Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

DPR Sebut Legalisasi Ganja untuk Kebutuhan Medis Perlu Penelitian     

Indiryani Astuti
10/8/2021 23:29
DPR Sebut Legalisasi Ganja untuk Kebutuhan Medis Perlu Penelitian     
Tanaman ganja di Aceh(Antara/Syifa Yulinnas)

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan legalisasi ganja untuk pelayanan kesehatan di Indonesia perlu didahului penelitian ilmiah yang jelas serta membutuhkan waktu yang lama. Ketentuan mengenai legalisasi ganja di Indonesia, menurutnya tidak bisa disamakan dengan negara lain. 

Hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (10/8) di Ruang Sidang Pleno MK, yang digelar secara daring. 

“Sehingga, tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan Kesehatan,” ujar Taufik dalam sidang pengujian UU dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Ia menjelaskan, ada usulan untuk melakukan revisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan Kesehatan. Saat ini, revisi UU Narkotika masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas Tahun 2021. Pengusulnya adalah pemerintah. 

DPR RI, terang Taufik, berpandangan persoalan narkotika merupakan kejahatan transnasional. Sehingga untuk melegalisasi ganja, harus dikaji tak hanya mengutamakan aspek hukum, tetapi juga aspek kesehatan. Apabila ditemukan kebenaran dan pemanfaatan dari ganja yang saat ini masuk dalam golongan narkotika jenis 1, maka penelitian harus dilakukan. 

Taufik menyampaikan, pelarangan penggunaan narkotika Golongan 1 termasuk ganja dikarenakan jenis itu memiliki dampak ketergantungan sangat tinggi. Sehingga pengguaan ganja, masih dilarang kecuali untuk kesehatan dengan pengawasan ketat. 

Sebelum menyetujui pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, Taufik mengatakan negara perlu mempelajari dan menelusuri melalui lembaga penelitian yang resmi. 

"Pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu pada masyarakat merupakan tanggung jawab negara sebagaimana diatur ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Oleh karena itu, negara wajib mengontrol penggunaan narkotika agar tidak disalahgunakan," paparnya.

Baca juga : Satgas Ingatkan Pemda Luar Jawa untuk Antisipasi Lonjakan Kasus

Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tentang legalisasi ganja dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I), Santi Warastuti (Pemohon II), Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan.

Pemohon menganggap ketentuan pada pasal itu merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup. 

Dwi Pertiwi salah pemohon mengungkapkan pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi pemohon. 

Pada kesempatan berikut, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya menyampaikan saat ini masih sulit melakukan pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia. Ia juga menyebut sejauh ini belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan.

Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FDA (lembag pengawas obat Amerika) pada 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya. 

Arianti menambahkan penggolongan narkotika telah didasarkan pada kesepakatan internasional. Oleh karenanya, hanya narkotika Golongan 3 yang punya potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Sedangkan untuk narkotika Golongan 1 yang menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya, masih dilarang. “Maka sangat logis jika narkotika Golongan 1 hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk pelayanan kesehatan,” ucap Arianti.

Ketua MK Anwar Usman mengumumkan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 30 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB. Agenda persidangan berikutnya adalah mendengarkan keterangan dari tiga Ahli yang dihadirkan para Pemohon. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya