Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
LANGIT sudah beranjak gelap. Namun, beberapa orang terlihat masih sibuk melapisi sebuah kotak persegi berwarna putih berukuran sekitar 60 sentimeter x 40 sentimeter x 2 meter dengan plastik. Kotak persegi lainnya yang bertumpuk berjajar di belakang. Malam itu, mereka sedang merakit peti mati.
Pembuatan peti mati itu dilakukan para alumnus dan mahasiswa yang masih aktif di Gelanggang Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Gelanggang ialah istilah untuk markas bagi mahasiswa UGM yang aktif di unit kegiatan mahasiswa (UKM). Kalau di Universitas Indonesia (UI), namanya Gedung Pusgiwa, pusat kegiatan mahasiswa.
Pada masa pandemi ini, para alumnus Gelanggang pun merespons situasi kelangkaan peti mati yang terjadi di Yogyakarta. Adalah Capung Indrawan, pengusaha tas yang tergabung dalam suatu grup obrolan di aplikasi perpesanan Sambatan Yogyakarta yang awalnya mencetuskan inisiatif pembuatan peti mati ini.
Ketika itu, di seputaran awal Juli 2021, Capung tiba-tiba membuat grup yang dinamai Peti Mati. Saat itu, mulanya ada sekitar enam hingga tujuh anggota grup. Termasuk di dalamnya ialah Herlambang Yudho, Arif Nurcahyo, Agus Supriyo, dan istri Capung.
Capung pun menuturkan keresahannya itu kepada kawan-kawannya. Sesudah mereka berdiskusi di aplikasi pesan, produksi peti mati pun dimulai sehari setelahnya.
Setelah mengontak para alumnus UGM, Capung dan kawan-kawannya pun mendapat dukungan. Saat awal, ia mengumpulkan sekitar Rp10 juta untuk memproduksi peti mati. Hingga kurun dua pekan, Capung dan kawan-kawan yang tergabung dalam gerakan Djogja Gotong Royong (DGR) sudah mendistribusikan 100-150 peti mati.
DGR utamanya merespons kebutuhan peti mati untuk RSUP Sardjito dan RS Akademik UGM. Namun, mereka juga tidak menutup untuk warga yang membutuhkan. Seharinya, kini DGR memproduksi 30-40 peti mati untuk dua RS di tersebut, dan juga ‘mencadangkan’ sisanya untuk warga.
“Pada akhirnya (gerakan) ini jadi milik semua. Yang akhirnya bergabung tidak cuma alumni Gelanggang. Tapi semua lapisan masyarakat di Yogyakarta. Baik lewat donasi uang maupun logistik. Sementara yang turun secara fisik adik-adik mahasiswa Gelanggang yang masih aktif kuliah, juga ikut gabung. Bahkan para mahasiswa bikin jadwal sif,” papar relawan DGR bagian hubungan masyarakat Agus Supriyo kepada Media Indonesia melalui konferensi video, Kamis (22/7).
Setiap harinya, DGR dibantu empat pekerja profesional yang dibayar dan 15-20 relawan. Mereka terbagi di dua lokasi. Pertama di Nogotirto, Sleman, tempat produksi. Lokasi kedua, di Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM sebagai titik distribusi.
“Kalau empat tukang itu, ya, sudah ada batas jam kerja. Tapi bagi relawan, ya, bisa dikatakan 24 jam. Maksudnya, kapan saja warga butuh (peti mati) selalu ada orang di lokasi Nogotirto. Awalnya kami cuma bisa menyediakan lima-enam peti dalam sehari, dari target 15 peti. Sekarang 30-40 peti mati produksi per harinya,” sambung Agus.
Dari donasi yang terkumpul saat ini, Agus memproyeksikan DGR setidaknya masih bisa memproduksi 150-an peti mati lagi jika memang tidak ada tambahan donasi yang masuk.
Relawan absurd
Agus juga menceritakan waktu-waktu kritis ketika Yogyakarta mengalami kelangkaan peti mati. Ia mencontohkan pada 10-11 Juli, RSUP Dr Sardjito meminta hingga 80-an peti mati ke DGR. Namun, mereka hanya mampu menyediakan setengahnya.
“Kalau sampai RS saja kehabisan peti mati, artinya yang meninggal itu melebihi dari hari-hari biasa. Kondisi seperti ini yang membuat kami sangat nggrantes, ngenes. Itu yang kami rasakan tiap ada peti mati yang diangkut,” cerita Agus yang sesekali terdiam mengungkap apa yang dialaminya bersama teman-temannya di DGR.
Agus yang merupakan lulusan kehutanan UGM dan aktif di UKM Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) bersama teman-temannya yang menginisiasi DGR memang sudah sejak lama aktif di kegiatan kerelawanan sosial. Tiap ada bencana, mereka hampir selalu turun membantu masyarakat. Namun, kerelawanan yang dilakukan semasa pandemi ini menurutnya berbeda.
“Kerelawanan yang kami lakukan sekarang ini rasanya berat karena tahu yang kami produksi itu peti mati. Seolah-olah kami menyiapkan tempat untuk orang yang akan tinggal di situ. Jadi, ya, memang nggrantes rasanya.”
“Ini saya menyebutnya kerelawanan yang absurd, soalnya yang kami buat adalah peti mati. Saat isoman sudah dikucilkan, mati saja pun dikucilkan. Jadi, ini bentuk penghormatan terakhir kami,” sambung Agus.
Bagi warga yang tidak mampu, DGR tidak membebankan biaya fasilitas peti mati. Untuk mendapat bantuan peti mati, syaratnya cukup melampirkan surat kematian dari perangkat desa. Jika keluarga pasien atau jenazah merasa mampu, mereka hanya dikenai harga pokok penjualan (HPP) dari produksi satu peti mati.
“Tapi kalau memang tidak mampu, akan kami kasih gratis. Bahkan kalaupun ada papan multipleks di tempat mereka, cukup dikirim ke kami, nanti dibuatkan oleh relawan DGR dan tidak perlu membayar ongkos kerja dan lain-lainnya. Itu dikover dari uang donasi.”
Selain menyediakan peti mati, DGR akan menyediakan akses untuk pengantarannya mengingat tidak semua warga memiliki akses tersebut. Namun, dari cerita Agus, ada beberapa kepala desa yang mengajukan permintaan peti mati ke DGR juga sudah menyiapkan moda transportasinya. DGR juga tidak hanya menyuplai kebutuhan peti mati untuk Yogyakarta. Beberapa kali peti mati juga dikirim ke Kabupaten Klaten hingga Kabupaten Purworejo.
Agus berharap apa yang dilakukannya bersama relawan DGR segera berhenti. Artinya situasi kembali normal. "Mati itu hal lumrah dan biasa. Tapi tidak seperti itu yang terjadi di situasi sekarang ini.”
Menurut Agus apa yang dia lakukan bersama teman-temannya merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat. "Kami punya prinsip sekali hidup, ya, harus bermanfaat untuk orang lain." (M-4)
Biodata
Nama: Agus Supriyo
Tempat, tanggal lahir: Lamongan, 16 Agustus 1975
Jabatan: Relawan hubungan masyarakat Djogja Gotong Royong (DGR)
Tim DGR: Herlambang Yudho (ketua), Capung Indrawan (koordinator produksi), dan Arif Nurcahyo (koordinator distribusi).
Perubahan iklim dapat menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan nasional.
Bunga telang yang kaya akan manfaat kesehatan berhasil diolah menjadi produk minuman probiotik teh kombucha, sabun cair, dan pupuk cair organik menggunakan biang bakteri SCOBY.
TIM peneliti dari UGM menyebut buah jenitri (Elaeocarpus sphaericus), komoditas tanaman buah yang ada di daerah Kebumen, Jawa Tengah punya khasiat untuk mencegah penyakit gagal ginjal.
Proses meditasi juga bermanfaat bagi fungsi kognitif otak. Seseorang tidak memerlukan waktu lama dalam bermeditasi untuk meningkatkan fungsi otak.
Eka mengaku sebagian besar publikasi yang dilakukannya terkait pengembangan alat uji berbasis kertas untuk pengujian atau diagnostik cepat yang rendah biaya dan mudah digunakan pengguna.
Aktivitas olahraga harus dilakukan dengan bijak, yaitu sesuai dengan dosis dan selalu memperhatikan sinyal tubuh yang membutuhkan waktu pemulihan serta perbaikan.
Studi baru menunjukkan peningkatan signifikan dalam komplikasi penyakit terkait alkohol di kalangan perempuan paruh baya selama periode pandemi covid-19.
Kasus peningkatan signifikan mata minus atau Myopia Booming kini menjadi perhatian serius, terutama karena dapat berdampak buruk pada masa depan anak-anak
Sebuah studi menunjukan selama pandemi Covid-19 terjadi peningkatan rawat unap untuk remaja berusia 12 hingga 17 tahun karena gangguan makan.
Produk skincare dan kesehatan menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat, terutama kaum perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh tren kecantikan dan gaya hidup sehat.
Instansi di lingkungan Pemkab Tasikmalaya diharapkan bisa berkoordinasi dan bersinergi dengan gencar melakukan sosialisasi
Di Kabupaten Cianjur belum ditemukan adanya kasus covid-19. Namun tentu harus diantisipasi karena diinformasikan kasus covid-19 kembali melonjak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved