DIREKTORAT Pergerakan dan Pengabdian Masyarakat (PPM) PPI Dunia menyelenggarakan kegiatan Diskusi Panel Online dengan tema Bagaimana Pengeras Suara Masjid di Tiga Kawasan Dunia pada Jumat (4/3). Sesuai dengan tema yang diangkat, kegiatan ini bertujuan memberikan gambaran penggunaan pengeras suara masjid di luar negeri, khususnya di negara yaitu Mesir di Timur Tengah, Turki di Eropa, dan Jepang di Asia-Oseania.
Kegiatan ini dibuka oleh Koordinator PPI Dunia, Faruq Ibnul Haqi, dan menghadirkan tiga narasumber yaitu Ahsanul Ulil Albab (Presiden PPMI Mesir), Savran Billahi (Ketua Lakpesdam PCNUI Turki), dan Yudi Ariesta Chandra (Direktur PPM PPI Dunia). Diskusi panel ini dimoderatori oleh Dea Aulia yang saat ini sedang studi postgraduate di Turki dan diamanahi sebagai Stafsus Koordinator PPI Dunia bidang Keagamaan Internasional.
Budy Sugandi selaku ketua panitia menyampaikan bahwa kegiatan itu dilaksanakan untuk merespons polemik yang berkembang pascapernyataan Menteri Agama Yaqut tentang perlunya pengaturan penggunaan pengeras suara yang ditanggapi berbeda di masyarakat akibat penggunaan analogi suara gonggongan anjing. Gandi, sapaan akrabnya, berharap kegiatan ini bisa mengajak masyarakat untuk lebih mengedepankan diskursus yang konstruktif dalam menyikapi langkah pemerintah tersebut.
Dalam sambutan pembuka yang disampaikan, Faruq menyampaikan bahwa bahwa Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala merupakan sebagai suatu upaya dalam menjaga keharmonisan. Hal ini sejatinya sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang masyarakatnya sangat beragam, khususnya sebagai upaya dalam merawat toleransi antarumat beragama. Kandidat doktor University of South Australia ini mengimbau kiranya pernyataan Menteri Agama tersebut bisa direspons dari sisi yang lebih substantif supaya opini yang hadir di tengah masyarakat menjadi lebih konstruktif. Hal ini sangat diperlukan mengingat Indonesia merupakan negara multireligi.
Ulil, yang juga mahasiswa pascasarjana di Mesir, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa Islam mengajarkan untuk mendahului sesuatu yang mencegah keburukan dibandingkan melakukan kebaikan. Ulil menuturkan bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan tidak mengganggu masyarakat lain. Ketua Umum PPMI Mesir ini berpandangan bahwa kebijakan Kementerian Agama tersebut sebagai hal yang syar'i dan legal di mata agama agar penggunaan pengeras suara di masjid tidak mengganggu masyarakat di sekitar masjid. Di Mesir, meskipun negara muslim, tetapi tetap ada aturan terkait penggunaan pengeras suara untuk azan atau ibadah lain, tutur Ulil.
Savran, yang saat ini tinggal di Turki, dalam paparannya menjelaskan bahwa Turki menempatkan di bawah logika negara. Jadi negara berfungsi sebagai pengendali agama. Sedangkan di Indonesia, negara menjadi fasilitator agama. Di Turki itu harus ada pembacaan selawat yang harus dibaca setelah salat. Mahasiswa pascasarjana di University Ankara juga menyampaikan bahwa pernyataan Menteri Agama itu benar dan bijaksana secara substansi agar tidak mengganggu masyarakat sekitar yang sakit, nonmuslim, dan terganggu. Dia mengingatkan agar ke depan pemerintah perlu menggunakan strategi komunikasi publik yang lebih efektif agar tidak direspons berbeda oleh masyarakat. Savran juga menyerukan agar polemik ini bisa menjadi cikal bakal untuk mengampanyekan masjid ramah lingkungan yang tidak hanya terkait suara, tetapi juga kebersihan.
Lebih lanjut Chandra selaku Direktur PPM PPI Dunia yang saat ini menempuh studi di Jepang membagikan pengalamannya dalam menjalankan ibadah sebagai muslim di Jepang. Dia menuturkan bahwa di Jepang, muslim merupakan minoritas. Chandra menjelaskan bahwa pemerintah Jepang melarang penggunaan pengeras suara yang diarahkan keluar masjid, sehingga untuk mengetahui waktu salat setiap umat Islam menggunakan aplikasi digital azan pada gawai seluler masing-masing.
Baca juga: Menjaga Pendengaran di Masa Pandemi
Terkait polemik pengaturan pengeras suara masjid, mahasiswa doktoral di University of Kochi Jepang itu menyampaikan bahwa secara substansi setuju dengan Menteri Yaqut yang menerangkan bahwa penggunaan pengeras suara perlu diatur agar tidak mengganggu masyarakat lain yang mungkin sedang sakit atau pun berbeda keyakinan. Namun demikian, Direktur PPM ini mengimbau agar pengaturan penggunaan pengeras suara tersebut diserahkan kepada setiap tokoh agama di setiap daerah agar sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk, bukan hanya dari sisi religi tetapi juga dari sisi budaya. Karenanya, pengaturan tersebut bisa sesuai dengan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lain. (RO.OL-14)