Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kerja Sama Regional Cegah Kanker Payudara Tahap Lanjut

Eni Kartinah
01/7/2021 21:17
Kerja Sama Regional Cegah Kanker Payudara Tahap Lanjut
Ilustrasi kanker payudara. Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara.(Ilustrasi/Istock)

KANKER payudara tahap lanjut masih menjadi persoalan kesehatan global yang membutuhkan perhatian dari seluruh masyarakat dan pengambil kebijakan. Mengacu data Globocan, tahun 2020 ada 44,2 per 100 ribu kasus baru per tahun.

Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara. Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (Peraboi) menemukan, dari 10 ribu kasus kanker payudara, sekitar 70% adalah stadium 3 dan 4.

Untuk menekan kejadian kanker payudara tahap lanjut, dibutuhkan sebuah kebijakan nasional mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan.

Sayangnya, belum semua negara, terutama di negara miskin dan berkembang, memilikisemua kebijakan ini. Kerjasama antar negara diharapkan bisa menjadi ajang berbagipengalaman, bagaimana menangani kanker payudara secara komprehensif dan menyeluruh.

Salah satu bentuk kerja sama antarnegara di bidang kanker payudara adalah forum The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS). Tahun ini, SEABCS ke-5 akan diselenggerakan di Indonesia dan Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) ditunjuk sebagai penyelenggara.

SEABCS adalah sebuah forum global berkumpulnya para tenaga medis profesional di bidangkanker payudara, komunitas-komunitas kanker payudara, pasien, penyintas, bidan, tenagakesehatan, dan wakil pemerintah. Sejak tahun 2016 SEABCS rutin menggelar pertemuan regional.

 Jika sebelumnya pertemuan dilakukan secara offline, khusus tahun ini SEABCS mengadakan pertemuan secara daring mengingat pandemi COVID 19 yang masih melanda.

SEABCS 2021 akan dihelat selama selama 2 hari pada 31 Juli 2021- 1 Agustus 2021. Temayang diambil adalah “Putting Patients to the Hearts of Cancers Control,” atau menempatkanpasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker.

Linda Agum Gumelar, S.IP, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) mengungkapkan, “Masalah yang dihadapi hampir semua komunitas kanker payudara di negara ASEAN, sebenarnya hampir sama.”

“Misalnya pemahaman tentang penyakit kanker yang minim, kesadaran deteksi dini yang rendah, menunda terapi, akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas, hingga kebijakan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan dalam penanganan pasien kanker,” ujar Linda.

Menurut Linda, meskipun persoalan yang dihadapi sama, namun terkadang penyelesaiannyaberbeda.

“Kita banyak belajar dari berbagai komunitas di negara lain. Di Filipina misalnya,komunitas kanker payudara di sana berhasil memasukkan persetujuan dari parlemen,” katanya

Sebaliknya, kata Linda, komunitas di negara lain pun banyak belajar dari Indonesia.

Misalnya, mereka belajar dari YKPI bagaimana memanfaatkan organisasi perempuan yangtersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu BKOW (Badan Kerja Sama Organisasi Wanita) tingkat provinsi. Kemudian tingkat kabupaten/kota ada GOW (Gabungan Organisasi Wanita ).

Melalui merekalah antara lain, YKPI melakukan sosialisasi / edukasi tentang pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara.

Selain itu, mobil mamografi milik YKPI sebagai sarana deteksi dini, adalah satu-satunya ataupertama di ASEAN yang menjadi contoh dan banyak diikuti negara lain.

Mewakili Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) dr. Kardinah SpRad (K), menambahkan, deteksi dini dimulai dari SADANIS (Pemeriksaan Payudara Klinis) yang bisa dilakukan sendiri oleh semuaindividu.

“Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mamograf, perkembangan saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit,” kata Kardinah.

Di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, tersedia mamografi , yang berkembang dari 2Dmenjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.

“Sarana deteksi dini sudah ada, program nasional telah dibuat sejak 2008, sistem rujukandiperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Hanya berpikir benjolan di sekitarpayudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar dr. Kardinah.

Ketua Peraboi, dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, mengatakan,“Ketika pasien merasa adabenjolan, untuk berani datang ke fasilitas kesehatan butuh waktu 1-3 bulan. Sampai ditangani dengan benar butuh waktu 9-15 bulan.”

“ Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” papar dr. Walta.

Kerja sama lintas profesi di SEABCS

Melalui SEABCS 2021, diharapkan simpul-simpul masalah penanganan kanker payudara di masing-masing negara bisa terurai dengan berbagi pengalaman.

Ning Anhar sebagai Wakil Ketua Penyelenggara, menjelaskan, melalui SEABCS ini, kerjasama dengan berbagai komunitas, para ahli, dan pengambil kebijakan diharapkan akan ditingkatkan.

“Harapannya melalui SEABCS akan lahir sebuah rekomendasi yang merupakan hasilpemikiran para ahli dan peserta, yang kemudian bisa dibawa ke pembuat kebijakan masingmasing negara,” ujar Ning. (Nik/OL-09)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya