PENELITI Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr.M.Rokhis Khomarudin menilai terjadinya eksploitasi lahan yang rawan menyebabkan cepatnya terjadi land subsidence atau penurunan muka tanah.
Banyak eksploitasi pemanfaatan lahan, perubahan penutupan lahan yang sangat cepat, pemukiman dan garis pantai berubah di Pantai Utara (Pantura).
"Perubahan ini juga didukung dominasi tanah lunak yang terjadi di Utara Jawa. Sementara di Selatan Jawa relatif tidak ada tanah lunak kecuali Kawasan Pangandaran kemudian di daerah Pantai Selatan Pacitan," kata Rokhis dalam Webinar ID COMM, Kamis (16/9).
Berdasarkan hasil riset pihaknya menggunakan citra satelit terdapat 5 kota yang mengalami penurunan muka tanah di Wilayah Pantura yakni DKI Jakarta berkisar antara 0,1-8 cm/ tahun, Kota Bandung berkisar antara 0,1-4,3 cm/ tahun, Kota Cirebon berkisar antara 0,28-4 cm/ tahun, Kota Semarang berkisar antara 0,9-6 cm/ tahun, Kota Surabaya berkisar antara 0,3-4,3 cm/ tahun, dan Kota Pekalongan berkisar antara 2,1-11 cm/ tahun.
"Di daerah Pekalongan beberapa titik diprediksi akan di bawah permukaan laut pada 2031 cukup besar juga wilayahnya. Selain itu di Daerah Semarang juga terjadi penurunan," ujarnya.
Selain itu penurunan muka tanah juga terjadi karena di beberapa wilayah Indonesia yang tanahnya tidak stabil atau lunak yang tersusun dari endapan alluvial seperti gambut dan bila ditumpangi bangunan dan penyedotan air tanah yang cukup besar di perkotaan akan mudah penurunan muka tanah.
"Memang terdapat potensi-potensi di 10 tahun mendatang yang kalau tidak ada skenario pun beberapa wilayah akan di bawah 0 mdpl baik di kota Semarang, Pekalongan, atau DKI Jakarta. Ini akibat land subsidence, kalau tidak ditangani akan berbahaya," ungkapnya.
Guru Besar Kehutanan dan Lingkungan IPB Hariadi Kartodihardjo menilai land subsidence terjadi pastinya karena ada pelanggaran tata ruang. Karena tanah rawan yang kemudian ditumpangi dengan bangunan akan menyebabkan penurunan muka tanah yang berlebihan.
"Pasti ada hubungannya dengan pelanggaran tata ruang kalo saya lihat dalam konstalasi besar seperti ini," ucapnya.
Hariadi menjelaskan tumpang tindih wilayah terjadi hampir di seluruh Pulau di Indonesia dan presentasenya sangat tinggi. di Kalimantan 42,12% wilayahnya tumpang tindih, Sumatera 37,63%, Jawa, 49,61%, Sulawesi 42,95%, Bali dan Nusa Tenggara 50,38, Maluku dan Papua 26,93%.
Sehingga bisa dilihat bahwa perencanaan dan pelaksanaan tata ruang pembangunan dapat diintervensi oleh pasar yang ditentukan oleh hasil kontestasi kepentingan. Pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan tata ruang harus lebih tegas dalam hal ini.
"Kemudian manajemen risiko bencana perlu menjadi prioritas daya guna sebagai landasan keseimbangan pembangunan ekonomi dan lingkungan," pungkasnya. (Iam/OL-09)