Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Survei Kesehatan Mental di Indonesia: Stigma tentang Bunuh Diri Masih Kuat

Basuki Eka Purnama
14/8/2021 08:00
Survei Kesehatan Mental di Indonesia: Stigma tentang Bunuh Diri Masih Kuat
Ilustrasi kesehatan mental(medcom)

BERTEPATAN dengan Bulan Kesehatan Mental, Into The Light dan Change.org melakukan survei kesehatan mental masyarakat Indonesia pada Mei-Juni 2021.

Peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light Andrian Liem mengatakan survei itu dilakukan karena di Indonesia belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki.  

Into The Light merupakan sebuah komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia.

Baca juga: Studi : Persepsi Perokok dan Non-Perokok Pada Gambar Peringatan Bungkus Rokok Berbeda

Survei kesehatan mental ini diikuti secara daring oleh 5.211 responden, yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa.

Latar belakang peserta survei beragam secara demografi, misalnya jenis kelamin, kelompok usia, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV. Hasil survei bisa diakses di www.change.org/l/id/surveiapakabarmu.

Berdasarkan hasil survei tersebut, stigma atau pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat. Hal ini tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.

"Misalnya saja partisipan menganggap menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri," kata Andrian.

Selain itu, ada hasil survei yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.

"Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi," jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.

Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang menemukan hampir 70% dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir. Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap tidak terjangkau.

Walau biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS ditanggung penuh, hasil survey mengungkap 7 dari 10 partisipan tidak tahu tentang informasi itu.

Hasil temuan lain adalah hampir 70% partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring.

Walau tidak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor Jiemi Ardian  mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan melayani pasien.

"Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. Selain itu, pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini," kata Jiemi.

Jiemi menambahkan, jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa juga meningkat semasa pandemi namun sebagian besar dari mereka sudah memiliki keluhan berat.

"Saya berasumsi banyak di antara kita terbiasa menunggu gejala yang benar-benar berat baru mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa. Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan," kata Jiemi.

Menurut Jiemi, layanan kesehatan jiwa juga mungkin akan menyentuh akar rumput lebih baik jika pemerintah dan instansi terkait bisa bekerja sama dengan komunitas-komunitas terdekat agar target audiens lebih tepat. Dengan demikian mungkin bisa memperkecil hambatan untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.

"Di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan. Jika merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan di sekitarmu. Jika tidak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan," tutup Andrian. (RO/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya