  rasa keagamaan umat ditumbuhkan melalui kontak dengan hidup dan kehidupan," ungkap Pater Dr. Paul Budi Kleden.

Ia menjelaskan, Pola hubungan Sastra, Raligiusitas dan Agama melahirkan hirarki ideal berupa kenyataan. Ia dapat menjadi cermin tentang apa yang tidak benar dan apa yang tidak utuh.

Kritik Dalam Sastra Lembata

Dalam diskusi zoom meeting yang juga dihadiri Bupati Lembata, Dr. Thomas Ola Langoday itu, Dr. Yapi Taum mencontoh dua kritik Sastra beda genre, yakni sastra lisan atau legenda 'Peni dan Nogo' dan Novel "Lembata",
karya Rahadi.

Dr. Yosep Yapi Taum, menyampaikan, Cinta Segitiga Peni, Nogo dan Demon dalam tradisi lisan, legenda atau mitos asal Lembata dengan judul 'Peni dan Nogo' menjadi salah satu contoh kritik sosial dalam sastra lisan
masyarakat Lebatukan dan Ile Ape, di Kabupaten Lembata. Ia berharap cerita legenda tersebut menjadi bacaan wajib bagi generasi
muda Lembata masa kini.

"Sastra lisan Peni dan Nogo asal Lembata ini sama seperti serial televisi Jepang, Oshin. Ia berjuang dari keluarga miskin hingga menjadi kaya. Sedangkan dalam legenda Peni dan Nogo yang menceritakan pergumulan sebuah keluarga setelah tenggelamnya pulau Lepan Batan, dibuang hingga diterima kembali dalam komunitasnya," ungkap Yapi Taum.

Dijelaskan, dalam legenda Peni dan Nogo, masyarakat Lembata mengetahui Penderitaan Peni yang diusir dari kampung dan hidup seorang diri atas fitnah "swanggi" oleh Nogo. Hingga akhirnya Peni diterima kembali ke dalam komunitasnya di Kampung.

Penyair dan Peneliti Sastra itu berharap legenda Peni dan Nogo menjadi grand naratif tentang kritik sosial yang melegenda di Lembata yakni tentang Fitnah, tentang Cinta Segitiga dan tentang relasi sosial. (OL-13)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya