Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Tenun Masalili Menolak Terpinggirkan 

Abdel Jawad Shodiq, Kantor Perwakilan BI Sultra
30/3/2021 22:40
Tenun Masalili Menolak Terpinggirkan 
Perempuan penenun di Desa Masalili, Muna, Sultra.(Dok Abdel Jawad Shodiq)

JARI jemari perempuan paruh baya itu begitu lincah menata benang di mesin tenun sederhana. Dia seolah tak menghiraukan kondisi sekitar dan tetap asik dengan kesehariannya itu.

Menenun adalah keseharian mayoritas perempuan warga Desa Masalili. Dengan metode tradisional pengerjaan tenun tersebut cukup lama. Untuk mendapatkan satu lembar kain lebar kain 65cm-70 cm memakan waktu pengerjaan hingga satu bulan. 

Tenun Masalili merupakan warisan budaya para pengrajin tenun di Desa Masalili dan dilakukan turun temurun. Desa ini terletak di Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang sejak dahulu hingga kini telah menjadi sentra produksi kain tenun yang terbesar di Muna. 

Buah tangan yang luar biasa ini tak urung membuat Pemkab Muna menetapkan Masalili salah satu destinasi wisata melalui pengembangan program Kampung Tenun Masalili. Terletak 8 km dari Kota Raha, Ibukota Kabupaten Muna, desa ini didiami 353 kepala keluarga dengan 1.313 jiwa yang terdiri 606 laki-laki dan 709 perempuan. Menenun menjadi ketrampilan turun menurun di sini. Bahkan Sebagian berada pada usia produktif yang tergabung dalam 96 anggota kelompok.

Kain tenun tersebut dikenal dengan istilah Kamooru. Untuk menenunnya penenun harus melakukan dengan tenang dan berjiwa bersih. Jika tidak, motif tersebut akan sulit dirangkai. Pasalnya, Kamooru memiliki motif yang cukup rumit serta filosofis.

Tenun khas Masalili identik dengan motif garis yang dikombinasikan warna terang. Setidaknya ada 10 jenis kain tenun khas daerah dengan motif adat. Selain itu juga ada 4 jenis kain tenun pengembangan motif adat yang mencirikan simbol budaya masyarakat Muna, yaitu motif Kaghati, Lampu Pelita, Mahkota Nanas dan motif Kuda Berkelahi. 

Tidak mudah
Untuk sampai ke desa ini tidaklah mudah. Perjalanan dari Kendari harus dilakukan menggunakan kapal laut selama 3 jam. Kemudian melalui jalan berkelok yang dihiasi beberapa lubang. Ragam rumah kayu warga dan anak kecil yang berlari riang mengiringi pemandangan ke Masalili. 

Meskipun merupakan warisan budaya dan dilakukan sebagian besar kaum wanita di Masalili, namun pengembangan tak semudah kelihatannya. Sejumlah kendala menghadang terutama peningkatan jumlah dan kualitas produk untuk dapat dikenal dan bersaing di pasar domestik.

Kendala-kendala tersebut, antara lain; 1) Keterbatasan alokasi anggaran melalui APBD sehingga pembinaan, pendampingan dan pengembangan desain belum dapat dilaksanakan secara rutin; (2) Minimnya pendampingan dan pembinaan teknis produksi serta kelembagaan; (3) Rendahnya modal sosial, kerja sama antar kelompok serta persaingan tinggi antar penenun memberikan dampak negatif dalam proses produksi dan pemasaran, menyebabkan iklim usaha di internal penenun menjadi kurang kondusif; (4) relatif rendahnya kualitas  bahan baku yang digunakan dan umumnya diperoleh dari pulau jawa; dan (5) Alat tenun yang digunakan adalah godogan, sehingga waktu pengerjaan lama, kualitas relatif belum baik dan ukuran kain tenun yang belum standar. 

Berbagai kendala tersebut tidak mengurangi kearifan lokal. Untuk mendorong pengembangan tenun tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Sultra menginisiasi pelaksanaan kerja sama pengembangan Local Economic Development (LED) kain tenun tradisional di Muna pada Oktober 2017 yang berlangsung selama 2 tahun hingga Oktober 2019. 

Pada tahap awal dilakukan pelatihan untuk memupuk kebersamaan sebagai peningkatan modal sosial masyarakat, dan pelatihan teknis peningkatan kapasitas SDM. Semua itu dilakukan untuk mendukung percepatan produksi, kualitas dan inovasi produk (fashion) melalui kerja sama dengan desainer nasional. Kedua tahap ini sulit dilakukan karena kapasitas SDM yang relatif rendah. Mengubah metode bertenun yang telah turun menurun dilakukan secara tradisional, bukan perkara mudah.

Kerja sama dengan beberapa desainer nasional seperti Wignyo Rahardi, Didit Maulana dan Irma Intan, serta pemerintah kabupaten, para penenun mulai menerima inovasi yang diberikan. Mereka dilatih menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) bantuan dari BI yang diserahkan Kepala KPwBI Suharman Tabrani kepada Pemerintah Kabupaten Muna. 

Dengan ATBM tersebut pengerjaan kain tenun pun menjadi lebih cepat dengan lebar yang sesuai standar umumnya yaitu 1,2 m. Pengerjaan satu lembar kain hanya butuh waktu 3 hari dan motif pun menjadi lebih bervariasi.

Berbagai inovasi tersebut membuat tenun Masalili dapat lebih bersaing. Hal itu bisa dilihat dari berbagai pameran dan pameran busana seperti Halo Sultra Expo, Karya Kreatif Indonesai (KKI), Fesyar di Banjarmasin, dan ISEF di Jakarta. Termasuk peragaan busana di tingkat nasional seperti Muslim Fashion Festival (Muffest) di Kresnaya Park. 

Berbagai upaya tersebut memberikan persepsi positif kepada masyarakat Sultra dan Muna pada khususnya, bahwa tenun Masalili tidak ingin terpinggirkan. Saat ini produksi mulai berkembang pesat.

Saat ini jumlah penenun bertambah dari 96 menjadi 205 penenun pada akhir 2019. Kapasitas produksi meningkat dari 1.843 kain/tahun naik menjadi 6.500 kain/tahun dengan omset penjualan pada 2019 mencapai Rp2,275 milyar. Itu meningkat pesat dibandingkan pada 2017 yang mencapai Rp460,8 juta.

Bukan cuma kain
Kain tenun Masalili menjadi salah satu produk unggulan Muna. Potensi alam bawah laut juga tak kalah hebatnya, mengingat kabupaten ini terletak di sekitar kepulauan Buton.

Aneka ragam pesona alam, atraksi seni dan budaya serta beberapa peninggalan sejarah, juga mewarnai kabupaten ini. Salah satu peninggalan masa lampau yang telah dikenal dunia adalah layang-layang tradisional (kaghati), yang telah ditetapkan sebagai layang-layang tertua di dunia. 

Optimalisasi pun dilakukan dengan menitikberatkan pembangunan sektor pariwisata. Hal tersebut telah dituangkan dalam rencana induk pembangunan daerah (RIPDA) periode 2017. Pembangunan pariwisata ini tak semata-mata demi peningkatan kunjungan wisatawan belaka. Lebih jauh lagi didorong untuk meningkatkan efek ganda ekonomi dengan berbagai pendukung yang ada. 

Abdel Jawad Shodiq, Peserta Worskhop Penulisan Majalah Fokus BI 2021



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya